Cirebon, LIPUTAN 9 NEWS
Jalan yang ditempuh para Sufi adalah jalan utama, yang bahkan juga dipilih para Fuqaha’. Imam asy-Syafi’i, Pendiri Mazhab Syafi’iyah, menerangkan tiga perkara yang paling disukainya; tidak memaksakan diri (tark al-takalluf), bergaul dengan lemah lembut (talaththuf), dan mengikuti tarekat ahli tasawuf (Ismail bin Muhammad Al-Ajluni, Kasyf al-Khafa wa Muzil al-Ilbas ‘amma Isytahara min al-Ahadits ‘ala Alsinatinnas, 1/341).
Jalan utama para sufi sering kali disederhanakan menjadi tiga konsep yang mudah dimengerti dan diamalkan, seperti Takhalli, Tahalli dan Tajalli. Tiga istilah konseptual ini bagaikan terminal-terminal yang harus dilalui oleh sebuah perjalanan untuk mencapai tujuan. Tujuan para Sufi tiada lain adalah Allah Swt. Ahmad bin Hanbal, Pendiri Mazhab Hanbali, mengatakan, “aku tidak tahu apakah ada kaum yang lebih mulia dibanding para Sufi,” (Muhammad as-Safarayini, Ghadza’ul Lubab Syarh Manzhumatil Adab, 1/120).
Kemuliaan para Sufi berakar dari perhatian utama mereka untuk menata hati dan pikiran, sebagai hulu bagi setiap perilaku dan perbuatan, dalam kehidupan di dunia. Secara umum, kaum Sufi menempatkan tindakan manusia lahir dari hati dan pikiran. Jika hati baik maka perbuatan akan baik, begitupun sebaliknya. Rasulullah saw sendiri sudah bersabda:
أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ
Artinya: “Ketahuilah, sesungguhnya di dalam tubuh manusia ada segumpal daging, jika segumpal daging itu baik maka akan baik seluruh tubuhnya, dan jika segumpal daging itu buruk maka akan buruk seluruh tubuhnya, ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati manusia,” (HR. Bukhari, no. 52; Muslim, no. 1599).
Perilaku yang baik melahirkan pergaulan yang baik, dan pergaulan yang baik adalah awal membangun masyarakat, bangsa dan negara. Itulah mengapa Imam as-Syafi’i sangat mencintai tarekat atau jalan yang ditempuh oleh para Sufi, karena perhatian kaum Sufi tertuju untuk membersihkan hati manusia dari keburukan, agar tidak lahir perbuatan nyata yang buruk-destruktif.
Membersihkan hati agar tidak menimbulkan kerusakan atau perilaku merusak merupakan tahapan paling awal bagi seorang Salik (penempuh jalur spiritual kaum Sufi). Pembersihan disebut juga sebagai Takhalli, yang berasal dari akar kata Takhalla-yatakhalla-takhalliyan. Berarti mengosongkan diri, melepaskan dari segala dosa, maksiat, perbuatan sia-sia. Takhalli merupakan terminal awal sebelum menuju terminal berikutnya.
Ahmad at-Thayyib ibnu al-Basyir mengutip kata-kata golongan orang-orang Arifbillah, “man takhalla tahalla, wa man tahalla tawalla, wa man tawalla tadalla, wa man tadalla tajalla.” Barang siapa yang sudah melakukan takhalli (pembersihan diri) maka dia akan berias diri (tahalli). Barang siapa yang sudah tahalli maka ia akan tawalla (penuh kasih). Barang siapa penuh kasih maka dia akan menambang kemuliaan (tadalla). Barang siapa yang sudah menambangnya maka ia akan mengalami tajalli Tuhan (Ibnu al-Basyir, an-Nafs al-Rahmani fi al-Thur al-Insani, 270).
Imam al-Ghazali sangat bagus dalam mengarang Juz ke-3 dari kitab Ihya’ Ulumiddin, yang diberinya nama sebagai Rub’u al-Muhlikat (Bagian Hal-hal Yang Merusak). Sifat-sifat buruk yang merusak manusia antara lain: syahwat kelamin, yang semakin liar karena pengaruh makanan; bahaya lidah (mulut) yang suka berdusta, menyebar bibir permusuhan, menghasut, memfitnah, menjilat/memuji demi kepentingan, mengumpat karena amarah, mendengki; keburukan akibat terlalu mencintai dunia, gila kehormatan dan pujian, pamer, sombong, ujub/besar kepala, dan lain sebagainya (al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin, 3/39-312).
Perjalanan Takhalli seorang Salik dianggap belum berhasil bila di dalam hati dan pikirannya, apalagi sampai manifes dalam perilakunya, semua hal-hal merusak di atas, maka ia gagal menyelesaikan misi takhalli. Orang yang gagal membersihkan hati dan berbuat keburukan maka ia akan merasakan dampak buruknya. Allah swt berfirman:
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
Artinya: “Telah nampak kerusakan di darat dan di lautan disebabkan perbuatan tangan manusia, supaya Allah membuat mereka merasakan akibat perbuatan mereka sendiri, agar mereka kembali ke jalan yang benar,” (QS. Ar-Ruum: 41).
Dalam rangka menghilangkan keburukan tersebut, setiap individu harus menempuh jalan takhalli atau pengosongan diri dari sifat buruk-destruktif.
Apabila tahapan dasar takhalli ini berhasil dilalui, maka tahapan berikutnya adalah tahalli,yang berarti menghias diri. Ketika semua sifat buruk-negatif telah disingkirkan dari hati dan pikiran, serta sedikit demi sedikit perbuatan/tindakan tidak lagi menimbulkan kerusakan di muka bumi, maka seorang Salik perlu menata hati, mengisinya dengan kepribadian luhur nan berbudi pekerti. Lagi-lagi, Imam al-Ghazali, Sang Hujjatul Islam, itu mengarang Jilid ke-4 seri Ihya’ Ulumiddin yang disebutnya sebagai Rub’ul Munjiyat (Hal-hal Yang Menyelamatkan).
Topik-topik dalam Rub’ul Munjiyat ini sepenuhnya berkenaan tentang cara menata hati agar terhindari dari sifat buruk, lalu mengamalkan sifat-sifat positif, seperti bertaubat untuk tidak mengulangi dosa dan maksiat; selalu merasa takut (khauf) akan siksa dan murka Allah, terus berharap (raja’) akan ampunan Allah; memilih status fakir dan pola hidup zuhud dari cinta duniawi; membiasakan hati tawakal pada Allah, cinta dan rindu pada Allah, ridha atas segala takdir Allah; ikhlas dan jujur; terus mendekatkan diri pada Allah dan mengevaluasi setiap perilakunya, selalu bertafakkur akan kebesaran Allah, dan ingat akan akhir dari perjalanan hidup berupa kematian.
Seorang Salik yang belum memiliki semua sifat hati yang baik, luhur, terpuji di atas maka belumlah ia berhasil menempuh tahapan tahalli. Seorang Salik misalnya tidak memiliki hati yang dengki, sombong, pamer, namun ia belum memiliki hati yang tulus, ridha atas semua takdir, tawakal, maka ia bisa dibilang masih berada pada tahapan takhalli, belum tahalli. Sebaliknya, mustahil tahapan tahalli dimasuki tanpa lebih dulu menyelesaikan proses takhalli. Seorang Salik mustahil memiliki hati yang zuhud jika hatinya masih cinta, rakus, terikat pada gemerlap duniawi.
Kebersihan hati dan keluhuran budi pekerti (perbuatan) adalah tujuan dari beragama itu sendiri. Rasulullah saw bersabda:
إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ الْأَخْلَاقِ
Artinya: “Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak yang luhur,” (HR. Ahmad no. 8952).
Jika seorang Salik telah menunjukkan perilaku akhlak mulia maka tahapan tahalli baru bisa disebut berhasil dilalui.
Akhlak mulia adalah perkara substansi, bukan formalitas lahiriah. Akhlak mulia inilah dasar-dasar pokok agama. Sultanul Ulama, Izzu bin Abdis Salam, yang mengamalkan tarekatnya Syeikh Abul Hasan asy-Syadzili, pernah mengatakan, “kaum Sufi itu berdiri di atas fondasi syariat (qawa’id as-syariat) yang tidak akan pernah runtuh dunia hingga akhirat. Sedangkan kelompok lain hanya berdiri di atas formalitas saja (ar-rusum),” (Hamid Ibrahim Shaqr, Nur at-Tahqiq, 96).
Penggambaran tentang perbedaan antara ahlur rusum (beragama sebatas formalitas dan penuh kemunafikan) dan ahlul haqiqat (kaum Sufi) dapat dilihat dalam firman Allah swt:
وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مَسْجِدًا ضِرَارًا وَكُفْرًا وَتَفْرِيقًا بَيْنَ الْمُؤْمِنِينَ وَإِرْصَادًا لِّمَنْ حَارَبَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ مِن قَبْلُ ۚ وَلَيَحْلِفُنَّ إِنْ أَرَدْنَا إِلَّا الْحُسْنَىٰ ۖ وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ
Artinya: “Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemadharatan (pada orang-orang Mukmin), untuk kekafiran dan memecah belah antara orang-orang Mukmin serta menunggu kedatangan orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu. Mereka sesungguhnya bersumpah, ‘kami tidak menghendaki selain kebaikan.’ Dan Allah menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka itu adalah pendusta (dalam sumpahnya),” (Qs. at-Taubah: 107).
Ayat di atas menggambarkan tentang suatu kelompok penganut agama, yang memanfaatkan masjid sebagai markaz gerakannya. Di dalam masjid tersebut, perilaku mereka sangat merusak, menimbulkan perpecahan dan permusuhan, serta menghalang-halangi orang berjihad di jalan Allah swt. Namun begitu, secara terang-terangan mereka mengaku kubunya sebagai pembela kebaikan dan agama. Padahal, hati mereka penuh dusta. Inilah contoh ahlur rusum, yang mengaku beragama namun tidak bermoral, tidak berbudi pekerti yang luhur.
Kaum Sufi adalah Ahlul Haqiqah, bukan Ahlur Rusum. Hakikat itu sendiri baru bisa diraih ketika dua tahapan sebelumnya (takhalli dan tahalli) betul-betul berhasil dilalui. Seorang Salik yang berhasil melewati proses takhalli dan tahalli maka ia akan memasuki tahapan akhir, tajalli. Ibnu Arabi mendefinisikan Tajalli ini sebagai ma yankasyifu lil qulub min anwaril ghuyub, bentuk ketersingkapan hati manusia karena mendapatkan pancaran cahaya-cahaya gaib (Ibnu Arabi, Kitab al-Tajalliyat, 2004). Ibnu Arabi sendiri dalam kitab at-Tajalliyat membahas secara terperinci macam-macam Tajalli yang bahkan lebih dari seratus macam itu.
Salah satu yang penting dibicarakan adalah Tajalli Syuhudi, yakni zhuhurul haqq bi asma’ihi fil akwan allati hiya shuwaruha, penampakan kebenaran Tuhan (Haqq) melalui nama-nama-Nya di dalam alam semesta yang sekaligus sebagai bentuk wadag dari nama-nama tersebut (Mawlawy Muhammad, Kasyf Isthilahat al-Funun, 1/269-270). Artinya, seluruh alam semesta adalah nama-nama Allah Swt. Tidak satupun butiran atom yang terbebas dari nama-nama Allah swt.
KH. Imam Jazuli, Lc. MA, Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.