LIPUTAN9.ID – Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi mendukung usulan sejumlah negara untuk menyeret Israel ke Mahkamah Internasional sebagai pelaku kejahatan kemanusiaan atas genosida yang mereka lakukan di Gaza. “Indonesia mendukung upaya untuk meminta pertanggungjawaban Israel, termasuk di International Court of Justice,” demikian ujarnya pada konferensi pers secara virtual (29 Oktober 2023) lalu.
Sebelumnya Menlu Indonesia Retno Marsudi juga menegaskan bahwa akar masalah konflik Palestina dan Israel adalah okupasi atau penjajahan Israel atas Palestina yang sudah berlangsung selama 75 tahun. Artinya masalah yang sesungguhnya memang penjajahan dan penindasan, bukan semata serangan Hamas pada 7 Oktober 2023 lalu.
Usulan untuk menyeret Israel ke Mahkamah Internasional itu mengingatkan kita pada Tragedi Srebrenica beberapa tahun yang silam.
11 Juli 1995, terjadi sebuah drama kekejian yang mengejutkan dunia: 8000 nyawa muslim Bosnia dijagal atas nama nasionalisme. Kala itu, dunia seakan kembali menorehkan ritus kekejamannya setelah era Hitler dan Perang Dunia Kedua berakhir. Keduanya tak jauh berbeda: Hitler dan Slobodan Milosevic menjagal ummat manusia atas nama nasionalisme –tepatnya: rasisme. Seperti pada Perang Dunia Kedua, perang Balkan sepanjang 1992-1995 itu juga menjadi arena pembantaian ummat manusia yang sangat mengejutkan dunia dan terbilang paling mengerikan: 20.000 perempuan muslim diperkosa dan sekitar 200.000 ribu muslim lainnya di kawasan itu menjadi korban kebrutalan dan kekejian para jenderal ultranasionalis Serbia yang ingin menegakkan sebuah imperium bangsa Serbia berdasarkan ras dan balas dendam kepada sang pembantai, Turki Ottoman, atas Serbia di masa lalu sejarah dunia.
Tragedi Srebrencia, 11 Juli 1995 itu, bermula ketika pasukan Belanda yang diberi mandat oleh PBB tidak sanggup menjaga kamp pengungsi Srebrenica dari gempuran pasukan Serbia, pasukan Scorpion, pimpinan Jenderal Ratko Mladic yang dibantu pasukan paramiliter Serbia. Setelah berhasil merebut kawasan pengungsi Srebrenica itu dari pasukan Belanda, pasukan Serbia menginterogasi para pengungsi yang akhirnya berujung pada penjagalan. Peristiwa tersebut tak diragukan lagi menjadi sejarah hitam paling mengerikan dan yang terburuk bagi Eropa, negeri yang konon humanis dan tercerahkan itu. Hingga seorang penulis kesohor Yahudi, Elie Wiesel, menyesalkan keterlambatan dunia untuk mencegah tragedi kekejian tersebut. Memang, setelah bersembunyi dari kejaran hukum selama 16 tahun, seperti dilansir sebuah stasiun radio Serbia B29, kepolisian Serbia akhirnya menemukan keberadaan Jenderal Ratko Mladic di sebuah desa Lazarevo, dekat Zrenjanin, Serbia Utara.
Sebelumnya, di desa yang terbilang cantik dan sejuk itu, Jenderal Ratko Mladic hidup bebas dengan nama samaran Milorad Kamadic. Namun naas ternyata tak bisa ditolaknya, kepolisian Serbia yang telah dilatih untuk mempelajari raut wajah dan ciri-ciri tubuh sang jenderal, akhirnya yakin bahwa lelaki usia baya yang bernama Milorad Kamadic itu tak lain adalah Sang Jenderal Ratko Mladic, sang penjagal ummat manusia paling berdarah dalam sejarah Eropa dan dunia. Tentu saja tak ada sebab tanpa akibat. Alkisah, kepolisian Serbia menjadi yakin tempat keberadaan sang jenderal tersebut ketika sebelumnya pengadilan di Beograd menyidangkan istri sang jenderal, Bosiljka, atas dakwaan memiliki senjata api secara ilegal. Di pengadilan itulah, selain dari keterangan orang-orang terdekat sang jenderal yang tertangkap, sejumlah keterangan tentang keberadaan sang jenderal mulai menemukan titik terang, meski di pengadilan itu Bosiljka terus berusaha berbohong bahwa suaminya telah meninggal beberapa tahun setelah Slobodan Milosevic berhasil digulingkan pada akhir tahun 2000 silam.
Tertangkapnya Ratko Mladic itu tentu saja disambut gembira oleh keluarga-keluarga para korban yang harus menunggu bertahun-tahun tertangkapnya Ratko Mladic setelah sebelumnya pengadilan internasional telah menyidangkan Radovan Karadzic yang tertangkap setelah 11 tahun melarikan diri dan bersembunyi. Kegembiraan keluarga-keluarga korban para jenderal ultranasional itu mungkin bisa menebus kekecewaan mereka ketika Slobodan Milosevic, mantan presiden Serbia, keburu meninggal saat tengah menjalani proses hukum di Mahkamah Internasional dan tak sempat mendapatkan hukuman yang setimpal untuk kejahatannya selama Perang Balkan.
Paska tergulingnya Slobodan Milosevic di penghujung tahun 2000 silam itu, Tribunal Yugoslavia sendiri telah mendakwa 19 orang yang bertanggungjawab atas pembantaian ummat manusia pada Perang Balkan tersebut, selain empat tokoh utamanya: Slobodan Milosevic, Radovan Karadzic, Ratko Mladic dan Zdravko Tolimir. Setelah perang berakhir, atas desakan para aktivis HAM internasional, para pemimpin dunia dan setelah melalui pembahasan yang cukup panjang, PBB pun akhirnya menetapkan tragedi Srebrenica 11 Juli 1995 silam itu sebagai peristiwa pembantaian ummat manusia alias genosida –yang artinya para pelakunya dicap sebagai para penjahat perang yang harus diadili di Mahkamah Internasional.
Apa yang dilakukan militer Israel terhadap warga Gaza, Palestina selama sebulan lebih adalah juga genosida, sebagaimana ditegaskan Paus di Vatikan. 4000-an lebih bayi dan anak-anak terbunuh oleh militer Israel yang menyasar warga sipil dan fasilitas atau infrastruktur warga sipil semisal hunian, rumah sakit, mesjid, dan gereja yang berdasarkan hukum humaniter Internasional tidak boleh menjadi sasaran militer dan konflik bersenjata.
Singkatnya, Israel melanggar hukum humaniter Internasional dan tentu saja melakukan kejahatan kemanusiaan terburuk dalam sejarah dunia kita saat ini. Melakukan genosida warga sipil. Dengan demikian, usulan untuk menyeret Israel ke Mahkamah Internasional merupakan usulan yang harus didukung oleh banyak negara dan banyak pihak.
Sulaiman Djaya, (Budayawan)