Memang cara yang paling mudah melihat afiliasi keagamaan seseorang adalah dari tata cara ibadah (amaliyah). Misalnya, apabila seseorang membaca qunut subuh, zikir dan berdoa secara berjamaah, kita anggap NU. Cara ini paling mudah tetapi belum tentu akurat. Pada tahap permulaan hal ini tidak dapat disalahkan. Namun terlalu premature apabila dijadikan kesimpulan akhir dan final.
Di dunia ini amat banyak kaum muslim yang beribadah seperti NU. Mereka bermadzhab aqidah Asy’ariyah-Maturidiyah, bermadzhab fiqih mengikuti salah satu dari 4 Imam Madzhab dan bertasawuf/bertarekat. Mereka bertebaran di Arab, Asia Tengah, Asia Selatan, Asia Tenggara, dan belahan bumi lainnya.
Jika kita klaim mereka semua adalah NU, maka NU adalah organisasi terbesar di muka bumi ini mengalahkan Ikhwanul Muslimin dan Muhammadiyah. Akan tetapi, klaim hanya dan tetap klaim sampai terbukti dan terkonfirmasi dengan fakta dan kenyataan.
Klaim memang penting untuk melakukan framing. Namun klaim dan framing memiliki derajat kebenaran yang rendah. Sudah barang tentu tidak dapat dijadikan hujjah, melainkan menjadi amunisi untuk hujat menghujat.
Waktu ramai-ramai masalah pelarangan ceramah Hanan Attaki di Pamekasan, saya diwawancarai oleh salah satu media berita online. Saya jawab, Hanan Attaki bukan HTI. Selama menjadi pengurus HTI, saya mengikuti pertemuan-pertemuan tingkat nasional, saya tidak pernah ketemu beliau. Nama beliau tidak pernah tercantum di dalam dokumen-dokumen HTI. Beliau tidak pernah menjadi narasumber pada acara-acara resmi HTI.
Yang terpenting adalah, pengakuannya sendiri, bahwa beliau bukan anggota HTI, simpatisan pun bukan. Pengakuannya juga mencerminkan ide, ideologi dan pemikirannya yang terkesan jauh dari nuansa HTI.
Padahal persoalan ide, ideologi dan pemikiran merupakan perkara asasi, fundamental dan sangat prinsip bagi HTI. Mengadopsi atau mengambil ide, ideologi pemikiran, pendapat fiqih dan analisis politik Hizbut Tahrir menjadi ide, ideologi pemikiran, pendapat fiqih dan analisis politik pribadi adalah syarat mutlak bagi seseorang apabila ingin menjadi anggota Hizbut Tahrir yang harus diucapkan ketika bersumpah (qassam) menjadi anggota Hizbut Tahrir.
Konsep ini yang disebut dengan istilah “tabanni” oleh Hizbut Tahrir. Tabanni adalah salah satu syarat mutlak bagi seseorang yang menjadi anggota Hizbut Tahrir. Tentang tabanni sudah saya tulis dalam artikel jurnal di Jurnal Politicon FISIP UIN Bandung. Versi terjemahannya ada di website LTN NU Jabar.
Tabanni salah satu dari 3 syarat yang harus dipenuhi dan diucapkan dalam sumpah (qassam) apabila seseorang ingin menjadi anggota Hizbut Tahrir. 2 syarat lainnya yaitu taat dan tsiqah (percaya) kepada pemimpin/kepemimpinan Hizbut Tahrir (qiyadah hizb).
Dari aspek tabanni kita dapat menilai afiliasi ide, ideologi dan pemikiran seseorang, sedangkan dari aspek taat dan tsiqah kita mengetahui afiliasi gerakan dan jaringannya.
Walhasil, klaim dan framing terlalu mengada-mengada apabila kita jadikan metode untuk menetapkan afiliasi keagamaan seseorang. Khusus untuk kasus HTI, apakah seseorang berafiliasi kepada HTI atau bukan, dapat dilacak dari ide, ideologi, pemikiran, pendapat fiqih dan analisis politiknya, apakah mentabanni, mengadopsi dan mengambil dari Hizbut Tahrir atau tidak.
Selanjutnya kita amati afiliasi gerakan dan jaringannya melalui ketaatan dan ketsiqahannya dalam menjalani aktivitas ke-HTI-an.
Jadi, Hanan Attaki bukan HTI sebelum NU. Beliau sebenarnya sudah NU sebelum NU.
KH. Ayik Heriansyah, M.Si, Mahasiswa Kajian Terorisme SKSG UI, dan Direktur Eksekutif CNRCT, Penulis artikel produktif yang sering dijadikan rujukan di berbagai media massa, pemerhati pergerakkan Islam transnasional, khususnya HTI yang sempat bergabung dengannya sebelum kembali ke harakah Nahdlatul Ulama. Kini aktif sebagai anggota LTN di PCNU Kota Bandung dan LDNU PWNU Jawa Barat. Pernah menjadi Ketua HTI Bangka Belitung.