Sidoarjo | LIPUTAN9NEWS
Dalam satu kesempatan Gubernur terpilih Jawa Barat, yakni Kang Dedi Mulyadi (KDM) mengungkapkan pentingnya menjaga tanah Jawa Barat dengan kesadaran filosofis kedepannya. Tanah Jabar atau Tanah Pasundan ini adalah sangat strategis keberadaannya. Oleh karena itu harus diperlakukan secara Istimewa, dihormatan dan dimuliakan sebagaimana mestinya.
Pentingnya menjaga kehormatan dan kemuliaan tanah Jabar ini pernah disampaikan KDM dalam debat publik perdana Pemilihan Gubernur atau Pilgub Jabar pada Senin 11 November 2024 silam. Ia mengatakan “Tanah Sunda atau Jawa Barat merupakan tanah yang subur makmur, gemah, ripah repeh dan rapih. Ini harus dihormati dan dimuliakan oleh pemimpin dan rakyatnya.”
Sosok KDM yang selama ini dikenal masyarakat Jabar sangat menjunjung budaya Priangan. Dengan bekal pengalamannya selama dua periode menjadi Bupati Purwakarta menjadikannya populis dengan pendekatannya yang humanis. Sehingga pada tahap Pilkada berikutnya mampu mengantarkannya menjadi Gubernur Jabar, pemimpin kawasan tanah Pasundan.
Sosok keunikan dari KDM ini adalah Ketegasannya dalam setiap mengambil keputusan patut dijadikan contoh dan patut mendapatkan acungan jempol. Bahkan di akhir-akhir ini beliau memberikan Keputusan larangan bagi Habaib untuk menjadi khatib Jum’at di wilayah Jawa Barat.
Di Tanah Pasundan yang terkenal sejuk ini, terdapat angin yang membawa kabar ketegasan lagi. Sebuah keputusan diambil oleh Sang Gubernur, KDM, seorang pemimpin yang memegang amanah dengan pandangan yang teduh, hati yang teguh, pikiran yang jernih dan tangan yang penuh tanggungjawab. Ia sangat mencintai ulama, selalu menghormati dzuriyah Nabi, dan menjaga kemuliaan masjid menurutnya sangat penting. Namun terkait dengan hal itu, ada satu catatan yang perlu digaris bawahi yaitu pentingnya menegakkan kebenaran tidak boleh dikaburkan dengan bayangan kepalsuan. Sebagaimana yang terjadi selama ini yang dilakukan oleh oknum Habaib.
Oleh karena itu KDM mengatakan “Masjid adalah rumah Allah, bukan panggung bagi kebohongan.” Suaranya ini menggetarkan Tanah Pasundan bagaikan angin yang menggoyang dan meyruak daun pepohonan di kaki Gunung Tangkuban Parahu tersebut. Lebih lanjut ia mengatakan “Siapa pun yang memalsukan nasab Nabi, siapa pun yang berdiri di mimbar dengan dusta di bibirnya, tak boleh menodai kesucian tempat ini.”
Dalam hal ini apabila kita melakukan kilas balik, terkait keberadaan sosok Habaib di Indonesia. Sebagaimana pendapatnya Cendekiawan Muslim Indonesia Prof. Dr. KH. Quraish Shihab, ditinjau secara terminologi habib yang terdiri atas makna “Yang Mencintai dan Dicintai.” Keberadaan gelar habib yang disematkan masyarakat, bukan dia yang minta diakui dan dimuliakan, hal demikian justru mempermalukan diri. Sehingga jelas adanya, bahwa seorang habaib tidaklah cukup dengan hanya dicintai, tetapi juga harus mencintai antar sesama. Dengan mengamalkan ilmunya dan mengabdi di masyarakat secara tulus tanpa berharap imbalan. Dengan begitu, Habaib sudah seharusnya mampu memberikan pencerahan maupun solusi terhadap berbagai problem yang dihadapi masyarakat bukan malah sebaliknya.
Bahkan Quraish Shihab pernah mengatakan “Saya sendiri diajarkan oleh ayah, Tidak usah kamu yang berkata dirimu habib. Tidak usah kamu yang mengatakan dirimu, Saya profesor, saya doktor. Biar dari kegiatanmu orang berkata, oh ini wajar dinamai habib. Ini wajar jadi profesor,” terangnya dalam bincang santai dengan putrinya, Najwa Shihab, di kanal YouTube Najwa Shihab dilihat NU Online, Senin (24/1/2022).
Lebih lanjut Quraish Shihab mengatakan, “Garis keturunan ini mestinya mengikuti jalur kakek-kakeknya ini, mengikuti jalur Nabi, yang menyebarkan toleransi, yang menyebarkan akhlak.”
Sehingga patut disayangkan dengan adanya sebagian orang yang mengaku sebagai habib dengan bangganya mengaku cucunya Nabi, namun akhlaknya tidak mencerminkan nilai moral yang diajarkan oleh Rasulullah saw. sehingga Quraish Shihab menilai jika demikian justru akan menodai citra keturunan Nabi sebagai generasi yang seharusnya memiliki akhlak yang luhur.
Sebagaimana yang dikatakan Quraish Shihab “Apa yang terjadi sekarang itu, sebagian kecil orang bisa membuat citra yang negatif. Kemudian disambut oleh yang lain dengan cara yang tidak sesuai juga sehingga terjadi apa yang dinamakan ribut-ribut itu.”
Untuk mendasari argumennya ini, Quraish Shihab mengutip salah satu ucapan Sahabat Ali ra, “Bukanlah seorang kesatria mereka yang mengatakan, Inilah ayah saya. Tapi seorang kesatria adalah mereka yang mengatakan, Inilah saya.”
Sebagai nasehat dan pengingat diri kita masing-masing, bahwa nasab semata-mata tidaklah bermanfaat dan tidak akan meninggikan martabat seorang hamba apabila tidak diiringi oleh yang namanya ketakwaan. Apabila nasab orang yang mulia itu tidak mampu menunjukkan kemuliaan jiwa seperti para pendahulunya, maka patutkah seseorang tersebut hanya membangga-banggakan nasab sepanjang hayatnya dan akan membuat celaka dirinya dikemudian hari.
Dr. Heru Siswanto, M.Pd.I., Ketua Program Studi PAI-BSI (Pendidikan Agama Islam-Berbasis Studi Interdisipliner) dan dosen Pascasarjana IAI Al-Khoziny Buduran Sidoarjo; Dosen PAI-Terapan Politeknik Pelayaran Surabaya; Pengasuh Balai Peduli Pendidikan Indonesia; Pengurus LTMNU PCNU Sidoarjo; Ketua LDNU MWCNU Krembung.