Banten, LIPUTAN 9 NEWS
“Cara-cara yang dilakukan oleh para penjajah untuk menghapus sejarah suatu bangsa, menurut Abdullah bin Shalih, adalah dengan menerbitkan kitab-kitab sejarah palsu dengan diatribusikan kepada ulama Hadramaut sebagai pemberian kredibiltas untuk kitab itu, seperti kitab “Mawahib al Quddus fi Manaqib al Idrus” yang diasosiasikan kepada Syekh Muhammad bin Umar Bahraq (w. 930 H.). kitab ini, menurut Abdullah bin Shalih, mengutip Salim faraj Muflih, adalah kitab produk penjajah yang tidak ada kaitan secara mutlak dengan Syekh Muhammad bin Umar Bahraq (h.6).”
Seorang Ulama Yaman yang bernama Abdullah bin Shalih bin Ali Abu Thal’ah al Syarafi membuat sebuah artikel ilmiyah berjudul “Jinayat al Isti’mar al Britaniyy ‘ala Tarikh Hadramaut” (Kejahatan Kolonialisme Inggris terhadap Sejarah Hadramaut).
Artikel yang dirilis pada 6 Juli 2024 berisi tentang bagaimana usaha-usaha pemalsuan sejarah Hadramaut dilakukan oleh penjajah Inggris dengan bantuan para penduduk local untuk melenyapkan identitas nasional Hadramaut. Penduduk local yang dimaksud, menurut Abdullah bin Shalih, adalah oknum-oknum klan Ba’alwi (lihat h. 2). Dalam artikel itu Abdulah bin Salih banyak mengutip buku karya sejarawan Yaman Salim faraj Muflih yang berjudul “Qadaya Tarikhiyyah min Hadramaut min al Tarikh al Sirri lil Isti’mar al Britaniy: al Tazwir wa istilab al hawiyyah” (Masalah-Masalah Sejarah Dari Hadhramaut Dari Sejarah Rahasia Kolonialisme Inggris: Pemalsuan Dan Pencurian Identitas).
Cara yang dilakukan penjajah Inggris dalam menaklukan bangsa Hadramaut, menurut Abdullah bin Shalih, adalah dengan cara membuat masyarakat elit untuk dijadikan anteknya. Penjajah Inggris mendistribusikan sumber-sumber kekuasaan, kekuatan dan dominasi melalui pemilihan kelas atau suku tertentu untuk menjadi elit masyarakat guna menghubungkan kepentingan dan ambisinya dengan kelangsungan hidup dan kepentingannya. Kelompok atau suku ini disebut kelompok “hewan peliharaan local”, yang ramah dan bersahabat dengan kolonialisme. Inggris memilih agen dari kelompok kesayangan lokal ini, untuk mengelola kepentingannya dan melaksanakan rencana kolonialnya yang merusak kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi bagi masyarakat pribumi (h.2).
Lalu Inggris dan “hewan peliharaan local”-nya melumpuhkan ingatan orang Hadrami tentang masa lalunya yang gemilang dengan merubah sejarah dan nasab silsilah para tokoh-tokohnya, sehingga hilanglah kebanggaan orang Hadrami terhadap leluhurnya dan sejarah peradaban negerinya yang asli. Para tokoh-tokoh pribumi Hadramaut, silsilah nasabnya dibelokan ke suku Quraisy, Ansar atau Hijaz. Celakanya, para tokoh-tokoh ini malah berbangga dengan usaha itu, tanpa menyadari bahwa yang demikian itu meruntuhkan semangat nasionalisme mereka sebagai pribumi asli Hadramaut dan memutuskan hubungan kesejarahan mereka dengan leluhurnya. Metode yang dilakukan oleh penjajah Inggris untuk usaha tersebut adalah: Pertama: Menyembunyikan dan memusnahkan sepenuhnya perpustakaan sejarah Hadrami yang berisi manuskrip-manuskrip Hadrami yang memuat identitas sejarah mereka; kedua, menulis sejarah palsu yang menjadi sumber satu-satunya dalam menatap sejarah Hadramaut masa lalu (lihat h.2).
Sumber palsu tersebut, lanjut Abdullah Shalih diantaranya adalah riwayat Shanbal Ba’alawi, kitab Sejarah Shihr karya Bafaqih Ba’alawi, kitab Sejarah Shihr karya Basanjala Ba’alawi, kitab Bin Hamid al-Kindi, yaitu tentang pengagungan klan Ba’alawi, dan kitab Al-Nour Al-Safir karya Al-Idrus. Usaha penghapusan kebenaran sejarah Hadhrami terjadi belakangan, setelah situasi menjadi stabil seperti sekarang ini, dan ini terjadi pada akhir abad ke-13 atau awal abad ke-14 H, pada era dua negara Qu’aiti dan Kathiri terhubung. Nama-nama orang yang mengatribusikan buku-buku ini tidak diketahui sama sekali (h.2).
Abdullah bin Shalih mengutip perkataan seorang politisi Jerman: “Hapuslah sejarah rakyat dan setelah satu generasi mereka akan berubah menjadi sekumpulan warga biasa dan setelah generasi berikutnya Anda akan mampu memerintah mereka, seolah-olah mereka adalah sekawanan domba”. Juga ia mengutip ucapan politisi lainnya : “Kami mengalahkan mereka bukan ketika kami menyerbu mereka, tetapi ketika kami membuat mereka melupakan sejarah dan peradaban mereka” (h. 1).
Lihatlah, bagaimana para agen elit local melaksanakan rencana penjajahan dalam buku-buku sejarah Hadrami. Sekelompok dari mereka, menurut Abdullah bin Shalih, mengumpulkan manuskrip-manuskrip dari perpustakaan dan individu, kemudian manuskrip-manuskrip itu dihilangkan. Mereka mengambilnya dengan paksa dan ancaman. Salah satu dari mereka biasa membual bahwa dia mencium bau buku di rumah. orang-orang dari klan Ba’alwi yang berkeliling mencari manuskrip itu, menurut Abdullah bin Shalih, di antaranya adalah Alatas, Alwi al Haddad, Salim Ahmad Almuhdar dan Salim bin Jindan. Alatas mengumpulkan manuskrip itu di perpustakaanya di Haridah; Salim Ahmad Almuhdar mengumpulkan manuskrip itu di perpustakaannya di Haban. Salim bin Jindan disebut oleh Abdullah bin Shalih meminjam manuskrip lalu ia tidak mengembalikannya dan megingkarinya kemudian ia lari ke Jawa (h.3).
Abdullah bin Shalih juga menyebutkan, bahwa ketika manuskrip “Diwan Syekh Umar Bamakhramah” akan dicetak di Jawa, seorang dari marga Assegaf meminjamnya kemudian naskah itu hilang. Menurutnya lagi, Abdullah Muhammad Alhabsyi mencari dan mengumpulkan manuskrip sampai ke perpustakaan Shan’a dan Emirat. Ia menerbitkan kitab “Bahjat al Zaman fi Tarikh al Yaman” karya Yahya bin Husain Alqasim, semula kitab itu terdiri dari tiga juz kemudian ia jadikan satu jilid, karena Ia membuang apa yang tidak ia inginkan. Begitupula ia mentahqiq kitab Tarikh Ibnu Hisan. Menurut Abdullah bin Shalih, apa yang dilakukan Alhabsyi itu terhadap kitab Ibnu Hisan itu masuk ke dalam kategori sabotase dan lemah dari sisi pentahqiqan secara ilmiyah (h.3). penulis sendiri telah membaca kitab Tarikh Ibnu Hisan ini dan mendapati di dalamnya ada berita tentang tahun wafat Muhammad bin Ali (Faqih Muqoddam) yang tidak ada dalam manuskrip aslinya.
Al Utadz Awad bin Salim Hamden, membuat sebuah artikel dengan judul “Hawla Dliya’ Mashadir al Tarikh al Hadrami” (Tentang Hilangnya Sumber-Sumber Sejarah Hadramaut) yang ia sajikan dalam muktamar international tentang sejarah dan sejarawan hadramaut. Di dalam artikel itu ia menyebutkan bahwa penyebab hilangnya sumber-sumber sejarah itu adalah Klan Ba’alwi dan para orientalis. Dengan keahlian dan pengalaman dalam study penelitian, mereka menyembunyikan apa yang mereka ingin sembunyikan dan mempermainkan sebagian sumber-sumber itu. mereka melakukan pemutarbalikan, perubahan dan pemalsuan terhadap kitab-kitab asli, lalu membuat pengaburan sejarah Hadramaut.
Kemudian pada periode berikutnya, para elit Hadramaut yang belajar kepada para orientalis ini menulis sejarah Hadramaut berdasarkan sumber-sumber kitab yang palsu dengan metode yang disenangi oleh orientalis, yaitu dengan memuji para elit local yang sudi menjadi peiharaan penjajah. Alwi bin Tahir al Haddad membuat buku sejarah Hadramaut dengan judul “Al Syamil”, lalu orientalis Inggris, R.B. Serjeant, memuji Alwi bin Tahir dengan mengatakan bahwa ia adalah “amid al mu’arrikhin” (tumpuan para sejarawan). Menurut Abdullah bin Shalih, peninggian Serjeant terhadap kedudukan Alwi bin Tahir ini, menunjukan bahwa Alwi memiliki peran penting dalam mempermainkan sejarah Hadramaut (h.5).
Selain kitab “Al Syamil” karya Alwi bin Tahir al Haddad, Abdullah bin Shalih juga menyebut kitab-kitab yang ditulis berdasar sumber-sumber palsu di atas seperti “Al Durru wal Yaqut fi Buyutat Arab al Mahjar wa Hadramaut” karya Salim bin Ahmad Jindan Ba’alwi, “Tarikh Daulat al Kathiriyyah” karya Muhammad bin Hasyim Ba’alwi, “Tarikh Hadramaut” karya Shalih al Hamid Ba’alwi, dan “Adwar al Tarikh al Hadramiy” karya Al Syatiri Ba’alwi. Abdullah bin Shalih mengutip Ba’mukmin dalam bukunya “Al Fikr wa al Mujtama’ fi Hadramaut”: ketika apa yang mereka tulis itu bukan sejarah yang sebenarnya, maka terjadi kontradiksi antara satu dengan yang lainnya, sejarawan fiksi pasti tidak akan selamat dari kontradiksi semacam itu (h.5).
Abdullah bin Salih menambahkan, metode orientalis dalam menulis historiografi adalah “al tarsyih” (menyuling) dan “al faltarah” memfilter (peristiwa sejarah). Yaitu dengan melaksanakan “rationing” (penjatahan) peristiwa sejarah dan men”dubbing”nya, di samping menyusupkan peristiwa tambahan yang sebenarnya tidak terjadi. Selain itu, dilakukan pula “amputasi” peristiwa sejarah penting yang tidak diinginkan (h.5).
Cara-cara yang dilakukan oleh para penjajah untuk menghapus sejarah suatu bangsa, menurut Abdullah bin Shalih, adalah dengan menerbitkan kitab-kitab sejarah palsu dengan diatribusikan kepada ulama Hadramaut sebagai pemberian kredibiltas untuk kitab itu, seperti kitab “Mawahib al Quddus fi Manaqib al Idrus” yang diasosiasikan kepada Syekh Muhammad bin Umar Bahraq (w. 930 H.). kitab ini, menurut Abdullah bin Shalih, mengutip Salim faraj Muflih, adalah kitab produk penjajah yang tidak ada kaitan secara mutlak dengan Syekh Muhammad bin Umar Bahraq (h.6).
Cara lain yang dilakukan penjajah untuk menghapus sejarah suatu bangsa, menurut Abdullah bin Shalih, adalah dengan mengganti nama-nama tempat bersejarah dengan nama baru. Dengan cara ini, hancurlah peradaban suatu bangsa. Dalam mengganti peradaban baru itu, bukan dengan cara menggantinya dengan peradaban Barat, tetapi dengan peradaban elit local peliharaannya. Hal itu dilakukan, bukan karena penjajah menyukai peradaban baru itu, tetapi untuk mengendalikan tumbuhnya peradaban asli bangsa Hadramaut, mengepung dan menundukan masa depan bangsa. Mereka merubah identitas nama-nama tempat, masjid-masjid, dan yang lainnya. Lalu tumbuhlah nama-nama baru seperti: Al Muhdor, Al Idrus, Al Athas dan sebagainya. Maka hancurlah kesejarahan dari nama-nama sebelumnya yang bersejarah (h.6).
Cara lain yang dilakukan untuk merubah sejarah suatu bangsa, menurut Abdullah bin Salih, adalah dengan merubah silsilah nasab leluhur mereka. Seperti yang disebut kitab “Tarikh Syanbal Ba’alwi” bahwa kerajaan Bani rasyid adalah bersuku Aus dari kaum Ansor Madinah al Munawarah, padahal mereka sebenarnya adalah keturunan asli Qahtan dari Hadramaut. Begitupula Syekh Muhammad bin Ahmad bin Abil Hub, dalam kitab “Al Burqoh al Musyiqoh” disebut sebagai keturunan Quraisy, padahal ia bukan Quraisy. Begitupula nasab Al Khatib disimpangkan kepada Aus, Al ‘Amudi kepada Quraisy, Al Bawazir kepada Abbas, Al Kathiri kepada Hamdan dan sebagainya. Lalu keturunan mereka di masa selanjutnya malah berbangga dengan nasab baru itu dan menganggap bahwa nasab bangsawan adalah nasab para pendatang (sementara nasab mereka sebagai pribumi yang merupakan para bangsawan asli dari Qahtan dilupakan dan tidak dibanggakan). Mereka lupa, bahwa hal demikian akan berakibat putus hubungannya mereka dengan nasab (dan sejarah) mereka yang asli (h.6).
Menurut Abdullah bin Shalih, cara lain yang digunakan penjajah adalah mengkotak-kotak bangsa yang dijajah dengan membuat kelas-kelas sosial berdasarkan ras, sehingga rakyat terus hidup dalam konflik. Dibuatlah gelar-gelar yang menghinakan, meremehkan dan mencemooh. Itu semua dilakukan sebagai perendahan martabat mereka, sehingga kemudian bangsa (yang telah menjadi inferior itu) takut untuk melawan mereka (para penjajah dan antek-anteknya) (h.7).
Abdullah bin Salih mengingatkan kita, jangan dikira praktik-prakit dan skema-skema penjajah itu telah berhenti dengan perginya para penjajah. Skema-skema penjajah itu masih ada sampai sekarang dan dijalankan oleh para agen lokal mereka. Namun, keterbukaan ilmu pengetahuan dan pendidikan di masa ini membantu kita untuk menguji kembali berbagai narasi-narasi yang diciptakan itu (h.7).
Abdullah bin Salih juga mengingatkan adanya cerita-cerita keramat yang dikutip ulama masa lalu untuk seorang wali, lalu cerita keramat yang sama, dikutip oleh penulis masa kini lalu diberikan untuk orang lain yang tidak masyhur kewaliannya. Seperti kisah-kisah keramat yang ditulis oleh Imam al Sya’rani, kisahnya diambil (dalam kitab “Al masyra’ al Rawi” karya Al Syili Ba’alwi), namun individu yang berkeramat nya berbeda. Kadang satu keramat disematkan untuk orang yang berbeda-beda. Syekh Amin al Sa’di mengatakan: tidak ada satupun keluarga Ba’alwi generasi pertama yang ahli ilmu. Begitu pula Ibnu Ubaidillah mengatakan: tokoh-tokoh Ba’alwi yang ditulis biografinya oleh Al Syili dalam kitab “Al Masyra’” ( “al Rawi”) tidak dikenal sebagai orang berilmu (h.7).
Kitab “Al Gurar” karya Ali Khirid Ba’alwi (w.960 H.) dan kitab “Al Masyra’ al Rawi” karya Al Syili (w.1093 H.), menurut Abdullah bin Shalih, mengutip Alexander knish, adalah dua kitab yang isinya peng-kesan-an Ba’alwi sebagai keluarga agung yang melahirkan para ulama, ahli zuhud dan sufi. Sedangkan para keluarga lain ditempatkan hanya sebagai pengikut, pengagum dan penggemar. Menurut Ba’alwi, para ulama-ulama itu berada dalam posisi yang lebih rendah dalam susunan tangga-tangga kepentingan. Para ulama itu dianggap mempunyai “disabilitas” (takdir) untuk dapat menyamai mereka. Sedangkan keluarga-keluarga lain yang bukan ulama, dalam pandangan Ba’alwi, dimarginalkan seperti kerumunan yang tidak bernilai apapun. Itu semua, dilakukan oleh Ba’alwi sebagai legalitas bahwa mereka adalah para sufi dan ulama-ulama awal di Hadramaut. Klaim mereka itu terbantah oleh kitab-kitab para sejarawan Hadramaut seperti Ibnu Samurah, Al Janadi, Al Khajraji, Ba Makhramah, Al Syarji yang membuka tirai bahwa leluhur mereka sama sekali tidak tercatat, dalam kitab-kitab yang ditulis di masa di mana mereka (diasumsikan) ada, sebagai pembesar ulama di dunia Arab bagian Selatan (h.8).
KH. Imaduddin Utsman Al Bantani, Pengasuh dan Pendiri Pondok Pesantren Nahdlatul Ulum Kampung Cempaka, Desa Kresek, Kecamatan Kresek, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten.