Jakarta, LIPUTAN9.ID – Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD, mengatakan revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi (MK) yang diusulkan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) bisa merugikan Hakim Konstitusi yang sedang aktif saat ini.
“Kalau kami ikut yang diusulkan DPR, itu berarti itu akan merugikan subjek yang sekarang jadi hakim, sehingga kami waktu itu tidak menyetujui,” kata Mahfud dalam konferensi persnya dilansir dari Tempo Senin, (04/1123).
Rencana revisi UU MK diusulkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sejak September 2022. DPR kemudian, membentuk Panja RUU MK pada Februari 2023. Kala itu rencana revisi direncanakan menyasar empat poin, yaitu batas usia minimal hakim konstitusi, evaluasi hakim konstitusi, unsur keanggotaan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi, dan penghapusan ketentuan peralihan mengenai masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua MK.
Merujuk pada draft awal RUU, revisi terdiri dari lima pasal. Empat pasal berisi perubahan ketentuan sebelumnya dan satu pasal lainnya merupakan aturan baru. Usulan yang paling mencolok menyasar Pasal 15 ihwal batas usia hakim konstitusi yang kini berlaku minimal 55 tahun.
Revisi juga menghapus Pasal 87 ihwal masa jabatan hakim konstitusi yang kini paling lama 70 tahun selama keseluruhan masa tugasnya tidak melebihi 15 tahun. Adapun, pasal kontroversial yaitu Pasal 27C yang mengatur kewenangan DPR, Mahkamah Agung, dan presiden untuk mengevaluasi hakim konstitusi yang mereka ajukan.
Pemerintah belum setujui poin usulan DPR RI
Mahfud menjelaskan saat ini pemerintah belum menyetujui Perubahan Keempat Undang-Undang Mahkamah Konstitusi Nomor 24 Tahun 2023 tentang Mahkamah Konstitusi (MK) tersebut. Menurut Mahfud, pemerintah masih keberatan terhadap aturan peralihan masa jabatan 10 tahun dan maksimal usia Hakim Konstitusi adalah 70 tahun. Pemerintah, kata Mahfud, belum mengeluarkan keputusan ihwal pembahasan tingkat satu revisi UU MK.
“Artinya dihabiskan dulu masa jabatan dua itu (Ketua MK dan Wakil Ketua MK). Pun bagi yang sudah lebih dari 10 tahun tetapi sekarang masih menjabat kami usulkan sampai habis sesuai SK (aturan Mahkamah Konstitusi) terakhir. Nah, kami usul bertahan di situ karena itu lebih adil berdasar hukum transisional,” kata Mahfud.
Kemenkopolhukam, kata Mahfud, dengan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly sudah mengirimkan surat kepada DPR agar revisi UU MK tidak disahkan di sidang dan memperhatikan usul pemerintah. Apalagi, Mahfud dan Yasonna merasa belum menandatangani persetujuan atas usulan revisi UU MK dari DPR RI itu.
“Apalagi sekarang ada putusan MK tanggal 29 November 2023 itu menyatakan dalam hal terjadi pengubahan UU tidak boleh merugikan subjek yang diganti, sehingga saya dan Menkumham ini menyatakan belum selesai. Harus menyesuaikan dengan pedoman hukum universal transisional,” kata Mahfud.
Saat ditanya apakah revisi UU MK ini menyasar hakim tertentu karena berkaitan dengan sengketa Pemilu 2024 dan upaya pengondisian MK, Mahfud mengaku tidak bisa menjawab. Menurut Mahfud, revisi ini merupakan hal wajar dan dianggap biasa, kecuali Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).
“Ini tidak ada, tetapi ini diusulkan oleh DPR, jadi tidak bisa ditanyakan kepada pemerintah,” ujar Mahfud.
Selain itu, Mahfud Md juga merasa kaget karena agenda revisi UU MK tidak masuk dalam Prolegnas. Namun, ia menyebut usulan revisi ini mungkin ada kebutuhan.
“Tetapi dengan prinsip tidak boleh merugikan atau dugaan tentang terjadinya hal-hal yang ditanyakan itu,” kata Mahfud. (YZP)