Bondowoso | LIPUTAN9NEWS
Ulama merupakan pewaris para nabi. Yang diwariskannya bukanlah harta benda, melainkan lebih dari itu, yakni ilmu pengetahuan, hikmah, dan keteladanan. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, para alim ulama merupakan sumber inspirasi dan spirit perjuangan. Perjuangan mereka dalam memerdekakan dan menjaga kedaulatan negeri ini amatlah besar.
Salah seorang ulama yang patut dikenang kaum Muslimin masa kini ialah Kyai Santawi Sang Martir Agresor Belanda tahun 1948. Kecintaannya terhadap Tanah Air begitu nyata. Terutama bersama Laskar Hizbullah, ia pun turut berjuang sebagai wakil ketua Hizbullah Prajekan dalam merebut kemerdekaan Indonesia. Tak mengherankan bila sejumlah kalangan menyebutnya sebagai alim yang berjiwa patriotik.
Kiai Santawi adalah seorang ulama yang masyhur dari Prajekan. Selain perjuangannya, ia pun terkenal sebagai keluarga besar pengasuh pondok pesantren Nurul Kawakib yang berlokasi di jalan raya Situbondo Gang Cempaka RW. 04 Prajekan Lor Prajekan Bondowoso. Hingga kini, pengaruh ajarannya masih terasa di daerah itu tersebut.
Tokoh ini lahir didesa Prajekan Lor Prajekan Bondowoso. Berbeda dengan lokasi kampung halamannya, tanggal kelahirannya tidak diketahui secara pasti. Ayahnya bernama Kyai Abdul Karim pendiri pondok pesantren Nurul Kawakib. Orang-orang menyebut Kiai Saha karena putera sulungnya bernama Saha sebagai panggilan kunyah.
Ayahanda Kiai Santawi itu merupakan pendiri Pondok Pesantren Nurul Kawakib Gang Cempaka Prajekan Lor Prajekan Bondowoso. Lembaga yang dibentuk pada mulanya adalah langgar dengan tambahan ruang serba guna di dekatnya. Lama kelamaan, jumlah murid majelis ilmu yang digelar di sana melebihi kapasitas. Maka secara gotong royong didirikanlah pesantren, lengkap dengan musholla dan pondok atau asrama tempat santri menginap.
Kiai Abdul Karim menikah dengan ibu Saha. Ibunda Kiai Santawi itu masih keturunan seorang yang memiliki pengaruh didaerahnya. Dalam beberapa tulisan yang berserakan berbentuk lembaran lembaran dan hasil interview dengan pihak keluarga, santri dan alumninya bahwa Pondok Pesantren Nurul Kawakib ibu nyai Saha itu masih memiliki darah biru.
Santawi kecil memperoleh pendidikan pertama dari kedua orang tuanya. Dari ayahnya, Kiai Abdul Karim, ia mendapatkan ilmu mengaji Alquran dan dasar-dasar keislaman. Setelah memiliki bekal dasar-dasar agama, ia pun mulai melakukan rihlah keilmuan. Itu diawalinya dengan mondok dan nyantri di pondok pesantren an-Nuqayah Guluk-guluk Sumenep Madura.
Setelah memiliki bekal dasar-dasar agama dan kemampuan baca kitab kuning, ia pun mulai melakukan dakwah dan pengajian kitab kuning diantara nama kitabnya “Bidayatul Hidayah”. Turut ngaji pada waktu itu, ulama terkemuka KH. Makshum Dimyati salah satu keturunan Kyai Mas Atmari sebelum berangkat ke al-Azhar Mesir.
Saat menjadi santri di pesantren Guluk guluk, Santawi kecil sangat rajin dan tekun. Ia memilih menjadi seorang santri kelana yang haus akan ilmu pengetahuan terutama ilmu agama. Dari pesantren Guluk guluk itu, Santawi muda menuntut ilmu-ilmu agama secara totalitas.
Ia sangat giat belajar. Pada tahun 1931, Santawi muda sempat pulang ke kampung halamannya untuk mengabdikan ilmunya di pesantren keluarganya di Prajekan lor.
Selama nyantri di pesantren Guluk guluk Santawi muda mulai mempelajari kitab Alfiyah secara otodidak dan komunal selama itu. Untuk itu, tidak pernah dirinya keluar dari kamar. Selama beberapa waktu dihabiskannya untuk menelaah kitab karangan Ibnu Malik itu. Dengan usahanya itu, ia mampu menguasai karya tersebut secara baik dan sempurna. Hingga akhirnya, ia pun menjadi seorang ahli fikih, hadits, ushul fikih, ulumul qur’an, hingga ilmu-ilmu alat, seperti nahwu dan sharaf.
Kyai Santawi termasuk ulama dengan jiwa rela berkorban menjadi martir Agresor Belanda pada tahun 1948. Keteladanannya sangat layak diikuti generasi saat ini. Dalam sejarah perjuangan Indonesia, dirinya tercatat pernah menjadi wakil ketua Laskar Hizbullah Prajekan besutan KH. Muhammad Hasyim Asy’ari pendiri NU. Kiprahnya mengemuka terutama dalam masa revolusi, yakni ketika RI berupaya mempertahankan kemerdekaan.
Seorang peneliti dalam tulisannya mengungkapkan profil perjuangan sang alim. Kiai Santawi diketahui pernah mengikuti pelatihan Laskar Hizbullah di Cibarusah—kini bagian dari Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Sang ulama dipercaya sebagai wakil ketua regu. Salah seorang ketusnya kakak kandungnya sendiri H. Syamsul Mu’arif yang pegang tampuk kepemimpinan pejuang Hizbullah daerah Prajekan.
Sepulang dari latihan di Cibarusa, Kiai Santawi segera mengonsolidasikan Hizbullah di Prajekan. Ia merekrut santri-santri seniornya dan para pemuda lokal. Tercatat, beberapa tokoh muda, turut menjadi anggota Laskar Hizbullah di Prajekan. Salah rekan seperjuangannya bahkan ada yang gugur dalam sebuah pertempuran di desa Lanas. Jenazahnya dimakamkan disana.
Kiai Santawi kerap memberikan bekal kepada para anggota laskar, yakni berupa doa-doa dan wirid.
Perannya kira-kira sama seperti yang dilakukan Kakaknya H. Syamsul Mu’arif selaku pimpinan Hizbullah Prajekan. Kiai Santawi kerap memberikan bekal kepada para anggota laskar, yakni berupa doa-doa dan wirid. Amalan yang sama juga diajarkannya kepada para santri. Doa-doa tersebut tak hanya memberikan ketenangan batin. Rasa percaya diri para pejuang juga disebut meningkat setelah merapalkan doa itu.
Saat terjadi peristiwa penyerangan Belanda, Kiai Santawi juga membekali santrinya dengan doa-doa. Karena, saat itu banyak anggota atau simpatisan Belanda yang mengincar para pengikut dan santri Nurul Kawakib Prajekan . Alhasil, banyak pemuda Muslimin diterpa ketakutan. Namun, mereka kembali tenang setelah dikumpulkan oleh Kiai Santawi di pelataran musholla pesantren.
Ia berpesan, “Para santri tenang, tidak usah khawatir, tidak usah takut. Saya kasih ijazah ini. Baca ‘maliki yaumiddin’ tiga kali sambil tidak bernafas; hentakkan kaki ke tanah; nanti kamu bisa menghilang. Musuh tidak melihat kamu.”
Sang kiai juga menyuruh mereka untuk menuliskan lafaz Allah di telapak tangan masing-masing. Saat di medan pertempuran, terus genggam telapak itu. “Terus genggam. Kalau (tangan) dipakai untuk memukul musuh, dia akan tersungkur,” katanya.
Sesudah pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda, situasi berangsur-angsur kondusif. Maka, banyak anggota Laskar Hizbullah diangkat menjadi tentara. Bagaimanapun, Kiai Santawi bersama dengan para ulama lainnya lebih memilih kembali ke pesantren. Ia berfokus untuk menyebarkan ilmu-ilmu agama di tengah masyarakat. Semua itu dilakukannya dalam rangka mengamalkan keikhlasan. Hingga pada akhirnya ia ditangkap tentara Belanda karena dijebak oleh kepala kewedanan dengan modus memberikan surat undangan dan eksekusi mati oleh Belanda. Semoga kepergiannya menuju pangkuan Allah SWT dicatat kematian yang syahid. Amin. Alfatihah.
Salam perjuangan, Prajekan 10 Januari 2025
Dr. KH. Muhammad Saeful Kurniawan, MA, Penulis buku Desain Penelitian Kualitatif Paradigma Baru Teori dan Praktik Penelitian