BONDOWOSO | LIPUTAN9NEWS
Beberapa tahun yang lalu, saat ujian promosi doktor, setelah saya dikukuhkan sebagai doktor yang 450 di Pascasarjana UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, sebagai promovendus saya diminta rektor Prof. Dr. H. Abdul Haris yang diwakili oleh Prof. Dr. H. Syamsul Hadi, MA yang bertindak sebagai ketua sidang untuk memberikan pesan dan kesan selama menempuh kuliah program doktor di UIN Maliki Malang.
Dalam momentum itu, saya menyampaikan bahwa saya bukanlah mahasiswa yang pintar, cerdas dan hebat justru saya bisa berdiri dihadapan pada rektorat dan guru besar, berkat doa orang tua dan dukungan isteri sebagai pahlawanku. Bagaimana tidak, selama sepuluh tahun ia kerapkali ditinggal pergi untuk kuliah sarjana, magister dan doktor serta ia rela jatah belanjanya dikurangi untuk membayar SPP. Tanpa doa dan perjuangan keduanya orang tua dan isteri, tidaklah mungkin saya bisa berkesempatan hadir dan berdiri diruang terhormat ini.
Istri, dan anakku adalah para pahlawanku. Berkat jasa dan pengabdian merekalah aku bisa menjadi pemimpin dalam keluargaku. Terkadang seorang suami sering lupa bahwa ada sosok pahlawan yang selalu menyertai perjalanan hidupnya. Dialah istri, dan anak-anaknya.
Di tengah derasnya hujan malam ini, kucoba menuliskan kisahku ini. Kisah seorang suami yang memiliki istri dan anak-anak yang membanggakan. Saya tak tahu harus mulai dari mana kisahku ini, sebab begitu banyak hal yang ingin kuceritakan tentang istri dan anakku itu. Tapi, sebelumnya aku meminta maaf terlebih dahulu kepada kalian semua karena ceritaku ini mungkin akan terlalu panjang dan cenderung subyektif serta membosankan orang yang membacanya. Namun saya yakin, para pembaca yang membaca tulisanku ini tentu akan bersabar hati membaca dengan empati kata demi kata yang kutuliskan dengan hati yang bersih sehingga hati kita bertemu dalam pesan tersembunyi yang ingin kusampaikan.
Sebenarnya aku malu juga menuliskan ini, karena saya bukanlah seorang suami yang pandai membahagiakan istri dan anak. Sebab belum banyak hal yang kulakukan untuk membahagiakan mereka. Saya masih sering membuat mereka kesal dan terkadang membuatnya cemberut bahkan marah melihat kelakuanku yang terkadang lupa waktu, terlalu memburu rezeki dengan alasan untuk anak dan istri.
Aku terkadang lupa bahwa ada anak dan istri yang menungguku di rumah. Saya terlalu asyik dengan pekerjaanku yaitu berdakwah, konsultan, peruqyah, dan penulis. Tanpa kusadari, pekerjaan ini telah menjadi Tuhanku, dan popularitas sebagai manusia berprestasi telah membuatku lupa tentang hakekat hidup yang sebenarnya. Saya terhanyut dalam belaian pujian para netizen. Padahal, Dia yang sesungguhnya adalah Allah, Tuhan Yang Maha Esa.
Sebenarnya apalah artinya harta berlimpah kalau pertemuan suami istri hanya beberapa jam saja. Bahkan komunikasipun teramat jarang. Bila itu terjadi pada diri kalian, berhentilah sejenak memburu rezeki dan tataplah anak dan istrimu dengan sepenuh hati. Kemudian renungkanlah dalam hati untuk apa kau berburu rezeki kalau bukan membahagiakan anak dan istri? Lalu kenapa kau habiskan waktumu untuk berburu dan terus berburu rezeki sementara anak dan istri menunggumu di rumah dengan setia?
Pertanyaan itulah yang membuatku malu. Malu kepada diriku sendiri. Tapi untunglah saya tersadarkan bahwa hidup hanya sementara, bagaikan seorang pengembara yang singgah sebentar lalu pergi kembali. Saya mulai merefleksi diriku sendiri betapa saya tak bersyukur memiliki anak dan istri yang diamanahkan Allah kepadaku. Menyia-nyiakannya setiap hari dari mulai bangun tidur sampai mau tertidur lagi. Membuat akhirnya saya tersadarkan bahwa untuk merekalah saya memburu harta, dan bukan menjemput rezeki yang diberikan Allah kepadaku.
Tak perlu saya harus ekstrim seperti ini. Terlalu memburu ekspetasi sampai lupa waktu, dan melupakan anak dan istri yang menungguku setiap hari. Kadang saya mendapatkan telepon dari putri bungsuku, “kapan abi pulang?” Menanyakan ayahnya yang belum pulang juga padahal hari telah menjelang malam.
Apa yang saya alami mungkin juga pernah kalian alami juga. Bahkan mungkin yang kalian alami lebih dahsyat daripada yang saya alami. Hanya mungkin kalian belum sempat atau tak pandai merangkai kata-kata indah, sehingga kalian hanya bisa berbicara kepadaku atau teman yang kau percaya. Kalau kalian percaya kepadaku, maka akan kuberi kalian tausyiah,
“janganlah terlalu memburu ekspektasi dan reputasi “. Sebab pengalaman saya selama ini ternyata salah. Harta dunia saja tak membuat manusia berbahagia. Ada hal lain yang membuat kita tenang, yaitu kebahagian anak dan isteri.
Makanya, ketika isteri sudah mulai jengkel dan marah marah, saya sering mengalah bukan karena takut padanya tapi menghargai perjuangannya selama ini.
Well, suatu kali, ada sahabat yang berjalan gontai menuju rumah Umar bin Khathab. Ia sedih, karena baru saja dimarahi oleh istrinya. Ia ingin mengadukan prilaku istrinya itu kepada Umar bin Khathab. Dengan ini, barangkali Umar Sang Khalifah akan memberikan teguran, atau minimal nasehat kepada istrinya supaya tidak kembali mengulangi perbuatannya.
So, sesampai di depan pintu rumah Umar, dia terhenti. Mulanya ia ingin mengetuk pintu, namun urung dilakukan. Ia mendengar Umar bin Khathab sedang dimarahi oleh istrinya. Umar nampak diam dan menerima segala kata-kata pedas yang dialamatkan kepadanya.
Pemuda itu termenung. Lalu ia berkata dalam hati, “Umar saja, sang khalifah umat Islam dimarahi oleh istrinya, apalagi saya?” Dia jadi malu untuk mengadukan nasibnya. Ternyata apa yang terjadi pada dirinya, sama juga yang terjadi pada diri Umar.
Alaa kulli hal, ia lantas membalikkan badan dan berniat untuk pulang. Tibda-tiba saja, pintu rumah Umar terbuka. Umar melihat pemuda itu dan bertanya, “Ada apa? Apa yang bisa dibantu”? Sahabat itu menjawab, “Tidak ada apa-apa wahai Amirul Mukminin”. “Jika tidak ada sesuatu apapun, mengapa kamu ke sini?” Kata umar. Pemuda itu menjawab, “Sebenarnya saya ingin mengadukan prilaku istri saya. Baru saja saya dimarahi istri saya di rumah. Kata-kata istri saya cukup menyakitkan. Tapi tatkala saya datang kemari, ternyata engkau wahai Amirul Mukminin, juga dimarahi istri. Hanya yang membuatku heran, mengapa engkau diam saja?: Umar menjawab, “Wahai pemuda, istrimu itu telah mendidik anak-anak, membersihkan rumah, memasak masakan untukmu, menyucikan bajumu, mengurusi berbagai persoalan rumah tangga. Ia tidak pernah menuntut apapun kepadamu. Apakah layak bagimu untuk kembali memarahinya?”. Pemuda itu terdiam. Dia merenungi apa yang dikatakan Umar. Lalu ia mohon izin untuk kembali ke rumahnya.
Istri adalah permata bagi seorang suami. Ia bidadari dunia dan akhirat. Ia pahlawan dalam kehidupan rumah tangga. Bayangkan saja, seorang istri mengurusi semua urusan keluarga. Ia memasak, membersihkan rumah, mencuci baju, menyetrika, mengurusi anak-anak, memandikan, mendidik dan masih banyak lagi pekerjaan rumah tangga.
Hebatnya lagi, seorang istri mampu melakukan semua pekerjaan itu sendirian tanpa bantuan siapapun. Hebatnya lagi, ia bisa bekerja sepanjang hari tanpa ada hari libur. Jadi, tidak ada cuti bagi seorang istri. Tatkala ia mempunyai anak kecil, malam pun ia luangkan waktu untuk mengasuh anaknya. Tidurnya bukan seperti suami, yang lelap dari awal hingga pagi hari. Ia tidur sambil menyusui anak kecilnya. Tatkala si kecil rewel, ia segera bangun untuk memeluk dan memberinya asi. Bahkan jika si anak masih rewel, ia akan bangun berdiri untuk mengendong si kecil sambil memberinya asi.
Istri sungguh pahlawan keluarga. Saat suami letih dengan peluh mengucur di tubuhnya, namun semua penat itu hilang seketika tatkala ia pulang disambut dengan kehangatan dan senyuman istri. ketika ia gundah gulana dan menghadapi tekanan pekerjaan yang kadang membosankan, istri menjadi tempat bernaung. Istri membuat hati suami tentang dan hari-hari penuh dengan keceriaan.
Istri adalah pahlawan keluarga. keberhasilan seorang suami banyak ditentukan oleh dukungan istri. Motivasinya, memberikan energi tak terkira bagi seorang suami. Perhatiannya yang luar biasa bagi suami, memberikan tenaga dorong yang sangat dahsyat sehingga suami mampu dapat melewati berbagai rintangan dalam mengaruhi bahtara kehidupan. Ia adalah istriku, pendamping hidupku, menemaniku dalam setiap waktu. Terimakasih, karena engkau telah sudi menjadi bagian dari jiwaku.
Lebih dari itu, ia adalah istri yang selalu mengingatkan suami untuk dekat dengan Yang Maha Kuasa. Istri yang sangat khawatir suaminya mendapatkan harta yang tidak diridhai Allah. Istri takut suami mendapatkan harta haram yang akan masuk ke dalam darah darging keluarga. Istri yang selalu mengikatkan suami tatkala lalai dengan Allah, istri yang selalu mendampingi suami untuk dekat kepada-Nya. Istri yang bersama-sama berjuang bersama suami dalam mendidik anak-anak dan membina keluarga demi terwujudnya keluarga sakinah, mawaddah dan rahmah serta menjadi penghafal al-Quran semua. Istri seperti ini, yang akan abadi, menjadi pendamping suami sampai di akhir nanti. Ia adalah bidadari surga.
Salam akal sehat, Warlez Azzam, Koncer Kidul, 14 November 2025
Dr. KHM. Saeful Kurniawan, MA., Pndakwah dan Penulis





















