BANTEN | LIPUTAN9NEWS
Aqua, merk air (yang konon mineral) kemasan yang sangat terkenal dan laris itu, ternyata bukan berasal dari air gunung, tapi dari air bawah tanah. Itu tentu sebuah kebohongan dari klaim yang selama ini mereka kampanyekan, meski mem-privatisasi sumber daya alam bagi kebutuhan primer bersama itu sendiri merupakan ‘kejahatan’. Sesuatu yang awalnya (seharusnya) gratis (cuma-cuma) lalu diprivatisasi (dikapitalisasi) oleh swasta.
Zaman kita saat ini, yang mereka sebut sebagai zaman modern, sesungguhnya era paradoks dan kebodohan manusia. Berpikir dan bertindak manusia digerakkan rasionalitas instrumental yang spiritnya adalah kerakusan-keserakahan dan egoisme individualis. Kita yang sesungguhnya diwarisi kearifan lokal yang lebih bijak dan selaras, justru ikut-kutan mengadopsi paradoks dan kebodohan tersebut.
Sebagai contoh dampak dari paradoks dan kebodohan itu adalah kita menciptakan kelangkaan bagi sumber daya alam bagi kebutuhan dasar kita, semisal air yang merupakan elemen dan unsur paling dasar yang akan membuat kita bertahan hidup dan lestari. Perlu diketahui, manusia setiap harinya membutuhkan berliter-liter air –kandungan air dalam tubuh manusia sekira 60 persen dari total berat badan itu sendiri. Manusia bisa bertahan hidup berhari-hari tanpa makan selagi tetap mengkonsumsi air, tapi tidak bisa bertahan hidup berhari-hari tanpa air. Ironisnya, industrialisasi dan perusakan lingkungan, seperti penggundulan hutan, perusakan bukit dan gunung, aktivitas pertambangan, dan yang sejenis itu semua, justru yang menciptakan kelangkaan air yang layak dan sehat untuk dikonsumsi manusia, selain menciptakan bencana alam, seperti banjir dan perubahan iklim.
Yang tak kalah ironis, klaim pembangunan yang dikampanyekan para elit, demi memuluskan ekstraksi (pengerukan atau eksploitasi sumber daya alam) kerapkali hanya dalih pembenaran yang menguntungkan segelintir korporat yang menjadi sangat kaya dari pengerukan atau eksploitasi sumber daya alam, namun masyarakat tetap miskin dan dirusak pula ekologi dan lingkungan hidup mereka, ekologi dan lingkungan hidup kita, yang mestinya diwariskan kepada anak-anak cucu kita, kepada generasi mendatang. Dan sudah tentu, yang menyedihkan, keuntungan dari pengerukan atau eksploitasi justru lebih besar bagi korporasi-korporasi asing (dan elit lokal) di saat mereka mewariskan kelangkaan sumber daya untuk kelestarian hidup manusia, selain kerusakan ekologi (lingkungan), yang pada akhirnya akan berdampak pada ancaman bagi kelangsungan hidup kita (manusia) itu sendiri.
Dalam publikasinya pada 7 Agustus 2021, Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) mengungkapkan bahwa penyebab utama dari ancaman global dan krisis iklim yang mewabahi dunia kita saat ini berasal dari aktivitas manusia yang telah memanaskan atmosfer, lautan dan daratan. Telah terjadi perubahan luas dan cepat di atmosfer, laut, kriosfer dan biosfer. Penyumbang perubahan (peningkatan) suhu tersebut diantaranya adalah emisi gas rumah kaca, aerosol dan prekursornya –salah-satunya perubahan penggunaan lahan. Dampak dari itu semua contohnya adalah peningkatan permukaan laut rata-rata global, peningkatan frekuensi gelombang panas dan kekeringan secara global –banjir dan kebakaran, dan lainnya yang belum terprediksi.
Lalu ada juga kampanye dan gerakan menuju energi terbarukan berkelanjutan ramah lingkungan, tapi lagi-lagi proses pengadaan dan proses produksinya merusak lingkungan, seperti membabat jutaan hektar hutan yang merupakan tabung air dan paru-paru kehidupan. Siapa yang untung? Siapa lagi kalau bukan segelintir elite yang acapkali mengkampanyekan jargon pembangunan dan kemajuan demi keuntungan mereka. Bekerjasama dengan pemerintah (Negara), mereka mendapatkan hak eksclusif yang didukung regulasi dan undang-undang yang juga dibuat para elit yang mendapatkan jatah (keuntungan) pula. Rakyat hanya dijadikan ’legitimasi’ kosong belaka, untuk tidak dibilang Negara telah dibajak segelintir elit dan korporasi, jika bukan Negara itu sendiri telah diubah menjadi korporasi.
Sudah pasti, Sumber Daya Alam (SDA) utama yang rusak dan tercemar akibat pertambangan, limbah industri, aktivitas rumah tangga dan yang lainnya adalah air. Padahal air merupakan kebutuhan primer hidup keseharian manusia (dan juga makhluk dan ekologi) yang paling penting dan pembentuk utama kehidupan itu sendiri. Kenyataan yang perlu diketahui adalah ketersediaan air tawar tidak pernah bertambah, di saat laju populasi manusia terus bertambah. Pencemaran air hingga saat ini menjadi masalah yang belum sepenuhnya teratasi dengan baik, yang akan berdampak pada menurunnya kualitas kesehatan manusia itu sendiri. Sebagai contoh, gangguan kesehatan akut (berbahaya) akan timbul dari air yang tercemar B3 seperti nitrat, deterjen, fosfat, virus, bakteri dan lainnya. Keserakahan dan kerakusan segelintir orang, juga aktivitas kita sendiri, yang mencemari dan merusak air yang pada akhirnya akan merusak kita sendiri.
Kita harus mengoreksi paradigma ideologi pertumbuhan dalam pembangunan dan ekonomi, ketika aktivitas korporasi dan privatisasi menghancurkan kehidupan itu sendiri. Ketika pembangunan dan aktivitas privatisasi dan korporasi demi keuntungan sepihak segelintir elit mengorbankan kelestarian lingkungan tempat kita hidup, deteriorasi (rusak dan memburuknya) ekologi, penyusutan sumber daya alam (SDA) yang sangat vital bagi kebutuhan dasar hidup kita seperti air, menciptakan kesenjangan sosial dan ketergantungan yang tidak sehat, seperti miskinnya masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan pertambangan di saat lingkungan tempat mereka tinggal pun tercemar dan rusak, yang akan mengancam kesehatan mereka, dan sudah tentu menghancurkan kualitas harapan hidup mereka. Karena pada kenyataannya seringkali isu pemerataan hanya slogan yang tidak pernah terbukti. Yang ada adalah masih tingginya praktik korupsi gila-gilaan para elit dan korporat (entah BUMN atau pun swasta).
Kita harus insyaf, ketika resapan air berkurang dan rusak, maka berkurang dan mati pula mata-air itu sendiri. Karena bagaimana mungkin ada mata-air jika tabung air dan air-nya sendiri sudah rusak dan hilang. Diantara yang turut merusak itu adalah alih-fungsi lahan yang kaya air menjadi industri atau hunian, termasuk juga karena perluasan industri pariwisata serta privatisasi air oleh perusahaan daerah, Negara atau pun swasta. Eksploitasi sumber daya air yang tidak bijak dan tidak berkelanjutan akan berdampak rusak dan berkurangnya sumber daya air itu sendiri, seperti menurunnya debit air tanah yang pada akhirnya berdampak pula pada menurunnya permukaan tanah.
Masyarakat-masyarakat tradisional atau komunitas-komunitas adat di bangsa kita sesungguhnya lebih arif dan lebih memiliki wawasan konservasi ekologi, termasuk berkenaan dengan sumber daya air, semisal masyarakat dan komunitas ada Kanekes (Baduy) Banten yang tidak membolehkan penggunaan sabun (deterjen) atau shampoo yang akan mencemari keaslian atau kemurnian air, termasuk air sungai yang mengalir, yang memang jika sungai tercemar, maka yang akan terdampak adalah setiap yang dilalui alirannya. Pada tingkatan yang lebih jauh, masyarakat-masyarakat tradisional atau komunitas-komunitas adat di bangsa kita juga meng-keramat-kan sungai dan hutan. Sayangnya saat ini, masyarakat tradisional dan komunitas-komunitas adat di bangsa kita itu sendiri sudah banyak digusur dan diusir atas nama pembangunan, dari mulai kepentingan pertambangan, infrastruktur hingga perkebunan jutaan hektar yang membabat hutan dalam skala yang luar biasa sangat luas.
Kerakusan dan keserakahan elit-korporat modern kita saat ini persis seperti kisah mitologis (cerita rakyat) masyarakat Aborigin tentang seekor katak bernama Tiddalick yang telah menyebabkan peristiwa banjir besar. Dikisahkan bahwa jika Tiddalick sangat haus ia meminum semua air di dunia ini untuk dirinya sendiri, yang menyebabkan kekeringan. Pada saat itulah, binatang-binatang lainnya meminta si kata bernama Tiddalick itu menyerahkan sebagian airnya, karena mereka kehausan. Agar keinginan para binatang itu terpenuhi, seekor belut pun mulai melakukan tarian lucu di depan si katak bernama Tiddalick demi membuatnya tertawa. Sialnya, saat mulut Tiddalick terbuka, saat semua air dari mulutnya keluar, yang terjadi adalah banjir yang menewaskan banyak makhluk yang ada di sana. Hikayat mitologis (cerita rakyat) Aborigin itu sangat pas dan persis sekali menggambarkan keserakahan bisnis dan korporasi, tidak terkecuali juga Negara, yang menghancurkan alam dan lingkungan hidup yang justru akan menghancurkan kita sebagai manusia.
Sulaiman Djaya, Peminat Kajian Kebudayaan
























