BANTEN | LIPUTAN9NEWS – Diantara yang mengancam, dan bahkan terbukti menghancurkan masyarakat adat dan eksistensi warisan kearifan lokal yang dijaga dan dilestarikan masyarakat adat atau masyarakat tradisional di bangsa kita, adalah kebijakan investasi dan pembangunan. Inilah ironinya: pemerintah kerapkali, melalui lembaga-lembaga terkait, mengkampanyekan pentingnya menjaga nilai-nilai budaya dan kearifan lokal, namun pada saat bersamaan menggusur keberadaan masyarakat adat dan komunitas tradisional yang justru menjaga dan melestarikan budaya dan kearifan lokal.
Kebijakan investasi di era pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka pun sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan era rezim-rezim sebelumnya. Hilirisasi yang menjadi isu utama kampanye Prabowo-Gibran pada Pilpres 2024 lalu, sebagian besar masih di sektor ekstraksi SDA atau Sumber Daya Alam, belum merambah pada taraf dan tahap inovasi produk teknologi dan komoditas jadi. Belum lagi jutaan hektar hutan di Papua, Kalimantan dan tempat-tempat lainnya untuk lahan sawit demi memenuhi kebutuhan pasar Amerika dan Negara lainnya, food estate, atau proyek energi terbarukan, yang jargon keberlanjutan atau sustainability-nya patut diragukan.
Ada banyak kekhawatiran dari sejumlah kalangan, terutama para aktivis lingkungan hidup dan gerakan ekologi, tak terkecuali para pakar yang konsen dengan masalah keberlanjutan ekologi, melihat dan memandang kebijakan pembangunan pemerintahan atau rezim Prabowo masih ‘menjadikan’ Indonesia hanya sebagai ‘sapi perah’ yang cuma mengandalkan ekspor kekayaan Sumber Daya Alam seperti nikel, besi, timah, dan lainnya bagi kebutuhan negara-negara investor, tanpa dibarengi dengan usaha menjadi produsen ‘barang jadi’ itu sendiri, sementara yang menanggung kerusakan ekologisnya adalah Indonesia, termasuk tergusurnya sejumlah masyarakat adat hingga terancam hilangnya kekayaan flora-fauna yang sangat bernilai tinggi di kawasan-kawasan yang dirusak pertambangan, perkebunan, food estate, dan proyek lainnya.
Klaim pembangunan berkelanjutan lalu hanya jargon belaka, ketika pada kenyataannya, proyek-proyek mercusuar justru meninggalkan kerusakan ekologis yang hanya akan bisa dipulihkan dalam jangka waktu yang sangat panjang hingga ratusan tahun. Luka dan kerusakan ekologis itu kemudian melahirkan ketidakseimbangan lingkungan: banjir, penyebaran wabah (penyakit), merosotnya kualitas hidup warga yang terpapar residu dan limbah. Penebangan hutan dalam skala yang besar-besaran telah membunuh ekosistem kehidupan, melahirkan keguncangan lingkungan, hingga perubahan cuaca ekstrem yang tak kalah mengkhawatirkan kita.
Atas nama pembangunan dan percepatan investasi (yang ternyata masih didominasi jualan bahan mentah belaka), alam dijadikan objek, diperkosa demi benefit yang nyatanya hanya menghidupkan siklus korupsi para elit dan korporat lokal. Padahal alam sudah terbukti telah memberikan perlindungan, keseimbangan kehidupan dan ekosistem yang padu-selaras menyehatkan serta melestarikan manusia itu sendiri, memungkinkan manusia tetap lestari dan terjaga. Tepat dalam hal inilah, kita harus memanusiakan alam dengan kembali menengok kearifan lokal yang memandang hidup dan semesta sebagai satu-kesatuan holistik yang ketika mengabaikan salah-satunya, maka akan rusak-lah keseluruhannya.
Keterhubungan antara Tuhan, manusia, dan alam diterjemahkan dengan sangat jenius dan arif oleh masyarakat tradisional atau masyarakat adat di bangsa kita menjadi tiga kesalehan yang tak bisa dipisahkan satu sama lainnya: Kesalehan kepada Tuhan (Parahyangan), kesalehan kepada alam-lingkungan (Palemahan), dan kesalehan kepada sesama manusia (Pawongan). Hutan, sebagai contoh ekologi dan ekosistem hidup, juga merupakan sumber daya yang sangat penting bagi warga miskin di pedesaan. Malangnya, sumber daya mereka itu kemudian hilang akibat penebangan atau pembabatan hutan dalam skala besar-besaran oleh korporasi dan Negara (rezim), tanpa memperhatikan kesinambungannya di masa depan.
Penebangan atau pembabatan hutan secara besar-besaran tak hanya menggusur eksistensi masyarakat adat dan menghilangkan sumber daya amat penting bagi warga miskin di pedesaan, tapi juga menghilangkan keanekaragaman hayati global yang tak bisa digantikan, selain turut menyebabkan perubahan iklim dan cuaca ekstrem, yang pada akhirnya akan menyengsarakan kita semua, kaya atau pun miskin. Jika pun kemudian warga miskin itu diubah menjadi para pekerja perkebunan, kondisi mereka pun seringkali tidak jauh lebih baik dari sebelumnya. Sudah tentu pula, pembabatan atau penebangan hutan dalam skala besar-besaran akan merusak ekosistem dan ketersediaan air, yang merupakan sumber daya vital bagi kehidupan kita.
Tepat pada konteks tersebut, kita sesungguhnya berhak bertanya: seperti apa dan bagaimana konsep pembangunan yang mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan yang menjadi kebijakan pemerintah? Apa saja wujud hilirisasi yang didengungkan dan kerapkali rajin dikampanyekan itu? Pertanyaan-pertanyaan tersebut pada akhirnya menuntut transparansi pemerintah kepada kita sebagai warga Negara yang memiliki hak politik dan hak asasi untuk mendapatkan hidup dan kehidupan yang aman dan bebas dari ancaman, termasuk ancaman akibat dari dampak kerusakan ekologi.
Banten pun tidak terkecualikan dalam problematik keberlanjutan ekologi, pembangunan, dan investasi, semisal ancaman bisnis wisata bagi kearifan lokal dan masyarakat tradisional dan lemahnya penanganan limbah atau residu industri di kawasan lahan-lahan produktif hingga pencemaran sungai. Memang, godaan utamanya tentu saja adalah uang, demi mendapatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Uang memang godaan yang paling memikat dan teramat sangat menggiurkan. Terutama bagi daerah yang minim pendapatan daerah (PAD), yang tak memiliki kemampuan kreatif dan inovatif yang out of the box. Mereka kemudian mencari aneka jalan untuk mendapatkannya. Salah-satunya adalah jualan objek dan komoditas pariwisata.
Tapi bukan hanya pemerintah daerah yang tergoda uang dengan jualan objek wisata. Para content creator juga tidak ketinggalan ‘mengeksploitasi’ materi-materi atau konten-konten wisata, salah-satunya ‘mengeksploitasi’ Baduy Banten. Maka, ketika masyarakat adat atau masyarakat tradisional bersangkutan sudah sedemikian terbuka bagi masuknya pengaruh materialisme dan modernitas yang dibawa para turis atau wisatawan, generasi muda di masyarakat adat atau di masyarakat tradisional tersebut rentan meninggalkan adat dan nilai-nilai kearifan lokal leluhur mereka, dan lalu mengadopsi pelan-pelan budaya asing yang dibawa orang-orang luar yang memasuki wilayah dan tempat tinggal mereka, termasuk melalui piranti teknologi informasi era digital, semisal gawai atau gadget.
Hasrat mendapatkan uang dengan mengabaikan prospek keberlanjutan ekologi dan ekosistem itu memang watak dari paradigma berpikir modern yang dipompa keserakahan dengan menghalalkan segala cara, yang kerapkali malah berdampak destruktif bagi masa depan kehidupan kita semua. Berbeda dengan kearifan lokal masyarakat kita yang mewariskan dan meruwat lingkungan dan kehidupan yang sehat dan lestari untuk masa depan. Karena itulah dibutuhkan kematangan dan kecermatan perencanaan pembangunan, kebijakan investasi, dan pengembangan kawasan yang berkelanjutan oleh para pemegang kebijakan yang merdeka dari tekanan oligarki kapital.
Kapitalisme memang mengubah apa saja menjadi keuntungan dan komoditas demi terus memperkaya elit korporat atau oligarki. Dalam wawancaranya dengan Kamil Ahsan, Jason W. Moore sampai menyatakan: “Kapitalisme lebih dari sekadar sistem ekonomi, dan bahkan lebih dari sekadar sistem sosial. Kapitalisme adalah cara mengatur alam” (John Bellamy Foster dkk, Marxisme dan Ekologi, IndoProgres 2021, h. 83-4). Kapitalisme telah menyesatkan manusia karena seakan-akan menghipnotis kita bahwa kita terpisah dari alam dan alam (lingkungan) hanyalah objek yang harus dieksploitasi. Terkait hal ini, Jason W. Moore, contohnya, melayangkan kritik yang sangat bernas:
“Gagasan bahwa manusia berada di luar alam memiliki sejarah yang panjang. Itu adalah ciptaan dunia modern. Banyak peradaban sebelum kapitalisme merasa bahwa manusia itu berbeda. Tetapi pada abad ke 16, 17, dan 18, ide yang sangat kuat ini muncul –yang tertanam dalam kekerasan imperialis dan perampasan petani dan seluruh rangkaian rekomposisi tentang apa artinya menjadi manusia, terutama perpecahan seputar ras dan gender, yang dalam kata-kata Adam Smith, ‘masyarakat yang beradab’, yang mencakup segelintir manusia. Tetapi kebanyakan manusia masih dimasukkan ke dalam kategori ‘Alam’, yang dianggap sebagai sesuatu yang harus dikendalikan dan didominasi serta digunakan untuk bekerja” (Ibd, h. 85-6).
Bila mencermati apa yang dikemukakan Jason W. Moore di atas, wajar jika pembabatan hutan secara besar-besaran demi membuka lahan perkebunan atau pertambangan atau pun lainnya, kerapkali menganggap remeh keberadaan masyarakat-masyarkat adat yang tinggal dan hidup di dalamnya. Begitu juga, tak sedikit kejadian baik yang terekam atau pun yang tidak terekam, bila mereka melakukan perlawanan, tindakan mereka lalu dicap dan divonis sebagai melawan hukum dan melawan pemerintah, yang seringkali juga berujung ‘kriminalisasi’ atau ‘pemenjaraan’, meski ada yang melalui proses pengadilan.
Dalam hal demikian, Negara tak ragu lagi telah menjelma korporasi itu sendiri, selain ‘dikendalikan’ oligarki, dan rakyat pada akhirnya, semisal masyarakat adat, lebih dipandang sebagai objek penghalang ‘keuntungan’ yang harus dihilangkan, bukannya sebagai warga Negara yang memiliki hak politik dan kesetaraan di hadapan hukum. Bila kita lihat dan melakukan survey di jagat mayantara media sosial, akun-akun gerakan masrakat sipil, aktivis lingkungan, dan lembaga advokasi masyarakat, penuh dengan postingan berita-berita visual dan naratif ihwal kriminalisasi para pejuang lingkungan dan masyarakat yang menolak penggusuran lahan dan hutan mereka. Tepat di sinilah, Negara sesungguhnya tak hanya telah menjadi alat keserakahan kapitalisme, tapi bahkan telah menjadi monster bagi warga dan rakyatnya yang miskin dan lemah.
Sulaiman Djaya, Peminat Kajian Kebudayaan
























