Ada seorang anak muda yang melakukan perjalanan yang panjang dan melelahkan. Tujuan dari perjalanan itu tiada lain bermaksud untuk menjumpai orang yang paling dicintainya, yaitu Nabi Muhammad s.a.w.. Setelah ia berjumpa dengannya, dalam perasaan yang haru dan bahagia, sebagai wujud dari perasaan rindunya yang sangat mendalam, ia berkata kepada Nabi s.a.w.: “Berikan wasiat kepadaku”. Dengan wasiat atau nasehat itu, ia akan meraih kesuksesan duniawi dan ukhrawi. Di luar dugaan, Nabi s.a.w. menjawab dengan kalimat yang sangat singkat: “Laa Taghdab”, kamu jangan marah, jangan bersikap emosional.
Pria itu tampak kurang puas, ia datang dari tempat yang jauh, hanya mendapat nasehat yang sangat singkat. Pemuda itu selanjutnya mohon kepada Nabi s.a.w. agar diberikan nasehat atau fatwa yang cukup banyak yang dijadikan sebagai bekal agar memproleh kebahagiaan pada masa kini dan pada masa yang akan datang. Nabi s.a.w. tetap hanya menyampaikan fatwa berupa kalimat yang singkat itu. Hal ini terus berlangsung sampai tiga kali. (HR. Bukhari, 5651). Setelah pemuda itu memperoleh jawaban yang disampaikan berkali-kali, barulah ia menyadari bahwa kalimat yang singkat itu sebetulnya mengandung pelajaran yang tinggi dan nasehat yang sangat luhur.
Bila kita memperhatikan dialog di atas, dan mencermatinya secara teliti, maka kita jumpai bahwa sabda Nabi yang sangat singkat itu cukup menjadi bekal bagi setiap orang yang ingin meraih kesuksesan yang maksimal. Kalimat yang simpel itu memiliki jangkauan makna yang luas dan mendalam. Kalimat seperti itu diistilahkan para ahli dengan sebutan “jawaa’mi’ul kalim”, salah satu kelebihan yang dimiliki Nabi s.a.w. yang tidak dimiliki nabi-nabi lain atau manusia lainnya. Arti istilah itu adalah perkataan yang amat singkat, namun jangkauan maknanya luas dan mendalam, serta kalimatnya sangat menarik.
Kita bisa memperhatikan lebih jauh dari nasehat Nabi s.a.w. di atas, bahwa segala sesuatu tidak mungkin dapat diselesaikan dengan marah atau bersikap emosional. Bayangkan, pekerjaan apa yang bisa dilakukan dengan amarah? Pasti tidak ada!. Segala aktivitas atau kegiatan seperti ibadah, pekerjaan kantor, kegiatan bisnis, kegiatan ilmiah, semuanya akan gagal apabila dikerjakan dengan kemarahan, bahkan bisa rusak secara total.
Sukses atau gagalnya usaha seseorang, tergantung pada kemampuan orang itu untuk mengendalikan emosi atau nafsunya. Bila ia mampu mengendalikan nafsu dan emosinya, maka kesuksesan telah berada di tangannya. Sebaliknya, bila ia tidak dapat mengendalikan nafsunya, maka kegagalan telah membelenggu dirinya. Apabila manusia mampu mengendalikan nafsu dan emosinya, ia pasti menjadi manusia yang memiliki ketabahan, kesabaran, dan ketenangan.
Dengan sikap yang terpuji itu, ia akan meraih sukses dan menggapai kebahagiaan dalam segala kehidupan. Kesuksesan demi kesuksesan yang kita raih, semuanya tanpa keculali, harus ditempuh dengan ketabahan dan kesabaran. Hanya untuk meraih ijazah SD saja, kita harus berjuang dengan sungguh-sungguh selama enam tahun. Kita harus pulang pergi ke sekolah setiap hari, mengikuti ulangan dan ujian. Ijazah SD pun tidak mungkin kita raih, bila tidak ditempuh dengan kesabaran dan ketabahan. Demikian juga ijazah SMP, SMA, perguruan tinggi, dan seterusnya.
Sikap tabah, sabar, dan ketenangan merupakan sikap yang sangat terpuji. Ibnu Abbas r.a. meriwatkan suatu hadits bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda pada salah seorang sahabatnya bernama al-Asyja’i r.a.: “Sesungguhnya pada dirimu, terdapat dua sifat yang terpuji, yang keduanya dicintai oleh Allah s.w.t., yaitu (1) sikap penyantun dan (2) kesabaran dan ketenangan”. (HR. Bukhari, 4020 dan Muslim, 24).
Dua sifat tersebut merupakan perhiasan yang sangat indah yang apabila telah dimiliki seseorang, ia telah meniti jalan kesuksesan lahir dan batin, di dunia maupun di akhirat. Dengan kesabaran dan ketabahan, manusia akan meraih segala apa yang dicita-citakannya. Bersama ketenangan, ia dapat menyelesaikan permasalahannya dengan baik. Dengan demikian, orang tersebut akan memperoleh way out dari segala kesulitan dan akan menuju pada kesuksesan yang maksimal yang menjadi dambaan setiap individu.
Dr. KH. Zakky Mubarok Syakrakh, MA., Dewan Pakar Lajnah Dakwah Islam Nusantara (LADISNU) dan Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)