Banten | LIPUTAN9NEWS
Jatman bukan hanya sebuah nama, ia adalah cindur mata para awliya, yang lahir tumbuh merona dari rahim jam’iyyah mubarakah, dalam hening para muhibbin dan nafas tawajjuh para nahdliyyin. Sedangkan Jatma ia lahir dari sengketa, dirangkai dalam kecewa, dan disulam dalam nafsu yang kentara.
Jatma menumpang nama, memiripkan diri membuang huruf akhirnya Jatman. Yang dibuang itu adalah identitas kami: nahdliyyah.
Angkara yang selama ini dipendam dihias dengan jubah dan kepura-puraan kini terkuak. Ia adalah sebuah kasyful astar : pembuka tirai kekasih palsu, mungkin juga mursyid palsu, atau sanad palsu, terlebih nasab palsu, kemudian sejarah palsu dan makam palsu.
Kata Nadir “Sayangnya, sebagian kita memaknainya sebagai perpecahan, bukan perbedaan jalan. Padahal bagi para penempuh jalan tasawuf, ini bukan pertarungan, melainkan ujian: sejauh mana kita menjaga adab, dan seikhlas apa hati memerima takdir perbedaan.”
Sebagian kita bukan memaknai itu suatu perpecahan, tetapi memperhatikan tingkah lucu seorang sufi-tufaili yang merajuk kepada kami dan merobek nama kami: nahdliyyin.
ujian itu bukan untuk kami, tetapi untuk dia: sang sufi-tufaili, yang kau panggil dengan mursyid agung nan kharismatik itu, Nadir. Ia hanya lambang kekanak-kanakan saja: ketika mainan yang ia pinjam diminta, ia menangis lalu ingin tetap memilikinya.
Sufi itu yang menapaki jalan kepasrahan yang tiada tara, tak tercium sedikitpun rasa nafsani. Mursyid-agungmu jauh, Nadir. Pejamkan matamu, sunyikan jiwamu, telusuri sirah para awliya dalam relung-relung pengetahuan dalam jiwamu, apakah deretan nama dari sufi masa lalu, ketika menghadapi masalah ia mengalir seperti air, yakin akan yang terbaik yang Tuhan siapkan dalam semua keadaan? ataukah ia akan melawan hukum waktu lalu bernafsu menerjang realitas sunnah dari-Nya -muara akhir tempat kita bersimpuh-?
Dia itu yang kedua, Nadir.
“Tarekat bukan soal struktur…’,
betul, Nadir. Lalu kenapa tuanmu berpayah-payah membuat struktur? Belum puaskah ia dalam struktur selama 24 tahun itu? tidakkah ia berpikir telah tiba saatnya harus sering dalam sunyi, menuju keheningan abadi, bersama kekasih yang hakiki? kapan ia akan fana bersama gumulan-Nya, jika jasad masih berlutak-latik dengan najis pergaulan selain dengan-Nya?
“Ia adalah perjalanan menanggalkan diri, melebur ego, dan larut dalam cinta ilahi.”
Perjalanan menanggalkan diri itu telah gagal, Nadir. Bahkan yang ada kini hanyalah merengkuh diri melupakan Dzat sejati yang tiada fana. Melebur ego itu hanya selogan untuk pecinta, bukan untuk pendusta. Ia tak akan mampu larut dalam samudra cinta ilahi, bahkan sebaliknya, birahi.
“Para mursyid sejati tak berebut mimbar, tak menggenggam kue jabatan, mereka berjalan dalam diam memberi cahaya tanpa menyilaukan,”
itu hanya mursyid yang ada dalam kitab Awariful Maarif, bukan untuk mursyid yang yang ada di panggung deklarasi. Salam.
KH. Imaduddin Utsman Al Bantani, Pengasuh dan Pendiri Pondok Pesantren Nahdlatul Ulum Kampung Cempaka, Desa Kresek, Kecamatan Kresek, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten.