BANTEN | LIPUTAN9NEWS
Mencermati dengan seksama realitas sistem dan mekanisme politik Indonesia yang menyuburkan praktik korupsi, jaringan mafia (kartel para pencuri), politik transaksional jangka pendek yang mengorbankan kedaulatan jangka panjang, Indonesia memang perlu di-reset dan di-restart. Jika sebuah Negara telah menjelma kleptokrasi, organisasi dan birokrasi para pencuri yang bekerja-sama dengan korporasi, maka revolusi rakyat adalah keharusan untuk meruntuhkan rezim tersebut. Revolusi rakyat adalah hukum dan mekanisme sejarah agar Negara tidak menjadi alat yang menindas dan memeras rakyat, semisal melalui ragam pajak justru ketika para elit menikmati kenaikan gaji dan anggaran Negara dari pajak rakyat yang hidup susah.
Namun, sebelum bicara tentang keharusan revolusi rakyat untuk menumbangkan kleptokrasi, perlu dipaparkan definisi dan ciri-ciri kleptokrasi itu sendiri. Secara umum, kleptokrasi atau pemerintahan oleh para pencuri, dicirikan oleh korupsi sistematis dan penyalahgunaan kekuasaan untuk memperkaya diri sendiri atau kelompok tertentu. Ciri-cirinya meliputi korupsi tinggi di kalangan pejabat (pemegang kebijakan), penyalahgunaan dana negara, penegakan hukum yang lemah, dan kurangnya akuntabilitas publik:
- Korupsi sistematis: Korupsi bukan lagi kasus individu, tetapi menjadi budaya yang mengakar dalam birokrasi dan pemerintahan.
- Penyalahgunaan kekuasaan: Pejabat acapkali menggunakan jabatan mereka untuk kepentingan pribadi, bukan untuk kepentingan publik atau tujuan kesejahteraan bersama.
- Penyalahgunaan dana negara: Dana publik seringkali dialihkan untuk memperkaya diri sendiri atau kelompok tertentu, semisal melalui proyek-proyek yang tidak transparan dan korup.
- Penegakan hukum yang lemah: Hukum dan lembaga penegak hukum tidak berfungsi dengan baik bahkan malah menjadi alat elit, sehingga korupsi sulit diberantas.
- Kurangnya akuntabilitas: Pejabat tidak merasa bertanggung jawab atas tindakan mereka dan tidak ada mekanisme yang efektif untuk meminta pertanggungjawaban mereka. Inilah yang terjadi di Indonesia.
- Pengawasan publik yang lemah: Masyarakat kurang memiliki kontrol terhadap kinerja pejabat publik dan kurang mampu meminta pertanggungjawaban. Karena itu diperlukan gerakan komunitas-komunitas atau kelompok-kelompok sipil yang tercerahkan untuk melakukan pendidikan dan pencerahan politik kepada masyarakat.
- Perlindungan hukum bagi pelaku korupsi: Undang-undang dan kebijakan malah dibuat untuk melindungi kepentingan para kleptokrat, bukan untuk memberantas korupsi.
- Pelemahan lembaga anti-korupsi: Lembaga-lembaga yang seharusnya memberantas korupsi dilemahkan hingga disingkirkan.
Dampak buruk kleptokrasi tentu saja memperburuk kesenjangan sosial karena sumber daya negara dikuasai oleh segelintir orang dan tidak dimaksudkan untuk tujuan kesejahteraan rakyat. Karena itu, perlawanan rakyat Pati adalah perlawanan yang sangat patut untuk dihargai dan diapresiasi, bahkan harus diperluas ke seluruh Indonesia.
Bila kita bercermin pada sejarah, revolusi rakyat lebih sering disulut oleh ketimpangan-kesenjangan (ketidaksetaraan) ekonomi, seperti elit yang hidup mewah berbanding terbalik dengan rakyat banyak yang tercekik kebijakan para penguasa dan pengambil kebijakan. Revolusi Perancis contohnya. Begitu pun Revolusi Islam Iran 1979 mendapatkan momentum embrio gerakannya menjadi membesar karena kondisi kemiskinan rakyat Iran di bawah rezim Shah Pahlevi yang korup dan merayakan ulang-tahun imperium Persia yang megah serta mengundang banyak para pemimpin Barat, sementara banyak rakyat Iran yang terpuruk.
Korupsi membuat rakyat kehilangan kepercayaan kepada rezim pemerintah, sementara pajak yang memberatkan rakyat yang belum mendapatkan kesempatan hidup layak hanya akan memantik kemarahan mereka. Kekompakan rakyat Pati beberapa hari lalu hanya-lah salah-satu contohnya.
Banyak orang Indonesia sudah mendapatkan informasi-informasi yang objektif terkait kebijakan-kebijakan rezim, meski rezim acapkali berusaha tidak transparan. Diantara kebijakan yang paradoks itu adalah ketika rezim menaikkan gaji para elit dengan berlipat-lipat ditambah tunjangan dan lainnya, namun di saat yang sama, rakyat justru dihajar pajak yang memberatkan mereka di saat mereka hidup susah. Jelaslah sekarang ini, yang justru berbahaya adalah ketika rezim yang mengaku demokratis justru sesungguhnya kleptokrasi.
Terkait revolusi Perancis, penyulutnya adalah kombinasi faktor sosial, ekonomi, dan politik yang kompleks, yang memuncak pada pemberontakan rakyat terhadap rezim monarki absolut. Secara sosial-politik, masyarakat Perancis di masa itu terbagi dalam tiga golongan (estates), dengan kaum bangsawan dan pendeta (estate pertama dan kedua) menikmati hak istimewa dan kekayaan berlimpah, sementara mayoritas rakyat (estate ketiga), termasuk para petani, hidup dalam kemiskinan dan beban pajak yang berat yang ditimpakkan oleh rezim korup yang berfoya-foya (hedonis). Keadaan tersebut diperparah dengan gagal panen, kenaikan harga pangan, dan utang negara yang menumpuk akibat perang dan gaya hidup mewah di istana, hingga menyebabkan kelaparan dan penderitaan rakyat.
Di Indonesia pun paradoksnya sama, dengan Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan Kabinet Merah Putih, menyasar pajak ke rakyat, sementara presiden, wakil presiden, para menteri, anggota DPR-MPR, para elit dan oligarki tidak bayar pajak.
Republik Indonesia ini harus di-reset di re-start: Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dibubarkan saja dan lalu diganti dengan Front Nasional yang di dalamnya mencakup representasi perwakilan dari masyarakat adat, agamawan, ilmuwan, pendidik, teknokrat, seniman-budayawan-sastrawan dan yang lainnya. Partai politik (parpol) tidak perlu terlalu banyak, cukup maksimal tiga partai saja.
Kembali kepada pembahasan kleptokrasi, bahaya kleptokrasi di Indonesia tentulah amat sangat merusak, karena diantaranya: melambatkan pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kemiskinan dan ketimpangan, menurunkan kepercayaan publik terhadap pemerintah dan institusi negara, melemahkan demokrasi partisipatoris melalui politik uang yang gila-gilaan, dan tentu juga merebaknya plutokrasi (kekuasaan modal), serta menggerogoti kedaulatan rakyat karena institusi disalahgunakan untuk keuntungan pribadi para elit yang merupakan para pencuri. Bila kita absen dan kita daftar secara rinci, berikut sejumlah bahaya kleptokrasi:
[1] Dampak Merusak dalam Bidang Ekonomi
Melambatnya Pertumbuhan Ekonomi: Dana publik yang seharusnya untuk pembangunan jangka panjang demi mencapai kesejahteraan bersama malah dialihkan untuk kepentingan pribadi, sehingga menghambat investasi dan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
Meningkatkan Kemiskinan dan Ketimpangan: Sudah tentu yang akan menjadi korban kleptokrasi adalah masyarakat luas, terutama kalangan miskin yang kesulitan mengakses layanan dasar karena ekonomi berbiaya tinggi akibat korupsi yang gila-gilaan.
Korupsi Merusak Investasi: Kleptokrasi menciptakan iklim yang tidak kondusif bagi investasi, baik domestik maupun asing, karena ketidakpastian dan praktik bisnis yang tidak sehat.
[2] Dampak Merusak dalam Bidang Sosial dan Politik
Menurunnya Kepercayaan Publik: Masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah dan institusi Negara, seperti kepolisian, kehakiman, DPR, pengadilan, kejaksaan, dan yang lainnya, karena melihat mereka disalahgunakan untuk keuntungan pribadi elit.
Melemahnya Demokrasi: Kleptokrasi membiarkan politisi bergantung pada sponsor korporasi yang kemudian menuntut imbalan berupa kebijakan atau proyek, menciptakan plutokrasi di mana modal mengendalikan kekuasaan dan menghancurkan kedaulatan rakyat. Bahkan hal ini telah juga terjadi di tingkatan provinsi dan daerah setingkat kabupaten/kota di Indonesia.
Menciptakan Lingkaran Setan Oligarki: Terjadi penguatan hubungan antara elit politik (semisal dari parpol atau korporat) dan ekonomi yang saling menguntungkan, sementara akuntabilitas publik melemah dan institusi penegak hukum dikompromikan.
[3] Dampak Merusak Secara Kelembagaan atau Institusional
Melemahnya Institusi Penegak Hukum: Institusi yang seharusnya menjadi benteng pemberantasan korupsi justru dilemahkan dan dikompromikan secara transaksional, sehingga praktik kleptokrasi tidak terhambat secara signifikan.
Eksploitasi Sumber Daya Negara: Elit politik dan pelaku ekonomi secara sistematis mengeksploitasi sumber daya strategis negara seperti pertambangan, energi, dan infrastruktur untuk keuntungan pribadi dan dikorupsi secara gila-gilaan. Inilah yang terjadi di Indonesia sejak Orde Baru hingga saat ini.
Dan tidak ketinggalan, untuk me-rest dan me-re-start Indonesia ini, reformasi hukum dan pengadilan serta pemberlakuan hukuman mati untuk para koruptor wajib diterapkan, dengan demikian Garuda dan Indonesia yang sakit karena digerogoti tikus-tikus koruptor, akan pulih dan sembuh, dan akhirnya akan sanggup melangkah dengan tegak dan percaya diri menyongsong masa depan.
Sulaiman Djaya, penyair