Jakarta, LIPUTAN9.ID – Pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jakarta Selatan, selenggarakan Diskusi dan Analisis Fatwa. Dengan Tahuk ‘Hubungan Agama dan Politik dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara’ terhadap Fatwa MUI No. VI Tahun 2018.
Sebagai Narasumber dalam diskusi tersebut, KH. Abdul Muiz Ali (Kiai AMA), Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI Pusat dan Prof. Dr. Djoehermasyah Djohan, MA, pakar Ilmu Tatanegara. Acara Diskusi dan Analisa Fatwa MUI itu diselenggarakan di Kantor MUI Jakarta Selatan, Sabtu (21/10/23)
Kiai AMA menjelaskan bahwa Islam sebagai ajaran yang bersumber dari wahyu merupakan ajaran yang komperehensif (kaffah), memiliki tuntunan kebajikan yang bersifat universal (syumuliyyah) dan meliputi seluruh aspek kehidupan (mutakamil). Islam mencakup juga tatanan mengenai kehidupan berbangsa dan bernegara, mengatur masalah sosial, ekonomi, politik, dan kebudayaan. Karenanya, Islam menolak pandangan dan upaya yang memisahkan antara agama dan politik.
“Hubungan agama dan negara adalah hubungan yang saling melengkapi. Politik dan kekuasaan dalam Islam ditujukan untuk menjamin tegaknya syariat (hirasat al-din) dan terjaminnya urusan dunia (siyasat al-dunya). Politik dalam Islam adalah sarana untuk menegakkan keadilan, sarana amar makruf nahy munkar, dan sarana untuk menata kebutuhan hidup manusia secara menyeluruh,” ulasnya.
Menurutnya, agama dan simbol keagamaan tidak boleh hanya dijadikan kedok untuk menarik simpati dan pengaruh dari umat beragama serta untuk mencapai tujuan meraih kekuasaan semata. Politik juga tidak boleh dipahami hanya sebagai sarana meraih kekuasaan tanpa memperhatikan etika dan moral keagamaan.
“Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dibentuk dengan kesepakatan menempatkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama dalam dasar bernegara. Dengan demikian, seluruh aktifitas politik kenegaraan harus dibingkai dan sejalan dengan norma agama. Karenanya, setiap upaya memisahkan antara agama dengan plitik kenegaraan adalah bertentangan dengan dasar negara dan konsensus bernegara,” Papar Kiai Alumni Pondok Sidogiri itu.
Lalu, Kiai AMA menyampaikan Pendapat Imam Al-Ghazali:
والملك والدين توأمان فالدين أصل والسلطان حارس وما لا أصل له فمهدوم وما لا حارس له فضائع ولا يتم الملك والضبط إلا بالسلطان وطريق الضبط في فصل الحكومات بالفقه وكما أن سياسة الخلق بالسلطنة ليس من علم الدين في الدرجة الأولى بل هو معين على ما لا يتم الدين إلا به فكذلك معرفة طريق السياسة فمعلوم أن الحج لا يتم إلا ببذرقة تحرس من العرب في الطريق ولكن الحج شيء وسلوك الطريق إلى الحج شيء ثان والقيام بالحراسة التي لا يتم الحج إلا بها شيء ثالث ومعرفة طرق الحراسة وحيلها وقوانينها شيء رابع
“Kekuasaan dan agama adalah saudara kembar. Agama adalah pondasi (ushul) sedang penguasa adalah penjaganya. Sesuatu yang tidak ada pondasinya maka akan runtuh, sedangkan sesuatu yang tidak memiliki penjaga maka dia akan hilang. Tidak sempurna kekuasaan dan kontrol kecuali dengan penguasa (sulthon) dan cara untuk menyelesaikan masalah hukum dengan fikih (pengetahuan agama).
Sebagaimana untuk aturan politik kemanusiaan (siyasah khalq) bukan bagian aspek utama agama akan tetapi keberadaannya merupakan sesuatu hal penting di mana tidak sempurna agama kecuali dengan hal itu (siyasah khalq); maka demikian mengetahui dan menguasai bidang politik adalah suatu hal yang maklum (pekara yang keberadaanya wajar diketahui) sebagaimana (misal) haji tidak sempurna (prosesnya) kecuali dengan kepolisian yang menjaga mereka dari gangguan selama perjalanan. Meski demikian haji itu adalah satu hal (tersendiri), rute haji juga merupakan satu hal (tersendiri), pengaturan pengamanan rute haji dimana tidak sempurna haji tanpa hal itu juga merupakan satu hal (tersendiri), demikian juga pengetahuan mengenai tata cara pengamanan dan regulasinya adalah hal yang lain,” Kiai AMA menjabarkan.
Kemudian, Kiai AMA menutup dengan mengutip Pendapat Imam al-Zarkasyî asy-Syâfii dalam kitab al-Mantsûr fi al-Qawâid juz 1/309:
تصرف الإمام على الرعية منوط بالمصلحة نص عليه: قال الفارسي في عيون المسائل : قال الشافعي رحمه الله: “منزلة الوالي من الرعية : منزلة الوليّ من اليتيم انتهى
“Kebijakan seorang pemimpin atas rakyat harus berdasarkan kemashlahatan. Al-Farisi menyampaikan dalam ‘Uyun al-Masail: Imam asy-Syafi’i berkata: kedudukan seorang pemimpin atas rakyatnya sama dengan kedudukan wali yatim atasnya.” (Ai)