Banten, LIPUTAN 9 NEWS
“Untuk bidang seni dan sastra, hidup dan lestarinya pun tidak jauh berbeda. Mereka membutuhkan ruang-ruang, media dan fasilitas-fasilitas yang akan merawat dan menaungi keberlangsungan kreatif mereka. Pengalaman saya waktu di Jakarta, sebagai contoh saja, hidupnya seni dan sastra memang salah-satunya ditopang dan dilestarikan oleh keberadaan media-media yang bisa memberikan tambahan pendapatan bagi para seniman dan para penulis, serta keberadaan infrastruktur-infrastruktur seperti Taman Ismail Marzuki, yang menjadi tempat pentas sekaligus apresiasi seni dan sastra, tingkat nasional, tak hanya untuk kawasan Jakarta saja.” (Sulaiman Djaya)
Beberapa waktu silam saya diminta menjadi narasumber sebuah podcast sosial-keagamaan-budaya. Kebetulan saya khusus diminta untuk mengemukakan pandangan saya ihwal fenomena Putri Ariani yang bersinar di reality show Americas Got Talent itu, yang kini akhirnya Putri Ariani mendapatkan panggungnya di jagat music dunia. Tentu saja saya tanpa sungkan memberikan pandangan positif, bahwa kemunculan Putri Ariani patut disyukuri di tengah gelombang massif pengaruh budaya asing di kalangan generasi muda kita, semisal K-Pop dan Drama Korea.
Di podcast itu juga saya menyampaikan sejumlah keprihatinan saya. Misalnya, banyak anak-anak muda kita lebih mengenal dengan detil hal-hal yang berasal dari Negara lain, seperti kuliner dan music mancanegara. Anak-anak muda kita, contohnya, lebih mengenal kimchi, ramen, kebab dan lainnya, ketimbang martabak. Lebih mengenal drama korea ketimbang ubrug dan film-film drama Indonesia. Barangkali, kita kurang sigap menciptkan brand. Padahal, ketika kuliner Indonesia disosialisasikan ke luar negeri, malah mendapatkan respon sangat positif di mancanegara. Beberapa media dan jajak pendapat bahkan menunjukkan bahwa soto betawi, siomay, dan rendang sebagai kuliner favorit nomor satu di dunia.
Dalam arena lainnya, sepertinya kita juga masih gagap menguasai panggung dan brand jagat kemajuan teknologi informasi, selain mungkin saja belum serius mengolah dan mengenalkan kekayaan kreatif dan kultural kita secara inovatif, dan menjadikannya sebagai brand yang memenangkan citra publik. Perlu ada upaya dari pemerintah untuk seirus membantu dan memfasilitasi mereka-mereka yang menjadi para pelaku penghasil produk-produk kuliner dan kretivitas yang berakar dari kekayaan khazanah sosial kebudayaan bangsa ini.
Teman sekelas sekolah saya, yang saat ini menjadi lurah atau kepala desa tapi sempat bekerja di Korea Selatan sebelum memenangkan suksesi di tingkat desa, sepulangnya bekerja di Korea Selatan beberapa tahun punya cerita menarik yang ia bagi kepada saya. Misalnya, para pengrajin tradisional di Jepang, China dan Korea benar-benar dibantu pemasaran dan fasilitas pemasaran serta penjualannya oleh pemerintah mereka. Juga, mereka dibantu pendanaan dan ditingkatkan skill dan pengetahuan mereka melalui banyak pelatihan, pendampingan serta bantuan teknologi. Maka tidak heran, produk-produk perajin bambu di Jepang, China dan Korea Selatan, terpasarkan dan tersebar dengan baik dan luas. Dan tentunya, sanggup memberikan pendapatan yang layak untuk mereka, sehingga mereka tidak meninggalkan profesi tradisional mereka.
Sudah tentu kita tidak boleh lupa, tidak mungkin kita melestarikan kekayaan khazanah kreatif sosial budaya kita bila kita tidak melestarikan para pelestari khazanah dan penghasil produk kultural bangsa kita. Para perajin tradisional itu, contohnya, mestinya dilihat sebagai para penghasil komoditas yang perlu dibantu pemasarannya sembari dibantu kapasitas skill-nya untuk menghasilkan produk-produk yang berkualitas dan bernilai, yang akhirnya nanti diterima pasar dengan baik dan antusias.
Untuk bidang seni dan sastra, hidup dan lestarinya pun tidak jauh berbeda. Mereka membutuhkan ruang-ruang, media dan fasilitas-fasilitas yang akan merawat dan menaungi keberlangsungan kreatif mereka. Pengalaman saya waktu di Jakarta, sebagai contoh saja, hidupnya seni dan sastra memang salah-satunya ditopang dan dilestarikan oleh keberadaan media-media yang bisa memberikan tambahan pendapatan bagi para seniman dan para penulis, serta keberadaan infrastruktur-infrastruktur seperti Taman Ismail Marzuki, yang menjadi tempat pentas sekaligus apresiasi seni dan sastra, tingkat nasional, tak hanya untuk kawasan Jakarta saja.
Bila Banten ingin hidup ekosistem kreatif dan lestari kekayaan khazanah budayanya, mau tidak mau harus memiliki Taman Budaya, Gedung Kesenian hingga Institut Kesenian. Salah-satu tujuan dan fungsi utama Taman Budaya sesungguhnya tak semata pelestarian, namun lebih merupakan upaya pengelolaan aktif sumber dan hasil kreatif sumber daya warisan budaya dalam rangka mempromosikan identitas dan khazanah ke-Banten-an yang pada akhirnya akan berdampak secara ekonomi dan pendapatan, semisal terciptanya brand-brand produk kreatif dan budaya yang bernilai jual bagi pasar di Banten dan bagi wisatawan dari luar Banten hingga dari mancanegara.
Sementara itu, Gedung Kesenian Banten, akan menjadi wahana pertunjukan dan pentas, atau penyelenggaraan peristiwa-peristiwa kebudayaan, yang juga pada akhirnya akan menjadi magnet atau daya tarik wisata budaya di Banten. Yang karenanya pula Banten bisa menjual khazanah dan produk kulturalnya kepada para pengunjung dan orang-orang yang datang dari luar Banten, sekaligus memperkenalkan secara massif kekayaan dan keunikan kultural Banten kepada publik luas yang tak hanya dari Banten.
Dengan begitu, orang-orang yang mau datang ke Banten pun karena ingin melihat dan menyaksikan peristiwa-peristiwa kebudayaan di Banten, tak sekedar ingin ke pantai. Dan karenanya pula, seni dan budaya Banten malah menjadi lestari, bahkan berkembang, hidup karena ditopang pasar dan menghidupi para pelestari seni dan budayanya. Singkat kata, literasi basis utama pemajuan kebudayaan hanya akan terwujud bila didukung oleh pasar kebudayaan dan infrastruktur-infrastruktur kebudayaan.
Sulaiman Djaya, Penyair di Kubah Budaya