Kunang-Kunang adalah sebuah pertanda tentang kesunyian yang bahagia di kala malam, cahaya-cahaya mungil yang memecah keheningan dan kegelapan, meski tak semua Kunang-Kunang memiliki cahaya di tubuh mereka. Sahabat-sahabat masa kanak dan masa remajaku itu kini tak lagi kujumpai ketika aku telah menjadi lelaki dewasa, sejak deru dan bising mesin menjadi bagian dari kehidupan keseharian, dan cerobong-cerobong asap industri telah mengotori udara, dan mereka pun kini hanya tinggal ingatan dan kenangan saja.
Namun ada masa-masa ketika aku setia menanti kedatangan dan kehadiran mereka di kala magrib dan isya menjelma menjadi keheningan yang kental. Aku berdiri di depan pintu dan mengarahkan kedua mataku ke arah jalan yang berdempetan dengan sungai, yang seakan saling menenggelamkan diri dalam kesunyian, dalam kebisuan yang senyap yang memanen keakraban yang tak kupahami dalam kebisuan mereka –di masa-masa ketika belum ada lampu-lampu bohlam dan neon seperti sekarang.
Kadang aku memandangi mereka dari pintu dapur, dan mereka kulihat berkerumun di atas pematang-pematang sawah, di antara lalang dan pohon-pohon yang berselimutkan kegelapan.
Aku selalu menyukai cara mereka berpindah-pindah tempat di setiap malam, seakan ingin mempermainkanku yang memang selalu bahagia dengan kehadiran mereka di saat malam, di saat aku merasa kesepian sebagai bocah dan lelaki remaja yang tak memiliki penghiburan di pedesaan.
Barangkali, pada saat itu, mereka sedang mengajariku secara langsung untuk bersikap intim kepada apa yang ada dan hadir di sekitar keberadaanku. Katakanlah sebuah tamsil untuk direnungkan –tapi itu kesadaran yang baru kumengerti saat ini, bukan saat itu, sebuah kesadaran post factum yang terpikirkan kemudian, setelah kenyataan dan peristiwa hanya sekedar menjadi ingatan dan kenangan yang berusaha direkonstruksi ulang menjadi fiksi dan diari.
Adakalanya mereka hadir selepas hujan senja pergi ke balik malam, dan seolah-olah mereka ingin menerangi hamparan kegelapan yang dingin dengan cahaya-cahaya foton di tubuh mereka, yang bagiku tampak berkelap-kelip seperti tebaran-tebaran bintang di angkasa nun jauh di atas kepalaku yang gaib bila selepas hujan mengguyur rumah, halaman, dan pematang-pematang sawah, juga pohon-pohon dan lalang-lalang liar.
Mereka memberiku sensasi dan pencerapan keindahan bagi kedua mataku dan bagi sepi juga sunyi hatiku yang acapkali dilanda rasa jenuh dan bosan yang hadir dan datang tanpa kuduga, bagi seorang bocah dan remaja yang hidup di pedesaan yang tak memiliki banyak aktivitas di waktu malam selain mengerjakan PR yang diberikan oleh guru-guruku di sekolah. Aku jenuh dan bosan bila hanya bertemankan selampu minyak di meja belajarku, dan karena itulah aku akan membuka pintu dan menanti kedatangan mereka.
Kupikir di masa-masa itu ibuku paham, dan karenanya ibuku hanya bisa membiarkanku berdiri cukup lama di depan pintu untuk memandang dan merenungi mereka. Kadangkala aku berjalan keluar ke dekat kebun, di dekat tanaman Rosella yang ditanam dan dirawat ibuku di belakang dan di samping rumah atau ke halaman di depan rumah, tergantung di mana ketika itu mereka berada dengan cahaya-cahaya di tubuh mereka yang mungil, lembut dan terang itu, agar aku dapat melihat mereka dari dekat.
Dan pernah suatu kali seekor kunang-kunang mendekatiku, hinggap di pundakku, yang tak ayal lagi membuatku menjadi bahagia dan merasa akrab dan intim karenanya. Kebahagiaan dan kegembiraan yang hanya kumengerti ketika itu.
Aku kira keintiman dan keakrabanku secara bathin dengan mereka memang tak lain sebuah ikhtiar untuk memerangi kesepian dan kesunyianku sendiri sebagai seorang bocah dan lelaki remaja di masa-masa itu. Aku intim dan akrab dengan mereka sebelum perangkat tekhnologi informasi dan internet atau perangkat-perangkat gadget merebut keintimanku pada alam dan kesekitaran keseharian yang polos dan bersahaja. Aku tak hendak memberikan penilaian atau tuduhan, hanya saja memang, relung-relung bathinku terasa bebal, seperti kehilangan kepekaan dan keakraban yang tulus dan jujur sejak tak lagi bercengkerama dan mengintimi mereka.
Mungkin kau akan menganggapku berlebihan dan mengada-ada ketika aku mengatakan hal ini, tetapi tidak, karena aku bicara apa adanya, sebagai seseorang yang bertahun-tahun hidup di pedesaan yang sepi dan tak mengenal hingar-bingar kehidupan kota. Di masa-masa ketika deru dan bising mesin belum menjadi keseharian kehidupan seperti sekarang ini.
Memang, aku tak hanya merasa akrab dengan Kunang-Kunang, sebab di waktu pagi, siang, dan di kala senja, aku juga acapkali mendapatkan rasa nyaman ketika memandangi kerumunan para Capung yang menggetarkan sayap-sayap mereka dengan samar, namun keindahan Kunang-Kunang karena mereka memiliki cahaya mungil yang terang di tubuh-tubuh mereka, cahaya yang bagiku terlihat lembut dan puitik, yang seperti telah kukatakan, mirip tebaran bintang-bintang di angkasa malam yang jauh, dan karena itulah Kunang-Kunang adalah bintang-bintang yang hadir di Bumi –setidak-tidaknya bagiku.
Ingatan dan kenanganku tentang mereka hadir kepadaku saat hujan bulan Juni kali ini mericik sedari senja hingga malam –hingga ketika aku menulis diariku ini. Ingatan dan kenangan yang datang dan hadir secara tiba-tiba begitu saja –barangkali ingatan dan kenangan yang lahir dari rahim kesepian dan kesunyian yang beranak-pinak di hati.
Sulaiman Djaya, Ketua Bidang Perfilman Majelis Kebudayaan Banten