Banten, LIPUTAN 9 NEWS
Yang lumrah dalam diri manusia adalah lupa. Lupa dari mana kita berasal dan hendak ke mana kita. Pepatah Arab menyatakan: Manusia adalah tempatnya lupa. Quran menegaskan: Kita ini milik Allah dan kepada-Nya kita akan kembali….Segala yang fana akan musnah….penegasan Quran tersebut adalah hakikat kita sebagai manusia: fana dan camat (calon mati).
Bahwa masa depan yang paling pasti bagi manusia adalah kematian. Adakah kematian kita kelak dalam kebajikan serta meninggalkan asar (jejak dan warisan) yang bermanfaat ataukah sebaliknya: membawa banyak catatan dan asar keburukan? Selama Ramadan kita dididik untuk saleh secara personal (individual) dalam hubungan private kita dengan Yang Maha Esa sekaligus saleh secara sosial agar kita berhasil menuju Idul Fitri (kembali suci), di mana kita berasal.
Idul Fitri memang hijrah sekaligus mudik. Hijrah adalah beranjak menuju kemajuan dan mudik adalah kembali ke mana kita berasal, ke asal kita yang baik dan suci. Imam Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah pernah berkata, “Semoga Allah merahmati manusia yang tahu asal-usulnya, yang tahu keberadaan dirinya, dan yang tahu hendak ke mana dirinya”
Dalam Al-Ghunyah li Thalibi Tariqil Haq Azza wa Jalla fil Akhlaq, wat Tashawwuf, wal Adabil Islamiyah, Syekh Abdul Qadir Al-Jilani (dari Jilan, Iran) menyatakan:
ليس العيد بلبس الناعمات وأكل الطيبات ومعانقة المستحسنات والتمتع باللذات والشهوات. ولكن العيد بظهوره علامة القبول للطاعات وتكفير الذنوب والخطيئات وتبديل السيئات بالحسنات والبشارة بارتفاع الدرجات والخلع والطرف والهبات والكرامات وانشراح الصدر بنور الإيمان وسكون القلب بقوة اليقين وما ظهر عليه من العلامات وانفجار بحور العلوم من القلوب على الألسنة وأنواع الحكم والفصاحة والبلاغة
“Idul Fitri itu bukanlah mengenakan pakaian bagus, mengkonsumsi makanan enak, memeluk (mendekap) orang-orang tercinta (tersayang), serta menikmati segala kelezatan duniawi. Idul Fitri adalah kemunculan tanda penerimaan amal ibadah, pengampunan dosa dan kesalahan, penghapusan dosa oleh pahala, kabar baik atas kenaikan derajat di sisi Allah, pakaian pemberian, harta benda (uang dan properti) baru, aneka pemberian, dan kemuliaan, kelapangan batin karena cahaya keimanan, ketenteraman hati karena kekuatan keyakinan, tanda-tanda Ilahi lain yang tampak, pancaran lautan ilmu dari dalam sanubari melalui ucapan, pelbagai kebijaksanaan, kafasihan, dan kekuatan retoris” (Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, Al-Ghunyah li Thalibi Tariqil Haq Azza wa Jalla, Beirut, Darul Kutub Al-Islamiyah, 1997 M/1417 H, juz II, halaman 34).
Syekh Abdul Qadir Al-Jilani pernah juga menegaskan dengan khutbah singkatnya: “Sesuap makan untuk yang kelaparan adalah lebih utama ketimbang membangun masjid jami”. Bila demikian, kesalehan personal-individual tidaklah lengkap, bahkan gugur hancur lebur, bila tidak dibarengi kesalehan sosial.
Ironisnya, di bulan Ramadan kita acapkali terjebak seremonial belaka. Memamerkan kemewahan saat berbuka puasa di hadapan mereka yang kekurangan. Sisi egoistik kita justru muncul, begitu pula sikap riya dan sum’ah kita. Berzakat dan bersedekah demi tujuan politik pribadi dan popularitas.
Ada yang menarik dari kata fitrah ini. Ayatullah Murtadha Muthahhari menegaskan: “Jika kita menyebut sesuatu sebagai fitrah, maka yang kita maksudkan adalah hal itu bersumber dalam diri manusia.” Dalam menjelaskan fitrah ini, Murtadha Muthahhari Muthahhari menggunakan hujjah sejumlah ayat Al-Quran, yang diantaranya; QS. Ar-Rum: 30, QS. al-Anbiya’: 56, QS. al-An’am: 79, QS. al-Infithar: 1, QS. al-Muzammil: 19. Dalam ayat-ayat tersebut, kata fitrah dengan ragam derivasinya mengandung makna: “al-khalq” atau “al-ibda’” , sesuatu yang diciptakan tanpa contoh sebelumnya. Menurut segi bentuk katanya, fitrah juga memiliki arti “keadaan tertentu” dalam segi penciptaannya, yang berarti kekhususan keadaan tersebut yang menjadi fitrahnya.
Menurutnya fitrah ini tak terlepas dari tujuan risalah dan nubuwwah (diturunkannya wahyu dan diutuskan para nabi dan rasul). Menurut Murtadha Muthahhari, tujuan diutusnya para nabi tak lepas dari tujuan penciptaan manusia itu sendiri, mengajak dan membimbing manusia untuk mengenal dan menemukan tujuan hidupnya yang hakiki. Dengan perantara seorang Nabi, manusia memahami potensi (fitrah) yang ada pada dirinya dan mengaktualkan sesuai dengan jalan yang benar. Sedangkan tujuan penciptaan itu sendiri, seperti yang diutarakan Ayatullah Murtadha Muthahhari, bukanlah demi kesempurnaan atau keperluan Sang Pencipta, melainkan untuk kesempurnaan makhluk. Penyempurnaan itu sendiri memiliki tahap-tahapan sebagai suatu proses, dan terdapat perbedaan diantara setiap makhluk dalam tingkat penyempurnaannya.
Berdasarkan apa yang dijelaskan Ayatullah Murtadha Muthahhari tersebut, dapatlah dipahami oleh kita bahwa salah satu tujuan diutusnya para Nabi adalah “untuk membimbing manusia mencapai kesempurnaannya, dan membantunya untuk mengatasi masalah yang dihadapinya baik secara individu maupun sosial” dan itu hanya dapat dilakukan dengan bantuan wahyu ilahi sehingga dalam perjalanannya, manusia memperoleh kemudahan.
Demikian pula, sebagaimana yang dijelaskan Ayatullah Murtadha Muthahhari, kita sebagai manusia dalam kedudukannya di antara makhluk hidup lainnya, memiliki kekhususan yang perlu dikaji secara terpisah, yang mana manusia memiliki akal, kehendak dan fitrah (yang tidak sama dengan makhluk lainnya, misalnya dengan binatang). Dan karena itu, demikian ditegaskan Muthahhari, pertumbuhan dan kesempurnaannya harus dicermati dari dua sudut; material dan spiritual. Dalam pandangan Muthahhari, dengan memperhatikan dua ciri khas manusia tersebut, dan dengan melihat dari sisi lain manusia sebagai makhluk sosial yang memiliki fitrah, akal dan berpikir itu, manusia memiliki dua kebebasan, yaitu kebebasan sosial dan kebebasan spiritual.
Sementara itu, terkait dengan kebebasan sosial, sebagaimana dinyatakan Ayatullah Murtadha Muthahhari, seyogyanya manusia tidak dieksploitasi oleh orang lain dan orang lain tidak boleh menghalangi pertumbuhannya dan tidak mempersiapkan sarana bagi kesempurnaannya dan tidak menggunakan seluruh kemampuan pemikiran dan fisiknya untuk kepentingan mereka. Di sinilah, menurut Muthahhari, satu dari tujuan diutusnya para nabi adalah memberikan kebebasan sosial kepada manusia –yakni, menyelamatkan manusia dari tawanan dan penghambaan kepada orang lain.
Begitulah, dalam konteks Idul Fitri, kebebasan sejati muslim adalah ketika telah berhasil kembali (pulang) ke fitrahnya setelah berjuang selama sebulan penuh di bulan Ramadan.
Bila mudik adalah kembali atau pulang ke (menuju) kampung halaman di mana kita dulunya berasal dan dilahirkan, maka ‘Idul Fitri artinya kembali atau ‘pulang’ ke (menuju) fitrah kita di mana kita saat dilahirkan yang tanpa noda dan cela. Tentu saja, dalam konteks dan koherensinya dengan spirit bulan Ramadan itu sendiri, mereka (kaum muslim) yang berhasil kembali atau pulang ke (menuju) fitrah-nya adalah mereka yang lulus selama menjalani madrasah Ramadan.
Kata dan istilah ‘mudik’ dan ‘Idul Fitri sama-sama memiliki pengertian kembali dan ‘pulang’, meski konteks keduanya tak sama alias berbeda. Hanya saja, arti dan pengertian kembali dan pulang itu sendiri mencerminkan bahwa kita senantiasa ingin balik ke asal di mana kita berasal. Bila dalam terminologi spiritual dan religius, maka asal kita adalah manusia-manusia yang tanpa cela dan noda (saat kita dilahirkan), yaitu dalam keadaan fitri, maka ‘mudik’ adalah kembali ‘mengunjungi’ tempat di mana kita dilahirkan, yaitu tanah kelahiran atau kampung halaman kita, yaitu kebersihan dan kejujuran kita sebagai manusia.
Idul Fitri bagi muslim merupakan sebuah hadiah spiritualitas sejati dari Allah Swt, di mana hari raya ini bukan pesta materi duniawi (semisal hanya mengutamakan perlombaan untuk membeli baju-baju atau barang-barang baru), tapi hari rahmat dan ampunan Ilahi. Hari raya ‘Idul Fitri sejatinya adalah hari bersyukur bagi kaum muslim yang berhasil di bulan suci Ramadhan dalam ibadah dan penghambaannya kepada Allah Swt. Inilah hari kemenangan bagi kaum Muslim –yaitu tadi, hari kembali (atau mudik alias pulang) ke (menuju) fitrah kita yang tanpa cela dan dosa. Sebuah hari yang mengakhiri sebulan ibadah dan penyucian diri dengan semata-mata mengharapkan ridha Allah Swt.
Sulaiman Djaya, Pekerja Budaya
Comments 0