Jakarta | LIPUTAN9NEWS
Sedari semula sudah ada kekhawatiran akan munculnya kekerasan aktual sebagai akibat dari kekerasan simbolik melalui media social. Selama ini memang masih pertarungan wacana di antara dua kelompok, pro dan kontra Habaib. Di satu sisi begitu gencarnya pemberitaan tentang ketidakabsahan nasab habaib tersambung kepada Rasulullah SAW, dan di satu sisi tentu ada yang mempertahankan statusnya sebagai dzurriyah Nabi Muhammad SAW.
Pertarungan wacana itu sedemikian kerasnya, sehingga rasanya sudah bukan lagi sesama umat Islam, wabil khusus sebagai warga NU, karena diksi-diksi yang digunakannya sungguh sangat “keterlaluan”. Jadi ingat sama lagunya Bang Haji Rhoma Irama “Patah Hati”, yang juga sering saya dengarkan. Sungguh pertarungan ini tidak hanya menjadi milik para elit saja, elit yang berada di garis Imaduddin dan elit habaib, akan tetapi telah menjadi bagian tidak terpisahkan dari wacana di masyarakat.
Rasanya masyarakat Islam terbelah menjadi dua penggolongan baru, yaitu kelompok Habaib dan kelompok non-Habaib. Di dalam konsep yang dinyatakannya adalah kelompok dzurriyah Ba’alawi versus kelompok dzurriyah Walisongi. Mereka yang termasuk di dalam kelompok dzurriyah Ba’alawi adalah Habib Rizieq Syihab, Habib Bahar bin Smith dan seluruh jajarannya yang tergabung di dalam klan Assegaf, Syihab, Al Athas dan lain-lain dan dzurriyah Walisanga seperti Imad, Abdurrahman dan lain-lain. Bahkan sekarang sudah muncul organisasi-organisasi baru yang berkaitan dengan dzurriyah Walisongo.
Memang harus diakui betapa berat beban kaum Ba’alawi atas hasil kajian Imad tentang keterputusan sebagai dzurriyah Nabi Muhammad bahkan kesimpulan yang menyatakan bahwa leluhur kaum Ba’alawi adalah Yahudi Arkhenazi, yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan Nabi Muhammad, Bani Hasyim dan bahkan tidak ada relevansinya dengan Nabi Ibrahim AS. Yahudi Arkhenazi berasal dari salah satu Suku di Kaukasus, yang menjadi pemeluk Yahudi dalam abad pertengahan. Padahal selama ini, kaum Ba’alawi berkeyakinan bahwa mereka adalah keturunan Nabi Muhammad SAW.
Sedemikian masifnya informasi tentang ketidakabsahan nasab mereka tersebut, sehingga membuat mereka merasa harus berjuang dengan berbagai cara melalui media social yang akhirnya berujung kepada kekerasan. Tanggal 10/08/2024 menjadi saksi bahwa kekerasan social antara mereka yang menyebut dirinya sebagai pecinta Habaib atau muhibbin dan kelompok penolak Habaib terjadi benturan. Di Karawang, rombongan Kyai NU dan Banser diserang oleh Orang Tak dikenal (OTK). Sewaktu mereka akan menghadiri pengajian di di Jalan Irigasi Warungdoyong, Rengasdengklok, Kabupaten Karawang Sabtu (10/8/2024) malam.
Akibat aksi penyerangan itu, satu orang luka babak belur dihajar para pelaku. (iNews Jabar, diunduh 13/08/2024). Untuk memberikan gambaran bahwa yang terjadi adalah benturan atau kekarasan yang melibatkan kaum Ba’alawi dengan kelompok Imad adalah dari teriakan-teriakan bahwa mereka mencari Imad. Dengan demikian, yang terjadi adalah kekerasan yang melibatkan dua kelompok.
Sebagai umat Islam memang kita prihatin atas pertarungan antara kelompok Ba’alawi dengan kelompok Imad dan kawan-kawan. Pertarungan ini sudah masuk dalam Kawasan NU secara institusional, artinya keterlibatan PBNU untuk menyelesaikan sungguh sangat diharapkan. Oleh karena itu ada empat hal yang dapat dipertimbangkan, yaitu: pertama, PBNU dengan otoritasnya yang menyangkut otoritas keberagamaan, maka bisa melakukan dialog berkesetaraan dalam upaya untuk menghentikan silang sengkarut pembicaraan di antara tokoh-tokoh yang berseteru. Dialog ini difasilitasi oleh PBNU, sebagai rumah besar, di antara mereka-mereka yang secara kultural merupakan penganut Islam ala ahli sunnah wal jamaah, khususnya NU.
Kedua, dialog ini merupakan representasi dari tokoh-tokoh yang dianggap mewakili kelompok kepentingan, yaitu kelompok Ba’alawi dan kelompok Imad. Dua kubu ini harus membangun kesepahaman bahwa perseteruan harus dihentikan karena akan terdapat efek negative yang akan terjadi. Keduanya harus menghentikan pembicaraan baik melalui media social, ceramah dan diskusi tentang nasab dan sebagainya. Kesepahaman tersebut dapat dirumuskan dalam nota perjanjian untuk saling menaati dan tidak saling melanggar.
Ketiga, para pihak harus merelakan atas status apapun yang diperdebatkan untuk diselesaikan dan saling menjaga agar tidak saling melakukan tindakan untuk memperkuat diri sebagai ekspresi identitas. Program-program Ba’alawinisasi atas tokoh-tokoh dan sejarah Nusantara atau sejarah NU dan organisasi social keagamaan lainnya juga harus dihentikan. Demikian pula kelompok Imad dan kawan-kawan juga tidak terus mencari-cari masalah terkait dengan status Ba’alawi. Cukup sudah pembicaraan tentang hal dimaksud.
Keempat, hasil meeting ini dapat menjadi upaya untuk rekonsiliasi di antara para pihak. NU memiliki banyak ahli dalam upaya rekonsiliasi. Melalui pengalamannya yang sangat banyak, maka diharapkan akan menghasilkan win-win solution. Jalan ketiga menjadi penting, dan saya kira NU dengan konsep-konsep fiqih dan ushul fiqihnya akan dapat menemukan solusi yang tepat. Saya kira masih ada jalan keluar atas kemelut nasab ini selama masih ada kemauan untuk melakukan negosiasi. Prinsip di dalam negosiasi adalah untuk saling memahami dalam kebersamaan.
Sungguh kita tidak ingin ukhuwah Islamiyah yang sudah terjalin dengan sangat baik selama ini menjadi rusak gegara adanya sikap egoisme dalam mempertahankan pendapatnya. Kita sering berseteru dalam tafsir agama. Kaum Ba’alawi berada di dalam tafsir agama, demikian pula kelompok Imad juga berada di dalam tafsir agama. Tafsir itu selalu ada probability untuk salah. Bisa jadi 95% benar, tetapi masih menyisakan 5% salah. Demikian seterusnya. Wallahu a’lam bi al shawab.
Prof. Dr. Nur Syam, MSi, Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
Sumber: Nursyamcentre