BOGOR | LIPUTAN9NEWS
Di tengah pesatnya inovasi digital dan ekonomi kreatif, banyak konsep fikih muamalah klasik yang kembali relevan dan diminati. Salah satunya adalah ji’ālah, sebuah akad berbasis syariah yang kini hadir dalam beragam bentuk kontemporer: dari sayembara digital, program “bug bounty” di dunia teknologi, hingga sistem reward dalam bisnis jaringan syariah.
Apa itu Ji’alah? Secara istilah, ji’alah adalah akad pemberian imbalan (ju’l) untuk pekerjaan tertentu, tanpa harus menetapkan siapa pelaksananya sejak awal. Contoh mudahnya:
“Siapa pun yang berhasil menemukan kucing saya yang hilang, akan mendapatkan Rp500.000.”
Akad ini berbeda dari ijarah (sewa jasa), karena sifatnya terbuka, berbasis hasil, dan bisa dibatalkan sebelum pekerjaan selesai.
Landasan Hukum Ji’alah
Konsep ji’alah memiliki dasar kuat dalam syariat:
- Al-Qur’an – ketika saudara-saudara Yusuf menjanjikan hadiah atas penemuan barang milik raja:
“Barangsiapa yang menemukannya akan mendapat beban makanan seberat unta, dan aku menjamin atasnya.” (QS. Yusuf: 72) - Hadis Nabi SAW – riwayat Abu Said al-Khudri tentang sahabat yang meruqyah kepala suku dengan membaca al-Fatihah, lalu diberi hadiah seekor kambing. Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya yang paling berhak kalian ambil upah darinya adalah dari Kitabullah.” (HR. Bukhari no. 5737)
- Fatwa DSN-MUI No. 62/DSN-MUI/VI/2007 – yang mengatur keabsahan akad ini dalam transaksi modern, terutama dalam aktivitas berbasis jasa dan kompetisi.
Pandangan Ulama tentang Ji’alah
Mayoritas ulama dari empat mazhab mengakui keabsahan akad ji’alah:
- Imam Malik dan ulama Malikiyah menyatakan bahwa jialah adalah bentuk akad yang masyru’ (disyariatkan), karena terdapat maslahat dan didukung dalil.
- Ulama Syafi’iyah dan Hanafiyah pun menyetujui keabsahannya, dengan catatan: pekerjaan yang dijanjikan imbalan harus jelas, dan imbalan itu pun disebutkan secara pasti di awal
Pandangan Tokoh Islam Indonesia
Beberapa tokoh Islam Indonesia juga telah menyentuh konsep ji’ālah dalam pendekatan kontemporer.
Prof. Dr. M. Quraish Shihab, dalam Wawasan Al-Qur’an, menjelaskan bahwa: “Islam membolehkan pemberian upah atas jasa, baik dalam bentuk ijarah maupun ji’ālah, selama tidak mengandung unsur gharar yang merusak dan memberikan manfaat bagi kedua belah pihak.”
Fatwa MUI Terkait Ji’lah
Selain fatwa DSN-MUI No. 62/2007, beberapa fatwa lain yang berhubungan antara lain:
- Fatwa DSN-MUI No. 11/DSN-MUI/IV/2000 tentang Kafalah menyebutkan bahwa pemberian upah (fee) atas jasa penjaminan diperbolehkan dengan prinsip ijarah atau ji’alah.
- Fatwa DSN-MUI No. 112/DSN-MUI/IX/2017 tentang Lomba Berbasis Syariah, mengatur ketentuan lomba dan sayembara yang menggunakan akad ji’ālah: harus ada kejelasan hadiah, kehalalan pekerjaan, dan tidak mengandung unsur perjudian (maysir).
Relevansi di Era Digital
Kini, ji’ālah tidak hanya berlaku dalam konteks pencarian barang hilang. Banyak perusahaan dan komunitas digital mengadopsinya, seperti:
- Bug Bounty Program; Perusahaan teknologi menjanjikan imbalan bagi siapa saja yang menemukan celah keamanan dalam sistem mereka. Imbalan hanya diberikan jika hasilnya terbukti.
- Kompetisi Desain & Ide Kreatif; Sayembara logo, slogan, atau nama produk yang terbuka untuk umum, dengan imbalan hanya bagi karya terbaik.
- Bonus dalam Bisnis Syariah; Sistem Multi-Level Marketing (MLM) yang menawarkan bonus penjualan atau perekrutan, bisa dikategorikan ji’ālah bila dilakukan secara adil, terbuka, dan syar’i.
Kelebihan & Tantangan
• Kelebihan:
- Mendorong inovasi dengan sistem berbasis hasil
- Efisien: pemberi tidak wajib membayar jika hasil tidak dicapai
- Cocok untuk sistem kompetisi dan crowdsourcing
• Tantangan:
- Harus ada kejelasan imbalan dan tugas
- Potensi penyimpangan bila dikemas sebagai bisnis syariah palsu
- Rentan gharār (ketidakjelasan) jika tidak transparan
Analisis Penulis
Dalam konteks era digital, ji’ālah bukan hanya warisan fikih klasik, tetapi solusi syariah atas kebutuhan dunia modern:
- Crowdsourcing
- Open innovation
- Freelance berbasis hasil
- Reward-driven economy
Namun perlu digarisbawahi bahwa ji’alah bukan sekadar sayembara bebas, tetapi harus tunduk pada nilai-nilai syariah: transparansi, keadilan, kehalalan, dan kemaslahatan.
Aplikasi ji’alah yang sukses membutuhkan literasi fikih muamalah, kejelian hukum, dan niat baik dari semua pihak.
Penutup
Kembalinya konsep ji’ālah ke tengah masyarakat modern menunjukkan bahwa fikih Islam mampu menjawab kebutuhan zaman, selama dipahami dengan tepat. Untuk menjaga kemurnian dan manfaatnya, para pelaku usaha, penyelenggara kontes, serta regulator perlu memastikan akad dilakukan sesuai prinsip keadilan, kejelasan, dan keterbukaan.
Muhammad Labib, Mahasiswa STMIK Tazkia Bogor, Jurusan Teknik Informatika, Alumni Pondok Tahfidz Yanbu’ul Qur’an Menawan.
























