Banten, LIPUTAN 9 NEWS
“Sudah jelas ibaroh al-Ubaidili bahwa Ahmad bin Isa bergelar al-Naffat. Kenapa Alawi al-Haddad mengatakan bahwa al-Ubaidili tidak menuliskannya? Apalagi yang pantas kita katakan untuk kasus semacam ini kecuali bahwa ia telah berdusta.” (Kiai Imad)
Mayoritas Umat Islam Indonesia sudah faham bahwa nasab Baklawi terputus; baklawi atau para habib itu hanya mengaku sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW, Sebenarnya mereka bukan keturunan Nabi. Sisanya, masih ada yang mempercayai nasab Baklawi dengan alasan bertaklid kepada Syekh Murtado al Zabidi (w. 1205 H.).
KH. Afifuddin Muhajir menyatakan dalam akun Facebooknya bahwa masing-masing yang membatalkan dan mengitsbat nasab Ba’alwi itu mempunyai dalil. Kiai Afif mengakui bahwa penulis sebagai orang yang membatalkan nasab Ba’alwi sebagai keturunan Nabi mempunyai dalil. Syekh Muratdo al Zabidi sebagai yang diduga mengitsbat Ba’alwi mempunyai dalil juga. Menurut Kiai Afif, mustahil Al Zabidi, ketika mengitsbat nasab Ba’alwi dalam kitabnya Al-Raudul Jali tidak berdasarkan dalil. Walau dalam kitabnya itu Al Zabidi tidak menampilkan dalil, patut diduga ia mengitsbat dengan dalil yang tidak disebutkan; masa iya Al Zabidi mengitsbat tanpa dalil. Begitu kira-kira alasan Kiai Afif.
KH. Afifuddin, mungkin belum mengetahui, bahwa kitab Al Raudul Jali ini adalah kitab yang menurut para peneliti diduga kuat palsu: ia bukan kitab karya Syekh Murtada Al Zabidi. Kiai Afif husnuzon kepada nasab Ba’alwi berdasarkan adanya kitab karya Syekh Murtada yang juga pengarang kitab syarah Ihya. penulis akan sampaikan laporan kepada Kiai Afif, bahwa sebenarnya penisbatan kitab Al Raudul Jali kepada Syekh Murtada al Zabidi pun palsu. Dari sana kemudian husnuzon kepada nasab Ba’alwi dengan dalil taklid kepada seorang yang salih seperti syekh Murtada pun akan tidak signifikan lagi.
Penulis laporkan kepada Kiai Afif, berdasarkan penelitian dari Doktor Muhammad Abu Bakar Badzib, pentahqiq kitab Al raudul Jaliy dari Hadramaut, bahwa kemunculan kitab Al Raudul Jaliy ini mencurigakan. Manuskrip kitab tersebut muncul berdasar kronologi riwayat yang berakhir kepada sosok yang terbukti telah memalsukan sebuah kitab. Sosok yang dimaksud adalah seseorang yang bernama Hasan Muhammad Qasim (w. 1394 H.) yang berasal dari Mesir yang baru wafat 50 tahun yang lalu. Menurut Badzib, Hasan Muhammad Qasim adalah tokoh pertama yang memunculkan kitab Al Raud al Jaliy. Sebelumnya tidak ada berita bahwa Syekh Murtada al Zabidi mempunyai sebuah kitab bernama Al Raud al Jaliy (lihat Kitab Al Raudul Jaliy cetakan Darul Fatah h. 47).
Penulis melaporkan juga kepada Kiai Afif tentang kronologi awal bagaimana kitab Al Raud al jaliy ini sampai diterbitkan kemudian disebut sebagai kitab karya syekh Murtada Al Zabidi. Kronologi itu disampaikan oleh Badzib dalam mukaddimah cetakan kitab tersebut berdasarkan pengakuan Alwi bin Tahir yang memegang naskah itu. Menurut Alwi bin Tahir al Haddad (w. 1962 M), Hasan Qasim berteman dengan para Ba’alwi yang tinggal di Mesir. Salah satu Ba’alwi bernama Ali bin Muhammad bin Yahya. Ali bin Yahya ini adalah murid dari Alwi bin Tahir. menurut Alwi bin Tahir, Ali bin Yahya tersebut kemudian mengirimkan kepadanya sebuah salinan kitab Al Raudul Jaliy tulisan Hasan Qasim bertanggal 25 Sya’ban 1352 H., menurutnya lagi, naskah itu disalin dari salinan tahun 1196 H. tulisan Abdul Mu’ti al Wafa’i. katanya lagi, Abdul Mu’ti ini manyalin dari tulisan asli Syekh Murtada al Zabidi. Katanya lagi, manuskrip karya Abdul Mu’ti itu tersimpan di Maktabah Sadat Al Wafaiyyah di Mesir (lihat al Raudul Jali h. 7).
Pertanyaannya: benarkah salinan asli tulisan Abdul Mu’ti itu ada di Maktabah Sadat Al Wafaiyyah? Tidak Ada. Silahkan di cek di Perpustakaan Al Wafaiyyah. Tidak ada manuskrip kitab Al Raudul Jaliy Salinan Abdul Mu’ti. Kitab itu jelas palsu. Manuskripnya palsu. Kitab Al Raudul Jali Bukan tulisan Syekh Murtada Al Zabidi. Manuskrip yang beredar sekarang berasal dari dua penyalin: pertama salinan Hasan Muhammad Qasim tahun 1352 H; kedua salinan Tahir bin Alwi bin Tahir yang menyalin dari Hasan Muhammad Qasim tersebut.
Lalu siapa Hasan Muhammad Qasim? Ia adalah sosok yang telah terbukti menulis kitab “Akhbar al Zainabat” lalu disebut sebagai karya Al Ubadili al ‘Aqiqi (w. 277 H.) (lihat Al Raudul Jaliy h. 48). Artinya ia menulis naskah palsu di zaman sekarang lalu naskah itu diasosiasikan sebagai karangan ulama abad ke-3 H. Ba’dzib mencurigai, bahwa munculnya kitab Al Raudul Jaliy itu pun sama kejadiannya seperti kitab palsu “Akhbar al Zainabat” (lihat Al Raudul Jaliy cetakan Darul Fatah h. 48).
Hasan tinggal di Mesir berteman dengan para Ba’alwi yang tinggal di sana seperti Abdullah bin Ahmad bin Yahya (w. 1414 H.) dan Ali bin Muhammad bin Yahya (w. 1409 H.) (lihat kitab Al Raudul Jali h. 8). Jadi jelas, bahwa Hasan ini mempunyai benang merah ketika menulis kitab Al Raudul Jaliy itu, yaitu adanya interaksi antara dia dengan para Ba’alwi di Mesir. Menurut penulis sangat patut diduga bahwa kitab itu ditulis oleh Hasan Muhammad Qasim berdasarkan pesanan.
Lalu kenapa Ba’dzib tetap mencetak dan menerbitkan kitab itu, walaupun ia tahu bahwa kitab itu kemungkinan besar adalah palsu? Badzib beralasan bahwa manuskrip kitab Al Raudul Jaliy dalam bentuk microfilm telah beredar di masyarakat, bahkan telah ada yang mencetak pula tanpa ada penjelasan kesalahan-kesalahan dan perkara-perkara yang tidak layak dinisbahkan kepada Syekh Murtada al Zabidi (Al Raudul Jaliy h. 49). Dengan dicetak ulangnya kitab Al Raud al Jaliy dengan disertai penjelasan kronologi kemunculan manuskrip itu, Badzib mengharapkan masyarakat menyadari bahwa kitab Al Raud al Jaliy ini penisbatannya kepada Syekh Murtada al Zabidi adalah “gairu maqtu” (tidak dapat diputuskan final) ia bersifat “muhtamilah” (kemungkinan) saja (Al Raudul Jali h. 49).
Penulis memahami kenapa Ba’dzib berbasa-basi bahwa masih ada kemungkinan kitab itu dinisbahkan kepada Syekh Murtada al Zabidi beserta banyaknya “qarinah” yang menyimpulkan bahwa kitab itu bukan tulisan Syekh Murtada al Zabidi, mengingat kedekatan Badzib dengan para tokoh-tokoh Ba’alwi. Bagi penulis, kitab itu jelas palsu dan bukan karya Murtada al Zabidi, ia adalah tulisan Hasan bin Muhamad Qasim sendiri. Seperti dulu ia mengarang kitab “Akhbar al Zainabat” lalu dikatakan kitab itu karya Al Ubaidili al Aqiqi, kitab Al Raud al Jali ini pun sama, ia mengarangnya lalu dikatakan ia karya Syekh Murtada al Zabidi.
Untuk membuktikan kesimpulan penulis itu benar atau salah sangat mudah: datangkan mansukrip yang katanya ditulis oleh Abdul Mu’ti yang dikatakan oleh Hasan Muhammad Qasim terdapat di Maktabah Al Wafaiyyah dan bahwa ia menyalinnya dari salinan itu. Penulis yakin seyakin yakinnya bahwa salinan itu tidak pernah ada. Kenapa penulis begitu yakin?
Karena pengalaman penulis selama ini ketika berinteraksi dengan literature kalangan ulama Ba’alwi menyimpulkan bahwa setiap kitab karangan atau tahqiqan ulama Ba’alwi dalam nasab dan sejarah ditenagai oleh semangat mempertahankan nasab. untuk itu terkadang mereka berani berdusta.
Sebagai contoh, dalam kitab Uqud al-Almas, Alwi Bin Tahir al-Haddad berusaha mempertahankan bahwa Ahmad bin Isa itu bergelar al-Muhajir. Sekuat tenaga ia ingin mengahancurkan kenyataan bahwa gelar yang dicatat oleh ulama nasab mulai abad ke-5 sampai abad ke-9, untuk Ahmad bin Isa, adalah al-Abah dan al-Naffat. Tidak ada gelar al-Muhajir untuk Ahmad bin Isa. Gelar al-Muhajir itu baru ada 800 tahun seteah wafatnya Ahmad bin Isa. Alwi bin Tahir al-Haddad mengatakan:
وحاصل هذ البحث الضافي ان الامام المهاجر (احمد بن عيسى) بن محمد بن علي العريضي لم يلقب بالابح ولا بالنفاط كما جرى عليه الاقدمون
Artinya: “Kesimpulan pembahasan yang panjang ini, bahwa Imam al-Muhajir (Ahmad bin Isa) bin Muhammad bin Ali al-Uraidi tidak diberi gelar dengan al-Abah dan al-Naffat. Seperti yang telah dilakukan para ulama-ulama yang lebih dahulu.” (Footnote Uqud al-Almas: 2/7)
Pernyataan Alwi ini tidak sesuai dengan kenyataan bahwa, ulama-ulama nasab terdahulu menggelari Ahmad bin Isa dengan al-Abah, sebagian lagi dengan al-Naffat, sebagian lagi dengan keduanya. Lihat kitab Tahdzibul Ansab karya al-Ubaidili (w. 437 H) halaman 176. Dalam kitab itu disebutkan bahwa gelar Ahmad bin Isa adalah al-Naffat. Lihat pula kitab al-Majdi karya al-Umari (w. 490 H) halaman 337. Dalam kitab tersebut disebutkan bahwa Ahmad bin Isa bergelar al-Abah dan dikenal pula dengan al-Naffat. Dalam kitab itupula disebutkan kenapa Ahmad bin Isa bergelar al-Naffa? Yaitu karena ia menjual semacam minyak tanah.
Bahkan, masih dalam Uqudul Almas di halaman sebelas, Alwi bin Tahir al-haddad menyebutkan dengan tegas bahwa al-ubaidili dan al-Umari tidak menyebutkan gelar al-Naffat. jelas pernyataan itu dusta. Perhatikan ibaroh kitab Tahdzibul Ansab di bawah ini !
واحمد بن عيسى النقيب بن محمد بن علي العريضي يلقب النفاط
Artinya: “Dan Ahmad bin Isa al-Naqib bin Muhammad bin Ali al-Uraidi, diberi gelar al-Naffat.” (Tahdzib al-Ansab h. 176)
Sudah jelas ibaroh al-Ubaidili bahwa Ahmad bin Isa bergelar al-Naffat. Kenapa Alawi al-Haddad mengatakan bahwa al-Ubaidili tidak menuliskannya? Apalagi yang pantas kita katakan untuk kasus semacam ini kecuali bahwa ia telah berdusta.
Usaha-usaha besar Alwi bin Tahir al-Haddad, agar sejarah dan buku nasab masa lalu berjalan sesuai dengan tradisi Ba Alawi di abad ke-9 patut “diacungi jempol”. Usaha yang sama dilakukan oleh banyak penulis Ba Alawi. Bagaimana seorang Abdullah bin Muhammad al-Habsyi, dengan susah payah mencari manuskrip-manuskrip sejarah Yaman. Ia dapatkan kitab-kitab tua banyak sekali. Lalu ia tahqiq dan cetak; ia masukan nama-nama Ba Alawi agar tertulis dalam sejarah. Manuskrip dicetak tidak sesuai dengan aslinya. Ia di tambahi nama-nama Ba Alawi. Begitu pula Jamalullail yang menginterpolasi manuskrip kitab Abana’ul Imam. Hal yang sama dilakukan oleh Salim bin Jindan dalam kitab Raudatul Wildan yang memasukan nama Walisongo sebagai keturunan Ba’alwi tanpa data dan dokumen apapun. Ia pula membuat sanad-sanad palsu untuk leluhur Ba’alwi agar terkesan sosok mereka historis bahkan meriwayatkan hadits.
Kesimpulan laporan penulis kepada K.H. Afifuddin Muhajir, bahwa kitab Al Raudul Jaliy yang katanya mengistbat Ba’alwi itu adalah kitab palsu. Ia bukan kitab abad ke 12 Hijriah, tetapi kitab yang baru ditulis abad 14 Hijriah; ia pula bukan kitab karya Syaikh Murtada al Zabidi, tetapi ia kitab ciptaan Hasan Muhammad Qasim yang wafat 50 tahun yang lalu.
KH. Imaduddin Utsman Al Bantani, Pengasuh dan Pendiri Pondok Pesantren Nahdlatul Ulum Kampung Cempaka, Desa Kresek, Kecamatan Kresek, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten.