Jakarta | LIPUTAN9NEWS
Sudah lebih dari enam bulan, Mas Wapres Gibran Rakabuming Raka menjalani tugasnya sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia. Namun, angin di sekitar istana rupanya tak selamanya membawa kesejukan. Beberapa waktu lalu, sejumlah purnawirawan TNI—termasuk mantan Wakil Presiden Jenderal (Purn) Try Sutrisno—melangkah pelan namun pasti. Mereka tidak datang dengan senjata, melainkan membawa delapan butir kegelisahan. Salah satunya: usulan pemakzulan sang wakil presiden.
Sebagai warga biasa yang menyaksikan jalannya demokrasi dari pinggir layar, dan dari serpihan berita, saya bertanya-tanya: apa yang membuat para penjaga lama republik ini turun gunung? Apa yang mereka lihat dari kejauhan hingga merasa perlu datang dan mengetuk pintu kekuasaan, seperti hendak berbisik: “Ada yang tak semestinya di dalam.”
Secara hukum, usulan pemakzulan ini tentu bisa ditepis. Konstitusi kita mensyaratkan pelanggaran berat dan proses politik yang rumit untuk mencopot seorang wakil presiden. Tapi kegelisahan yang mencuat dari masyarakat—dan tampaknya juga dari para purnawirawan itu—bukan semata soal hukum. Ini tentang etika. Tentang rasa keadilan yang terasa tergelincir.
Saya pribadi tidak punya perkara dengan Mas Wapres. Ia muda, energik, dan mungkin sungguh ingin bekerja. Tapi ini bukan soal siapa dia, melainkan bagaimana ia sampai di sana.
Max Weber pernah mengingatkan bahwa kekuasaan yang sah tidak hanya ditentukan oleh prosedur hukum, tapi juga oleh legitimasi moral. Bila jalan menuju tampuk kekuasaan dipenuhi privilese keluarga, dibungkus tafsir hukum yang lentur, dan dilindungi oleh diamnya para elite, maka sekuat apapun payung legalitasnya, akan tetap ada ruang hampa dalam kepercayaan publik—seperti rumah megah yang dibangun di atas tanah yang retak.
Jika dibaca secara kasat mata, langkah para purnawirawan ini tampak bukan sebagai ekspresi ambisi politik. Mereka tidak membawa calon pengganti, tidak pula mendirikan partai. Mereka hanya datang—dengan gaya khas generasi sepuh—menyampaikan teguran secara sopan, tertib, tanpa gaduh.
Saya teringat pada teori sosiolog Italia, Vilfredo Pareto, tentang sirkulasi elite. Bahwa setiap zaman melahirkan elite baru dan memundurkan yang lama. Namun dalam situasi luar biasa—ketika elite baru mulai kehilangan arah—elite lama kadang perlu kembali bersuara. Bukan untuk merebut, melainkan untuk mengingatkan.
Mungkin mereka tidak ingin bangsa ini terus melaju seolah-olah semuanya baik-baik saja. Mungkin mereka datang bukan untuk mengganggu, melainkan untuk mengatur nafas dan ritme politik. Dan dalam demokrasi, kadang sebuah jeda dibutuhkan—bukan untuk menghambat laju, tetapi untuk menyelamatkan arah.
Tentu, kita sadar bahwa pemakzulan bukan perkara ringan. Konstitusi menjaga pintu itu dengan sangat ketat. Tapi usulan ini saya lihat bukan sebagai ancaman, melainkan sebagai simbol. Sebuah isyarat bahwa demokrasi kita mungkin sedang “demam”, dan nadinya perlu “diperiksa”.
Antonio Gramsci pernah berkata, kekuasaan menjadi hegemonik ketika tak lagi ada yang berani menentangnya. Ketika ruang publik semakin sunyi, ketika narasi tunggal terus diulang dan dijadikan satu-satunya kebenaran, maka suara berbeda—betapapun kecilnya—menjadi sangat berharga. Suara para purnawirawan itu, menurut saya, ibarat lonceng kecil yang berdenting di tengah malam: tak membangunkan seluruh kota, tapi cukup untuk membuat kita membuka mata dan bertanya, “Benarkah semuanya baik-baik saja?”.
Michel Foucault juga pernah memperingatkan: kekuasaan modern tidak lagi menindas dengan kekerasan, tapi melalui produksi wacana. Ia membentuk apa yang boleh dikatakan, apa yang dianggap masuk akal, apa yang layak dipercaya. Ketika satu wacana mendominasi, perlahan pilihan kita menyempit, kebebasan menyusut, dan suara berbeda dianggap sebagai gangguan—bukan penyeimbang.
Saya tak tahu apakah surat para purnawirawan itu akan mengguncang tatanan politik atau tidak. Tapi saya percaya, dalam demokrasi, suara yang paling pelan kadang justru yang paling jujur. Dan ketika mereka yang pernah berdiri di garis depan republik kini datang menyampaikan peringatan, kita sebaiknya tidak buru-buru menuding, apalagi menutup telinga.
Sebab demokrasi tak pernah mati oleh satu keputusan besar. Ia memudar perlahan—saat keberanian untuk berbeda menghilang, saat suara minor disamakan dengan ancaman, dan saat jeda dianggap sebagai kelemahan.
Dalam momen seperti ini, saya teringat pada pemikiran Hannah Arendt—bahwa kejahatan terbesar dalam politik sering kali tidak lahir dari niat jahat, melainkan dari ketidakpedulian; dari kebiasaan membiarkan segalanya berjalan begitu saja, tanpa tanya, tanpa jeda. Socrates mengingatkan kita bahwa “hidup yang tidak diperiksa adalah hidup yang tidak layak dijalani.”
Di tengah dunia yang ramai dan cepat, barangkali yang kita butuhkan justru adalah keberanian untuk berhenti sejenak—untuk membuka pintu ketika ada yang mengetuk, dan mendengarkan.
Karena sejatinya, demokrasi bukan soal siapa yang menang, tapi siapa yang masih mau mendengar. Dan barangkali, sesekali, ia memang perlu disela—agar tidak tersesat dalam diam yang terlalu panjang.
Tentang Penulis: Yusuf Mars adalah Lulusan Magister Ilmu Komunukasi Politik Universitas Paramadina, Founder @PadasukaTV, Channel Youtube Sosial Politik dan Keagamaan. Pemerhati Komunikasi politik dan kebijakan publik