JAKARTA | LIPUTAN9NEWS
Baik buruknya perilaku yang dilakukan oleh manusia ditentukan oleh imannya. Apabila seseorang memiliki iman yang kuat, maka perilakunya akan baik dan terpuji. Sebaliknya apabila imannya sangat lemah, maka perilakunya akan cenderung kepada keburukan dan berbagai hal yang tercela. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah, Nabi s.a.w. menjelaskan hal yang berkaitan dengan perilaku manusia dalam empat macam, yaitu (1) setiap orang yang memiliki iman, tidak mungkin akan melakukan perzinahaan. Setiap orang yang melakukan perzinahan menunjukkan imannya sedang kosong.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa apabila seseorang memiliki iman sekecil apapun imannya, meskipun sebesar biji sawi, atau setipis bulu lalat, maka tidak mungkin ia akan berbuat zina. (2) seorang yang beriman tidak akan mengonsumsi khamr atau minuman yang memabukkan. Apabila ada orang yang mengonsumsi minuman keras, atau makanan yang memabukkan, berarti imannya tidak ada sama sekali. Apabila masih ada iman sekecil apapun, pasti ia tidak akan mengonsumsi minuman keras atau berbagai hal yang memabukkan.
(3) Seorang yang beriman tidak mungkin akan mencuri. Apabila ada seseorang yang mencuri, menunjukkan imannya lepas sama sekali. Apabila ia masih memiliki iman setipis apapun, pasti tidak akan mencuri. (4) seorang muslim tidak akan merampas harta orang lain selama imannya masih ada, sekecil apapun, meskipun sebesar biji sawi. Apabila ada orang yang merampas harta orang lain, menunjukkan orang itu imannya tidak ada sama sekali.
Dari empat contoh di atas tentunya bisa dikembangkan lebih jauh dengan perilaku-perilaku lain yang beraneka macam. Kesimpulannya selama seseorang memiliki iman, pasti tidak akan melakukan perbuatan tercela. Mengapa iman begitu kuat pengaruhnya pada perilaku manusia, karena dengan keimanan itulah seseorang akan menjadi baik atau buruk, terpuji atau tercela.
Seseorang yang memiliki iman yang tinggi merasa selalu mendapatkan pengawasan dari Allah s.w.t., sehingga ia tidak mungkin melakukan perbuatan tercela. Sebagian besar dari mereka yang terjerembab dalam perbuatan tercela, disebabkan imannya sangat tipis, sehingga mengambil kesimpulan bahwa perbuatannya itu tidak ada yang mengetahui. Maka dilakukanlah berbagai perbuatan tercela tersebut.
Rasulullah s.a.w. pernah ditanya oleh salah seorang sahabatnya tentang perbuatan baik dan buruk. Beliau menjawab:
البِرُّ حُسنُ الخُلُقِ، والإِثْمُ ما حاكَ في صدْرِكَ ، وكرِهْتَ أنْ يَطلِعَ عليه الناسُ
Artinya: “Kebajikan adalah akhlak yang terpuji, sedangkan dosa adalah sesuatu yang membuat keraguan dalam dirimu. Dan kamu merasa tidak suka apabila perbuatanmu dilihat orang lain.” (HR. Muslim, 2553).
Banyak orang yang terjerembab dalam perbuatan buruk karena dalam hatinya mengatakan: “ah tidak ada yang tahu ini”. Hal ini menunjukkan orang itu imannya sedang tidak ada. Kalau ada imannya sekecil apapun, pasti akan menyadari bahwa semua perbuatannya diketahui oleh Allah s.w.t..
Dari hadits nabi di atas bisa dipahami bahwa kebajikan yang harus selalu diraih seseorang dengan sungguh-sungguh, wujudnya adalah akhlak yang luhur. Akhlak yang luhur bersumber pada keimanan yang kuat dan merasa selalu diawasi oleh yang Maha Kuasa. Perbuatan dosa selain ketentuan yang ditetapkan oleh ajaran agama, juga dapat diketahui oleh diri manusia sendiri, yaitu segala sesuatu yang menimbulkan keraguan dalam dirinya, dan takut diketahui orang lain, maka hal itu adalah termasuk dosa.
Perbuatan baik dan buruk sesungguhnya diketahui oleh setiap nurani manusia, masalahnya kita mau konsekuen atau tidak untuk mengikuti nurani yang kita miliki. Suatu perbuatan yang terpuji ataupun tercela selalu dapat diketahui oleh setiap orang melalui hati nuraninya. Apabila perbuatan itu mengikuti bisikan nuraninya, dan dilakukan dengan sadar, serta ikhlas, maka hal itu merupakan suatu kebajikan.
Apabila suatu perbuatan yang bertentangan dengan nuraninya sendiri, atau dilakukan dengan amarah, maka hal itu merupakan perbuatan yang tercela. Sukses atau tidaknya seseorang, akan dapat diwujudkan dengan kemampuan orang itu menghindari berbagai hal yang bersifat amarah atau hawa nafsu.
Seorang anak muda datang kepada Rasulullah s.a.w., mohon memperoleh nasehat yang dengan nasehat itu ia akan meraih kesuksesan lahir dan batin, baik pada masa kini maupun pada masa yang akan datang. Nabi s.a.w. menjawab dengan singkat: La Taghdab, kamu jangan marah, kamu jangan bersikap emosional. (HR. Tabrani, 2353).
Dr. KH. Zakky Mubarok Syakrakh, MA., Dewan Pakar Lajnah Dakwah Islam Nusantara (LADISNU) dan Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)






















