Banten | LIPUTAN9NEWS
Sesungguhnya ada pertanyaan yang sangat mendasar yang terbersit di benak saya sebagai orang yang pernah intens aktif di HMI, minimal ketika masih mahasiswa, yaitu: apa sesungguhnya yang mesti dilakukan HMI agar sanggup memberikan kontribusi yang sangat berarti dan amat bermakna bagi kemajuan Indonesia? Pertanyaan itu kemudian menimbulkan pertanyaan lainnya: adakah HMI saat ini sesuai dengan khittah didirikan dan kelahirannya ataukah malah merosot hanya menjadi partisan belaka? Bukan menjadi pioneer dan melahirkan figur-figur teladan yang akan meninggalkan jejak abadi dalam sejarah.
Mula saya menjadi kader HMI adalah ketika kakak tingkat saya di Fakultas Ushuluddin IAIN (kini UIN) Syarif Hidayatullah, yang kebetulan juga alumni Daar El-Qolam Gintung Tangerang, mendaftarkan saya sebagai peserta LK I HMI, dan kebetulan saya menjadi peserta LK I terbaik karena memang unggul di semua materi yang disodorkan para pemateri. Tak lama setelah itu, saya ditunjuk untuk duduk di Ketua Bidang Kajian HMI Cabang Ciputat.
Di masa-masa itu, Nurcholis Madjid masih aktif mengasuh kajian bulanan KAA (Kajian Agama-Agama) di Universitas Paramadina yang senantiasa menghadirkan pakar yang tengah diminati di kalangan akademisi dan intelektual, semisal Jalaluddin Rakhmat, M. Dawan Rahardjo, dan yang lainnya, yang akan panjang bila diabsen satu persatu, selain Cak Nur sendiri yang menjadi pemateri program yang amat bernas dan bergizi itu.
Di intra kampus, saya dipercaya untuk menjadi pimpinan partainya HMI (Partai Reformasi Mahasiswa) tingkat Fakultas Ushuluddin, dan kebetulan pula, ketika saya dicalonkan sebagai kandidat senat (legislatif) mahasiswa, saya menang telak di fakultas saya, di semua jurusan fakultas. Ketika itu lawan saya berasal dari Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) dan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), dua organisasi mahasiswa dari dua organisasi keagamaan terbesar di Indonesia, yang saat ini saya masih bersilaturahmi dengan beberapa orang yang terlibat di keduanya, karena kebetulan pula saya aktif kongkow dengan orang-orang Lembaga Seni dan Budaya Muhammadiyah pusat sekaligus nimbrung sebagai kontributor penulis di salah-satu media digital NU. Ketika terjadi proses pemilihan pimpinan legislatif mahasiswa, saya menjagokan teman saya yang juga HMI, dan Alhamdulillah teman saya menang telak: mendapatkan 147 suara dari 160 suara yang diperebutkan. Saya enggan maju ketika itu karena saya sedang fokus mengurus kajian di HMI.
Di masa-masa itu juga setiap organisasi ekstra kampus: HMI, PMII, dan IMM, memiliki tempat kongkow kajiannya masing-masing, semisal Forum Mahasiswa Ciputat (HMI), Piramida Circle (PMII) dan kajian berkala Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah yang tempatnya bersebelahan dengan kampus, dan saya kadangkala hadir dan diminta pula menjadi pemateri kajiannya. Di kawasan Ciputat itu ada juga Lingkar Studi Aksi untuk Demokrasi Indonesia (LS-ADI) yang sebagian penggeraknya memiliki kedekatan dengan orang-orang di Forum Mahasiswa Ciputat, seperti Ray Rangkuti dan Adi Prayitno, mungkin karena sama-sama HMI. Di Ciputat, sejumlah kader HMI memang dekat dan akrab dengan kultur pemikiran dan dunia literasi kajian, hingga acapkali tak jarang akrab pula dengan kontroversi, termasuk dalam wacana ke-Islam-an.
Di generasi (angkatan) saya di lingkungan Ciputat, setidaknya di lingkungan UIN Syarif Hidayatullah, HMI terbilang paling mewarnai dinamika kampus, bukan semata dalam aktivisme, tapi juga dalam literasi dan keilmuan. Secara intelektual dan keilmuan, tokoh-tokoh HMI kala itu, seperti Cak Nur, adalah mereka yang memiliki wibawa di tingkat nasional bahkan internasional secara akademis dan intelektual. Begitu pun rektor dan dekan kampus, mayoritas berasal dari HMI, seperti Azyumardi Azra, yang juga tidak jauh berbeda kadar keilmuannya dengan Cak Nur. Kader-kader HMI di Ciputat kala itu memang mayoritas menonjol secara keilmuan. Kuatnya budaya literasi dan gairah intelektualisme kala itu barangkali juga tidak terlepas dari kebanggaan kader-kader HMI di lingkungan Ciputat bahwa memang banyak intelektual publik berasal dari HMI. Mereka yang memang akrab dan suntuk dengan kajian dan membaca, sehingga kemudian mewarnai secara dominan arena pemikiran dan pergumulan intelektual.
Eksistensi dan gairah hidupnya forum-forum kajian dan diskusi mahasiswa itulah yang memungkinkan para aktivis memiliki kepekaan ketika mendapati realitas sosial-politik yang menyimpang, membuat mereka punya basis dan fondasi pengetahuan yang mumpuni dalam berargumentasi, dan bahkan mereka yang dibesarkan di forum-forum dan diskusi mahasiswa itu pula yang akhirnya menjadi para intelektual publik yang komprehensif, bernas dan diminati banyak orang. Sejumlah dari mereka juga kemudian menjadi para pendiri dan penggerak lembaga-lembaga riset sosial-politik dan gerakan pencerahan dan pendidikan, hingga tak jarang menjadi para penulis dan budayawan yang handal, selain menjadi para analis sosial-politik yang bisa dipercaya dan dapat dipertanggungjawabkan. Berkaca pada pengalaman ini, saya memandang perlu dihidupkan juga forum kajian dan diskusi keluarga HMI di Banten.
Bila kita berkaca pada sejarah HMI, kelahiran Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) pada 5 Februari 1947 disemangati oleh nasionalisme (patriotisme) dan ke-Islaman. Bertujuan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), mempertinggi derajat rakyat Indonesia dan menegakkan serta mengembangkan Islam yang rahmatan lil alamin. Sangat jelas, semangat dan tujuan kelahiran HMI bersemangatkan cita humanistik, religius, dan patriotik: ke-Islam-an tidak mungkin dipisahkan dan dilepaskan dari ke-Indonesia-an dan, begitu juga sebaliknya, ke-Indonesia-an kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) didorong oleh spirit ‘jihad’ sosial politik budaya bernilai ke-Islam-an agar mampu memberikan kontribusi bagi kemajuan dan kesejahteraan rakyat Indonesia.
Praksis dari etos dan spirit kelahiran HMI itu tak lain adalah keteladanan: sejauh mana kader-kader HMI mampu menerjemahkan dirinya sebagai insan-insan berkarya dan beprestasi dalam ragam ranah dan bidang kehidupan. Sejauh mana kader-kader HMI sanggup berkontribusi bagi pemajuan bangsa dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Sejauh mana kader-kader HMI menjadi suri tauladan yang punya integritas dan berwibawa, baik dalam ranah sosial, keagamaan, politik, seni dan budaya. Menjadi insan-insan yang melahirkan inspirasi dan menjadi motor penggerak. Menjadi manusia-manusia yang tak pernah berhenti belajar dan mengaya diri agar memiliki kapasitas dan kapabilitas yang bisa diandalkan oleh masyarakat. Untuk bisa menjadi insan-insan teladan tersebut, fondasi utamanya tetaplah ilmu dan pengetahuan. Inilah dasar pemikiran dan motivasi kebatinan diadakannya Kajian Demokrasi dan Ekonomi Politik Sekretariat KAHMI Banten, Podcast Tokoh HMI, dan Kelas Menulis Sekretariat KAHMI Banten.
Sulaiman Djaya, penyuka kopi hitam tanpa gula