Banten | LIPUTAN9NEWS
“Di hadapan pemikiran Mulla Sadra, Martin Heidegger hanyalah catatan kaki” (Henry Corbin). Pernyataan Henry Corbin itu mungkin bagi kebanyakan orang akan terdengar berlebihan, tapi tidak bagi mereka yang suntuk dan expert dalam khazanah pemikiran, baik Timur atau pun Barat. Dalam menerangkan tentang realitas dan dunia, serta fondasi pemikiran yang holistik, Mulla Sadra memang lebih komprehensif.
Filsafat Islam bagi Henry Corbin mesti dipandang seperti halnya konsep ekumenisme dalam Islam, yang tak hanya melihat bahasa Arab sebagai bahasa “wahyu” yang universal, melainkan ia mewakili konstruksi budaya pemeluknya, dan karenanya tidak bisa dibatasi oleh sekat-sekat sekuler. Henry Corbin mencatat diantara bias dalam pemisahan ini ialah distorsi penerjemahan dan makna. Misalnya, baginya, padanan kata ‘aql dalam bahasa Barat bukanlah ratio (rasio) tetapi intellectus (intelek) atau nous.
Sebelum Edward W. Said mengusung kritiknya terhadap orientalisme, kendati dengan alasan, motif dan kasus yang berbeda, Henry Corbin telah lebih dahulu menyuarakan perlawanan atas hegemoni ini. Kesamaan etos profesi akademik keduanya memberi nuansa resistensi intelektual dan akademik di universitas. Dan yang menjadikan kritik Henry Corbin unik dan sangat menarik adalah oposisi dan konfrontasinya terhadap orientalisme ini karena datang dari “dalam”, sebab memang subjek karir kesarjanaan Henry Corbin adalah tradisi dan pemikiran Islam di “Timur”, terutama Iran-Persia yang memang sebuah negeri yang telah melahirkan banyak filsuf, ilmuwan dan pujangga.
Harus pula diakui, sedikit sarjana yang memiliki pengaruh besar dan mendapat tempat terhormat di dunia Islam, untuk menyebut satu di antaranya ialah Henry Corbin, selain Annemarie Schimmel dan Karen Armstrong dalam kajian Islam secara historis dan teologis. Dilahirkan di Paris, Prancis tahun 1903, dari keluarga Protestan, Henry Corbin justru mengenyam pendidikan awal dalam tradisi Katolik. Selulusnya dari sekolah, tahun 1923 Henry Corbin terdaftar di kampus terbaik Prancis saat itu, École Pratique des Hautes Études
Henry Corbin merampungkan studi filsafatnya dalam arahan dan asuhan Étienne Gilson, yang menjadi awal perjumpaannya dengan teks-teks filsafat klasik dan terjemahan Latin dari karya filsafat berbahasa Arab. Tak lama setelah memperoleh diploma filsafat, Henry Corbin juga menyelesaikan studi Islam dengan bimbingan Louis Massignon, nama besar yang juga dikagumi Ali Syariati, yang menjadikannya akrab dengan budaya Oriental dan bahasa Arab, Persia, Sansakerta dan Turki. Tahun 1928 Henry Corbin merampungkan pendidikan filsafat dengan tesisnya tentang Stoisisme dan pemikiran Santo Agustinus.
Sempat bekerja di perpustakaan Nasional Prancis, Henry Corbin melanjutkan ‘karir’ dengan mengunjungi Jerman dan Swedia yang dimulai tahun 1930 hingga tahun 1936. Dalam beberapa kali kunjungannya, Henry Corbin bertemu dengan tokoh-tokoh intelektual dan akademik istimewa sepertiudolph Otto, Rabindranath Tagore, Alexander Kojéve, Ernst Cassirer, Karl Barth dan figure-figur intelektual dan akademik penting lainnya. Dan pada periode yang sama inilah ia juga berjumpa Martin Heidegger dan membaca karya-karyanya.
Iklim akademis dan intelektual ketika itu semakin memperkaya wawasan Henry Corbin, yang kendati fokus awalnya ialah filsafat, menjadikan minatnya merambah ke ragam wilayah semisal Teologi, Mistisme, Fenomenologi, dan Hermeneutika. Sepulang dari petualangan intelektual ke beberapa negara itu, Henry Corbin kembali ke Prancis mengajar Teologi dan Hermenetika tradisi Martin Luther serta menerjemahkan untuk pertama kalinya karya Martin Heidegger dan Karl Barth ke dalam Bahasa Prancis. Dari aktivitas dan karyanya inilah nampak pengaruh fenomenologi filosofis Jerman dan teologi eksistensial , dua disiplin intelektual dan akademik yang sangat menginspirasi kehidupan intelektual Henry Corbin masa itu.
Meski diwarnai beragam tradisi pemikiran dan disiplin akademik terutama pemikiran Barat-Eropa, Henry Corbin menemukan momentum karirnya sebagai orientalis di masa ia membaca karya-karya Suhrawardi (Syihab Al-Din Yahya Suhrawardi). Hikmat Al-Isyraq adalah karya Suhrawardi pertama yang dikenal Henry Corbin, yang ia peroleh dari Louis Masignon dalam bentuk salinan litograf. Dalam perjalanan karir Henry Corbin selanjutnya, Suhrawardi dikutip hampir di seluruh karya Henry Corbin. Bahkan ia menyebut Suhrawardi sebagai Imam Platonis Persia. Tak hanya menjadi figur sentral karir kesarjanaannya, lebih dari itu, Suhrawardi bahkan menjelma sosok pahlawan dalam kehidupan spiritual Henry Corbin.
Di tahun 1935 karya orientalis Corbin pertama tentang Suhrawardi pun terbit. Ia melanjutkan karirnya dengan meneliti manuskrip Suhrawardi di Istanbul, Turki, sekaligus memimpin Institut Arkeologi Prancis di Turki. Pada tahun 1947, Heenry Corbin berkesempatan mengunjungi negeri Suhrawardi hingga kemudian menganggap Iran sebagai kampung ruhaninya. Ia ditunjuk menjadi Direktur di Institut franco-iranien de Teheran sampai tahun 1973. Di tempat barunya ini Henry Corbin kembali banyak berinteraksi dengan figur-figur intelekual penting, terutama dari kalangan Islam Syiah, semisal dengan Allamah Thabathaba’i sang penulis Tafsir Al-Mizan dan Jalaluddin Ashtiyani. Wabilkhusus untuk Jalaluddin Ashtiyani, Henry Corbin memberikan pujian yang sangat besar hingga menganggapnya sebagai representasi par excellence filsafat Islam.
Adapun kolaborasi proyek antara Henry Corbin dan Jalaluddin Ashtiyani ialah antologi karya filsuf Muslim sejak abad 17. Sejak itulah kehidupan Henry Corbin setelahnya banyak dihabiskan di Iran dan sesekali kembali ke Paris menjalankan tugas akademiknya hingga masa pension. Henry Corbin tinggal dan bekerja secara akademik dan intelektual di Iran selama 29 tahun. Inilah masa-masa Henry Corbin semakin produktif, banyak karya serta gagasan pentingnya seperti filsafat Oriental, topografi spiritual, dan dunia imajinal terinspirasi dan matang saat ia tinggal di Iran. Karya pentingnya ketika itu ialah Bibliotheque Iranienne, 23 jilid buku bertema filsafat dan mistisme. Sebuah mahakarya yang merangkum khazanah Islam dan filsafat yang tumbuh menjadi ilmiah dan filosofis di Iran.
Adapun diskursus orientalisme dalam studi Islam bagi para sarjana Barat memiliki dua pintu masuk utama. Pertama, melalui studi filologi, misalnya mereka yang menjadikan bahasa Arab atau Persia sebagai aparatusnya. Dan kedua melalui studi sejarah, misalnya dengan pendekatan keilmuan antropologi, sosiologi, psikologi dan disiplin lainnya. Dalam hal ini posisi Henry Corbin menjadikannya berbeda dengan mayoritas orientalis karena latar belakang akademiknya sebagai filsuf dan kecenderungan karir intelektualnya pada mistisisme. Sementara banyak orientalis dengan tendensi misionaris. Dengan sedikit pengecualian seperti Max Horten yang juga seorang filsuf, Henry Corbin menjadi orientalis Eropa pertama yang sekaligus filsuf mayor, dengan segala pengertian teknisnya, dalam studi Islam di Barat.
Secara umum, tema utama karya-karya Henry Corbin dalam karir orientalisnya selain filsafat, ialah sufisme dan Syi’isme (ke-Syiah-an) dalam khazanah Islam, sastra dan pemikiran. Pendidikannya sebagai seorang filsuf menjadikan ia membaca filsafat Islam dalam kesarjanaan orientalisme secara berbeda. Tidak hanya pendekatan rasional, menurut Henry Corbin, konsepsi filosofis harus menjangkau hingga sisi kebenaran esoteris, elemen ini baginya selain sangat minim dalam aktivitas filsafat di Barat, juga diabaikan oleh para orientalis kebanyakan. Henry Corbin kadang menyebut elemen ini sebagai teosofi, meski ia menggunakan istilah ini secara literal dan tidak secara teknis. Teosofi menjadi unsur kunci yang dominan dalam karya-karya Henry Corbin.
Sebelum kehadiran Henry Corbin dalam orientalisme dan Islamologi, kecenderungan Eropa-sentris filsafat Islam dalam studi orientalis bisa dilihat dengan mudah dari pergeseran istilah filsafat Islam ketika awalnya studi ini disebut filsafat Arab. Terma Arab semata-mata digunakan karena tokoh filsafatnya menulis dalam bahasa Arab dan tinggal dalam naungan pemerintahan Islam. Istilah “Arab” ini menurut Henry Corbin terlalu terpaku pada definisi linguistik, baginya penggunaan terma seperti ini pada filsafat Islam tidak memadai bukan semata-mata karena bias bahasa, tetapi juga bias etnik, budaya serta politik. Filsafat Islam bagi Henry Corbin mesti dipandang seperti halnya konsep Ekumenisme dalam Islam, tak hanya melihat bahasa Arab sebagai bahasa “wahyu” yang universal, di mana perspektif ini sekaligus mewakili konstruksi budaya pemeluknya, dan karenanya tidak bisa dibatasi oleh sekat-sekat sekuler. Henry Corbin mencatat di antara bias ini ialah distorsi penerjemahan dan makna, baginya padanan kata ‘aql dalam bahasa Barat bukanlah ratio (rasio) tetapi intellectus (intelek) atau Nous.
Henry Corbin pun juga mencontohkan bias lainnya semisal fakta bahwa banyak filsuf Persia yang menulis karyanya dalam bahasa Arab, analog dengan Descartes, Spinoza, Kant atau Hegel yang menulis karyanya dalam bahasa Latin, tetapi mereka tidak lantas dikategorikan sebagai penulis “Latin” atau “Romawi”. Begitu pun oleh Barat dalam sejarah intelektual Eropa, posisi filsafat Islam hanya dianggap sebagai perantara masuknya filsafat ke Barat hingga abad ke-13. Setelah periode tersebut, selain fungsi mediasi, nyaris tak ada aspek penting dalam filsafat Islam yang memberi kontribusi bagi Barat. Pakem populer orientalis ini menilai filsafat Islam berakhir pada masa Ibn Rusyd. Tepat di sinilah Henry Corbin menunjukkan bias Barat selanjutnya yang tak kalah fatal.
Dalam tinjauan Henry Corbin, fenomena ini berawal dari pengaruh Ibn Rusyd atau “Averroism” di Barat yang selanjutnya membanjiri Eropa dengan apa yang disebut “Latin Avicennism“. Wafatnya Ibn Rusyd hanya mengakhiri yang oleh Henry Corbin istilahkan dengan “Peripatetisme Arab”, karena di belahan dunia Timur Ibn Rusyd bukanlah sosok yang penting, dan justru kematiannya malah menandai “kelahiran” tokoh seperti Suhrawardi. Sebaliknya, dalam pencitraan orientalis nampak tradisi filsafat yang disampaikan ke Eropa ini sudah tidak menarik lagi bagi muslim sesudahnya, seolah aktivitas filsafat yang pernah ada berhenti begitu saja.
Sulaiman Djaya, Pemerhati Sosial Kebudayaan