With great power comes great responsibility
Dengan kekuatan yang besar, datang pula tanggung jawab yang besar (Uncle Ben dalam film Spiderman 2002)
Yogyakarta, LIPUTAN 9 NEWS
Pondok Pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam yang memiliki sistem dan model pendidikan yang berbeda dengan lembaga pendidikan lainnya. Berbeda dengan berbagai Lembaga pendidikan formal atau nonformal lainnya, Pondok pesantren identik dengan pola hidup sederhana. Kesederhanaan para santri pondok pesantren tercermin dari bagaimanacara mereka dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti dalam makan, berpakaian, tempat tidur, dan lain sebagainya (W. Abdul Ghofur 2023). Salah satu hal menarik dalam pendidikan di pondok pesantren adalah terdapat sapaan khusus bagi anggota pondok pesantren seperti kiai, nyai, gus, ning, aceng, dan lora.
Kiai dan nyai ditujukan untuk pemilik pondok pesantren dan gus, lora, aceng atau ning untuk memanggil putra-putri mereka. Panggilan Gus bukan hanya sekadar panggilan formal atau panggilan akrab di pondok pesantren. Lebih dari itu, panggilan Gus juga mencerminkan tradisi hormat dan kedekatan santri dengan keluarga pondok pesantren. Panggilan Gus menjadi simbol kedekatan sosial dan spiritual yang erat antara santri dan keluarga pondok pesantren. Menurut KBBI, “gus” adalah nama panggilan kepada laki-laki. Gelar depan ini bermakna “bagus, tampan, atau pandai”.
Terdapat sesuatu yang unik dari panggilan Gus sendiri. Uniknya adalah seseorang bisa menjadi Kiai tapi ia tidak akan bisa menjadi Gus. Gus adalah panggilan untuk anak seorang Kiai, sedangkan seseorang mungkin bisa menjadi Kiai dengan mendirikan sebuah pondok pesantren, akan tetapi ia tidak bisa menjadi seorang Gus. Hanya putranya yang bisa mendapatkan panggilan tersebut. Jadi, apakah panggilan Gus adalah panggilan karena unsur biologis?
Dalam realisasinya panggilan Gus menjadi panggilan yang langsung memberikan makna tertentu bagi khalayak umum. Panggilan Gus biasa diartikan dengan sosok seorang putra Kiai yang diharapkan menjadi penerus Kiai di masa yang akan datang. Berkaitan dengan hal tersebut, secara otomatis seseorang yang menyandang panggilan Gus mendapatkan penghormatan khusus dari masyarakat. Banyak hal yang menjadi contoh diistimewakannya sosok Gus di Masyarakat, mulai dari para santri yang cium tangan kepada mereka dan mendapatkan perlakuan yang lebih istimewa di kalangan masyarakat. Tidak hanya itu, panggilan Gus juga menjadi panggilan yang secara tidak langsung membawa kesan orang orang yang hidup dengan penuh kelayakan, kecukupan, dan kenyamanan.
Sangat banyak hal yang muncul dari sisi kemuliaan seorang Gus yang selalu dianggap percontohan kehidupan yang istimewa dan didambakan semua orang. Selalu dikelilingi oleh orang orang yang mengabdi kepada keluarga pesantren. Banyak sekali percontohan seorang Gus yang mendapatkan keistimewaan atas posisi beliau sendiri. Misalkan Gus Baha’, beliau ialah putra Kiai Nur Salim dari Narukan, yang sekaligus salah satu murid kesayangan KH. Maimun Zubair. Orang-orang pasti tahu bagaimana seorang Gus Baha’ mendapatkan perlakuan istimewa dari orang orang disekeliling beliau. Akan tetapi orang orang sering lupa, menjadi sosok sekaliber Gus Baha’ juga merupakan tantangan tersendiri. Hidup selalu diburu media yang belum tentu menulis sesuatu yang sesuai dengan kehendak beliau misalnya.Dalam filosofi Jawa terdapat sebuah ungkapan yaitu “Sejatine urip kuwi mung sawang sinawang”.
Ungkapan tersebut memilki arti hakikat dari kehidupan hanyalah tentang persoalan bagaimana seseorang melihat makna sebuah kehidupan, yaitu persoalan melihat orang lain atau dilihat orang lain. Dari ungkapan tersebut, kita bisa menarik makna bahwa sesuatu yang kita lihat tidak selalu sesuatu yang sebenarnya terjadi atau yang sebenarnya dirasakan orang lain. Seorang Gus yang diharapkan menjadi penerus Kiai di masa yang akan datang juga pasti memikul banyak tanggung jawab yang harus dijalankan. Orang lain tidak akan tahu apa yang dirasakan beliau beliau sebagai seorang Gus sampai mereka merasakan sediri posisi tersebut. Penyandang gelar Gus tentuakan menghadapi banyak tantangan dan selalu ditunggu tanggung jawab yang besar.
Menurut K.H. Miftachul Akhyar tanggung jawab tersebut diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu tanggung jawab pada diri sendiri, tanggung jawab pada umat dan bangsa, dan tanggung jawab kepada Allah SWT. Tanggung jawab Gus pada diri sendiri meliputi menjaga diri dari sesuatu yang membahayakan, menjaga kebersihan dan kesehatan tubuh, dan bertanggung jawab dengan sikap dan perbuatan sehari-hari atau bersikap baik dalam kehidupan sehari-hari. Tanggung jawab pada umat dan bangsa seorang Gus adalah sebagai sosok pengajar yang akan meneruskan kiprah orang tua sebagai seorang kiai. Bergelar Gus harus alim dalam berbagai disiplin ilmu, terutama ilmu keagamaan supaya bisa menjadi sosok pendidik yang dituntut memenuhi ekspektasi orang orang terhadap keilmuan mereka.
Sebagai sosok pengajar Gus juga sudah pasti menjadi suri tauladan orang orang disekelilingnya, terutama bagi santri santrinya. Tanggung jawab kepada Allah seorang Gus sama seperti tanggung jawab orang biasa kepada Allah. Seorang Gus juga pasti bertanggung jawab untuk beribadah menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya seperti makna taqwa yang kita ketahui, meskipun sebenarnya tanggung jawab kepada Allah akan mencakup dua tanggung jawab yang sudah dijelaskan sebelumnya.
Oleh karena itu, bisa kita simpulkan panggilan Gus di kalangan pondok pesantren bukan hanya sebuah bentuk penghormatan atau pengistimewaan terhadap seorang keturunan kiai. Selain dari banyaknya keistimewaan yang didapatkan panggilan atau gelar Gus juga membawa tanggung jawab yang sangat besar bagi penyandangnya. Bisa dikatakan panggilan Gus adalah sebuah keistimewaan yang datang beriringan dengan cobaan di waktu yang sama. Maka dari itu kita tidak bisa hanya melihat dan menilai dari satu sisi terhadap gelar Gus seperti keistimewaannya. Akan tetapi kita juga harus melihat sisi lain dibalik adanya sebuah keistimewaan atas sesuatu yang selalu datang bersamaan dengan tanggung jawab yang harus diemban.
Syauqi Lazuardy Ahmad, Santri Alumni Kiai Parak, Temanggung dan sedang nyantri di Komplek H Ali Maksum, Krapyak. Lulusan MTs dan MAN Temanggung. Mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa Inggris di Universitas Negeri Yogyakarta, dan sekaligus mahasantri Ma’had Aly KH. Ali Maksum Krapyak.