Cirebon | LIPUTAN9NEWS
Pidato Rais ‘Aam PBNU KH. Miftachul Akhyar dalam peringatan Hari Lahir (Harlah) Nahdlatul Ulama (NU) ke-102 memicu kontroversi. Salah satu pernyataannya yang menjadi sorotan adalah titipan khusus kepada Presiden terkait peran Bendahara Umum PBNU, Gus Gudfan Arif Ghofur.
“Ada Bendum, Gus Gudfan, saya titip Pak Presiden. Dia mendapat gelar oleh Ketua Umum sebagai bendahara yang biayaan. Mencari dana untuk kepentingan Nahdlatul Ulama, jadi biayaan! Berikan pintu kepada beliau, beserta kuncinya sekalian…” bunyi potongan pidato tersebut.
Ucapan tersebut menuai kritik, diantaranya disampaikan Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia Cirebon, KH Imam Jazuli. Menurutnya, mengingat Harlah NU seharusnya menjadi momentum untuk memperkuat perjuangan organisasi, bukan sekadar ajang promosi individu kepada pemimpin negara yang hadir dalam acara tersebut.
Menurut Kiai Imam, jika dicermati dengan seksama, banyak paradoks antara tujuan memperingati hari lahir organisasi besar NU untuk memperkuat langkah perjuangan dan mempromosikan secara pragmatis Bendahara Umum PBNU untuk mendapatkan perhatian khusus dari Presiden dan Wakil Presiden RI yang turut hadir.
“Dalam sejarahnya, NU berdiri atas fondasi perjuangan besar yang dirintis para muasis seperti Hadratussyeikh Hasyim Asy’ari, KH. Abdul Wahab Hasbullah, dan KH. Bisri Syansuri. Tiga aspek utama yang mereka perjuangkan adalah kepemudaan, ekonomi, dan keilmuan,” kata Kiai Imam dikutip dari Kabar Cirebon, Selasa (18/02/2025).
Kiai Imam Jazuli mengatakan, Rais ‘Aam belum mengutip walau sekilas trilogi kebangsaan NU yang dirintis para muasis untuk mengatasi permasalahan bangsa dari visi besar tiga tokoh tersebut, terkhusus buat membidik kaum muda. Membuatkan wadah perjuangan yang disebut Nahdlatul Wathan pada 1916. Dua tahun kemudian, 1918, berdiri Nahdlatut Tujjar untuk memperkuat ketahanan ekonomi dan Tashwirul Afkar untukmerayakan kebebasan berpikir ilmiah.
“Kepemudaan, perekonomian dan keilmuan adalah trilogi kebangsaan yang digagas para muasis NU. Warga NU yang berjiwa muda, kuat secara ekonomi, dan berwawasan luas mulai membahas hubungan Islam dan nasionalisme pada tahun 1919,” ungkapnya.
Selanjutnya Kiai Imam Jazuli mengisahkan, Hadratussyeikh Hasyim Asy’ari, Kiai Abdul Wahab Hasbullah, dan HOS Tjokroaminoto secara intensif membincang nasional. Salah satu anggota diskusi itu adalah seorang pemuda intelek, Soekarno, yang baru berusia antara 18-19 tahun. Kelak Soekarno menjadi menantu Tjokroaminoto.
Di usia NU ke-102, trilogi kebangsaan warisan para muasis, menurutnya semakin rapuh. Cendikiawan NU bukannya melahirkan pemikiran kritis malah melayani kekuasaan. Mencoba segala cara untuk melegitimasi praktik eksploitasi alam yang mengancam masa depan bumi. Cendikiawan NU menukil dalil agama sana-sini untuk membenarkan praktik politik uang.
Pudarnya Semangat Nahdlatul
Lelang intelektualisme semacam itu menurutnya, bertali-temali dengan pudarnya semangat Nahdlatul Tujjar. Membangun kekuatan ekonomi dari bawah berbasis akar rumput tidak lagi dilirik.
“Sebaliknya, mengemis pada kekuasaan menjadi tren baru di lingkungan elite. Tidak mengherankan ketika berada di lingkaran kekuasaan, mereka tidak bisa lepas dari jebakan korupsi. Bahkan, salah satu dari mereka terpaksa dieksekusi KPK ke Lapas Sukamiskin,” katanya.
Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri dan Universitas Al-Azhar, Mesir ini mengaku miris dengan elite di PBNU sekarang. Hematnya, sebagai warga NU yang masih tulus dalam jalan perjuangan merasa malu tak mampu mengenang wajah-wajah para muasis.
“Apa yang hendak dikatakan kepada Hadratussyeikh, Mbah Wahab dan Mbah Bisri? Siapa lagi yang akan percaya pada mereka yang menghalalkan suap dan politik uang, ikut menjadi bagian dari eksploitator alam, tanpa punya perasaan apapun akan nasib buruk rakyat kecil. Siapa yang akan peduli kepada mereka yang mengemis pada penguasa terang-terangan di muka publik?” jelasnya.
Kiai Imam Jazuli menilai, peringatan hari lahir NU ke-102 bukannya menguatkan tekad perjuangan, malah berubah pasar tanpa marwah, tanpa wibawa, tanpa muka, yang semakin mempersulit menjalankan misi menjaga moral dan amar ma’ruf nahi mungkar.
“Harlah kali ini tidak lebih dari sekedar seremonial tanpa jiwa. Seandainya ucapan Rais ‘Aam disampaikan ke internal, ke jamaah Nahdliyyin yang Aghniya’, tentu masih relevan,” ujarnya.
Kiai Imam melanjutkan, apa yang tersisa dari NU hari ini adalah memori tanpa ingatan, bagaimana Mbah Hasyim mendidik di bidang dakwah, ekonomi, pendidikan, militer, agar warga NU berkontribusi pada bangsa, untuk memerdekakan negara dari cengkraman kolonial.
Sementara pemandangan hari ini, kata dia, tak lebih dari sekedar menjilat untuk mendapat jatah kekuasaan. Memang sudah salah jalan sejak awal ketika menghentikan prinsip ta’awun, tolong menolong, di antara jemaah. Sehingga mengemis pada kekuasaan menjadi alam bawah sadar yang tak terelakkan.
Dampak terburuknya, menurut Kiai Imam, adalah perubahan tren yang mengarah pada pembusukan budaya. Dulu NU menjadi tangan di atas yang memberi pelayanan kepada Mustad’afin. Sekarang tak lebih dari bagian kelompok Mustad’afin. Dari sini bisa dipahami mengapa NU kurang kritis dan ragu-ragu dalam kasus pagar laut, sementara ormas lain seperti Muhammadiyah dan MUI dengan tegas melawan sejak awal.
“Oleh karenanya, tidak perlu berbangga NU menjadi ormas terbesar, karena itu lahir dari kerelaan dan ketulusan jemaah. NU menjadi layu akibat perilaku pemimpinnya,” kata Kiai Imam.
Perjuangan dan Kebangsaan
Menurut dia, pidato Rais ‘Aam pada Harlah NU mestinya fokus pada nilai-nilai ideal perjuangan dan kebangsaan, dan tidak perlu dicampuraduk dengan urusan teknis menitip bendahara umum pada presiden dan wakil presiden, lebih-lebih di sampaikan tanpa aling-aling di muka umum. Mengapa Rais ‘Aam tidak berpikir dampaknya, dan bagaimana jika mata dunia memandang NU tidak lebih dari sekumpulan orang yang menggantungkan nasibnya pada jatah politik.
Kondisi ini, kata dia, tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Butuh jalan keluar untuk mengembalikan idealisme yang semakin keropos. PBNU butuh diingatkan untuk kembali pada pelayanan umat dan kaum mustad’afin.
“Istana memang bisa memukau, bahkan bagi yang tak siap, malaikatpun berubah identitas, kata Prof. Mahfud. Karena itu dalam krisis multidemensi, kita seperti kehilangan keteladanan pemimpin yang berjiwa malaikat. Ini yang menjadi agenda besar warga NU di masa mendatang,”pungkasnya.