LIPUTAN9.ID – Bagian penting Sufisme Islam adalah konsep tentang mahabbah (cinta) dan ma’rifat (pengenalan). Cinta ini lahir buka dari rasionalisasi ilmiah melainkan lahir dari kedalaman rasa. Cinta ini juga menjadi jalan seorang Salik menggapai ma’rifat tentang Allah. Walaupun sebagian sufi mengatakan, ma’rifat adalah jalan menuju cinta (mahabbah). Terlepas dari itu, mahabbah dan ma’rifat adalah satu paket yang tidak terpisahkan.
Pendapat lain mengatakan, mahabbah dan ma’rifat ini satu hal yang sama. Itu bisa dilihat dari penyebutan ”Arifbillah bagi orang yang fana” dalam mahabbah Allah. Seseorang akan disebut arifbillah apabila ia sudah lebur dalam cinta kepada Allah. Salah satu ucapan Abu Yazid al-Bustomi yang terkenal, “semua makhluk memiliki Ahwal, tetapi orang yang Arifbillah tidak punya hal satupun, karena dirinya telah terhapus dan fana’ dalam kedirian Tuhan; jejaknya hilang dalam jejak Allah,” (Imam Abul Qasim al-Qusyairi, ar-Risalah al-Qusyairiah fi ‘ilm at-Tasawuf, Dar al-Ma’arif Kairo, 2003: 41).
Dalam kondisi jatuh cinta pada Allah inilah, seorang sufi mengenali-Nya dengan jauh lebih baik (ma’rifat). Begitu pun, dalam kondisi mengenali-Nya (ma’rifat), ia semakin jatuh cinta pada-Nya. Dzat Yang Dikenali dan Yang Dicintai adalah Dzat yang sama; ma’rifat dan mahabbah adalah dua penjelasan bagi satu hakikat yang sama. Ayat tentang mahabbah ini dikutip dari ayat 45 surat Al-Baqarah, di mana Allah berfirman: “Allah akan mendatangkan satu kaum yang Dia mencintai mereka, dan mereka mencintai-Nya.”
Imam Junaid al-Baghdadi (w. 297 H.) mengutip perkataan gurunya, Sari As-Saqathi (w. 253 H.), yang mengatakan: mahabbah di antara dua orang tidak akan sempurna sampai yang satu memanggil lainnya dengan panggilan: “wahai diriku.” Artinya, seorang pecinta akan memanggil kekasihnya sebagai dirinya sendiri. Sedangkan dirinya sudah lebur dalam diri kekasihnya.
Tentang keajaiban cinta ini, ada sebuah riwayat tentang Abul Hasan Samnun bin Hamzah al-Khawas (w. 298 H.), seorang sufi pencinta sekaligus zuhud. Pada suatu hari, Samnun menjelaskan arti cinta kepada Allah di dalam sebuah masjid. Saat penjelasan itu berlangsung, tiba-tiba lampu-lampu masjid pecah, karena tidak sanggup mendengarkan penjelasan tentang cinta dari Samnun.
Selain itu, ada juga seekor burung yang datang dan hinggap di depan Samnun, mendengarkan penjelasan Samnun tentang arti cinta. Burung itu mengepakkan sayapnya ke tanah, lalu mati bersimbah darah (Abul Fadhal Ahmad bin Muhammad, Allah al-Qashdu al-Mujarrad fi Ma’rifat al-Ism al-Mufrad wa Yalihi Hibbatul Mahabbah, Dar al-Kutub al-Ilmiah Beirut, 2013: 33).
Kisah di atas memang sekilas tampak hiperbolis, dilebih-lebihkan. Tetapi, bukan berarti itu mustahil, mengingat Allah Swt pernah berfirman: “Sekiranya Kami turunkan Alquran ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan takut kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia agar mereka berpikir,” (Qs. al-Hasyr: 21).
Tentu saja, kisah Samnun dengan lampu masjid yang pecah dan burung yang mengepak sampai bersimbah darah adalah perumpamaan-perumpamaan untuk menjelaskan hakikat cinta. Samnun sendiri termasuk sufi yang mendahulukan mahabbah atas ma’rifat. Hal itu bukan mustahil secara manusiawi, sebab banyak orang yang jatuh cinta siap mengorbankan dirinya, harta, pikiran, tenaga, bahkan mengorbankan nyawanya sendiri, demi yang dicintai. Kita bisa lihat dari profil para sahabat yang rela berkorban jiwa raga demi membela Islam yang diajarkan Rasulullah saw.
Sedangkan tokoh yang lebih mengedepankan ma’rifat dari mahabbah, salah satunya, adalah Imam al-Ghazali. Imam al-Ghazali mengatakan, mahabbah itu adalah buah manis ma’rifat. Tidak mungkin akan memilih mahabbah bila tidak didahului tentang ma’rifat. Sedangkan ma’rifat ini lahir dari indra keenam manusia, yaitu hati. Jika hati dipenuhi ma’rifat, maka ia akan memiliki mahabbah (Abdul Azhim Abdussaslam Syarfuddin, Ibnu Qayyim al-Jauziah: Ashrihi wa Minhajihi wa Araihi fi al-Fiqh wa al-Aqidah wa al-Tasawuf, Dar al-Qalam Kuwait, 1984: 481).
Imam al-Ghazali mengatakan, faktor penyebab mahabbah itu menguat adalah menguatnya ma’rifatullah, cakrawala pengetahuannya tentang Allah semakin luas, dan pengetahuan itu menguasai hatinya setelah usaha penyucian hati dari seluruh kesibukan duniawi (Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin, Thaha Putra Semarang, 4/308). Jadi, semakin luas pengetahuan seseorang (ma’rifat) tentang Allah maka semakin dalam cintanya pada Allah (mahabbah),
Lisanuddin Ibnu Al-Khatib mencoba mendamaikan pandangan pertama yang mengatakan mahabbah lebih dulu dari ma’rifat dan pandangan kedua yang mengatakan ma’rifat lebih dulu dari mahabbah. Menurut ibnu Al-Khatib, ulama yang mengatakan ma’rifat lebih awal dari mahabbah adalah mereka yang melihat dari aspek linguistik; antara subjek yang mengetahui dan objek yang diketahui. Jadi benar, semakin luas pengetahuan maka semakin jatuh cinta. Begitu sebaliknya.
Sedangkan ulama yang mengatakan mahabbah lebih dulu dari pada ma’rifat melihat dari sisi maqom ma’rifat. Maqom ma’rifat ini tidak akan tercapai kecuali seseorang memiliki mahabbah. Tanpa mahabbah pada Allah, maka maqom ma’rifat tidak pernah dibenarkan. Sebab mahabbah adalah kecenderungan pada sesuatu, gerakan menuju kesempurnaan (Muhammad bin Abdullah bin Sa’id bin Ali as-Salmani al-Ma’ruf bi Lisanuddin Ibnu al-Khatib, Raudahatut Ta’rif bi al-Hubb asy-Syarif, Dar al-Kutub al-Ilmiah Beirut, 2003: 161).
Pandangan al-Ghazali lebih mudah dipahami, karena mengandaikan bagaimana seseorang akan jatuh cinta pada objek tertentu, sedangkan ia belum mengetahui objek yang dicintainya. Seseorang akan jatuh cinta tentu saja setelah ia punya pengetahuan dan kenal dekat pada yang dicintainya. Untuk itulah, terlepas dari mana yang lebih dulu: mahabbah lalu ma’rifat atau ma’rifat lalu mahabbah, tentu keduanya satu paket yang tidak terpisahkan.
Artikel ini tayang juga di Disway.id dengan judul yang sama Mahabbah dan Ma’rifat, pada hari Senin, 21 Nopember 2022.
Comments 1