Jakarta, LIPUTAN 9 NEWS
Para sahabat, salafus shalih, ulama dan seluruh umat sepakat (kecuali syi’ah) bahwa khilafah ‘ala Minhajin Nubuwwah adalah ke-khilafah-an pasca meninggalnya Nabi Muhammad saw yang dipimpin oleh Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali.
Pada pemerintahan Khilafah ‘ala Minhajin Nubuwwah, seorang Khalifah dibai’at setelah dilakukan pemilihan (musyawarah) yang dilakukan secara bebas tanpa paksaan (ridla wal ikhtiar) oleh umat atau yang mewakilinya (ahlu halli wal aqdi). Meski cara dan teknis (uslub) musyawarahnya berbeda-beda, keempat Khalifah tersebut mendapat mandat kekuasaan setelah proses pemilihan dan mendapatkan suara terbanyak (mayoritas).
Sehingga bai’at menjadi sebab dan tanda penyerahan kekuasaan dari umat kepada calon Khalifah untuk menjadi Khalifah. Calon khalifah dipilih dan diangkat dari kader terbaik umat saat itu (Abu Bakar, Umar, Usman, Ali). Bukan dari kader terbaik dari suatu suku, kabilah atau golongan.
Adapun khilafah yang diperjuangkan HTI adalah Khilafah Tahririyah ‘ala Minhajin Nabhaniyah yakni suatu konsep negara versi Hizbut Tahrir hasil konstruksi pemikiran (ijtihad) Taqiyuddin an-Nabhani.
Pilar-pilar dari Khilafah Tahririyah yaitu:
- Khilafah didirikan dengan cara kudeta (thalabun nushrah) oleh dewan jenderal.
- Calon khalifah dipilih dari kader terbaik Hizbut Tahrir yakni Amir Hizbut Tahrir. Amir Hizbut Tahrir adalah calon Khalifah yang menerima kekuasaan dari dewan jenderal hasil kudeta.
- Undang-undang Dasar (UUD) yang disusun Amir Hizbut Tahrir menjadi konstitusi negara.
- Undang-undang dirancang berdasarkan pemikiran dan ushul fiqih madzhab Tahririyah.
Khilafah Tahririyah tidak pernah disebut di dalam al-Qur’an, hadits Nabi saw, ijma sahabat dan aqwal ulama. Tidak ada indikasi dari makna hadits-hadits tentang bisyarah nubuwwah yang menunjuk kepada Khilafah Tahririyah. Khilafah Tahririyah ini ide baru, tidak ada di zaman Nabi saw, sahabat dan salafus shalih.
Berbeda dengan khilafah ‘ala minhajin nubuwwah, Khilafah Tahririyah berdiri tanpa melalui proses pemilihan khalifah secara jujur, adil, terbuka dalam satu proses musyawarah. Khilafah Tahririyah tegak setelah terjadi kudeta oleh dewan jenderal yang sudah dikader oleh Hizbut Tahrir melalui Lajnah Thalabun Nushrah. Kemudian kekuasaan itu diserahkan kepada Amir Hizbut Tahrir. Lalu, umat diarahkan, diminta dan dipaksakan agar membai’at Amir Hizbut Tahrir menjadi Khalifah kaum muslimin.
Metode ini telah menghilangkan proses musyawarah (pemilihan). Tidak terjadi penyerahan mandat dari umat kepada calon Khalifah secara sukarela. Hizbut Tahrir secara sepihak menetapkan Amir mereka sebagai Khalifah kemudian meminta umat membai’atnya di bawah bayang-bayang todongan senjata dari pasukan yang dipegang masing-masing jenderal anggota dewan jenderal.
Skenario Hizbut Tahrir ini persis yang skenario yang dilakukan Mu’awiyah ketika meminta bai’at kepada umat atas ke-Khalifah-an anaknya, Yazid yang menjadi tonggak berdirinya khilafah Umayyah.
Pada masa Khulafaur Rasyidin semua Khalifah tidak pernah mencalonkan diri sebelumnya. Mereka tidak membentuk tim sukses apalagi partai politik agar menjadi Khalifah. Mereka juga tidak melakukan kampanye agar dipilih menjadi Khalifah.
Lain halnya dengan Hizbut Tahrir. Hizbut Tahrir sebagai partai politik sekaligus tim sukses Amir mereka untuk menjadi Khalifah. Mereka juga melakukan serangan-serangan opini untuk mendelegitimasi pemerintah pada saat yang sama melakukan infiltrasi ke tubuh TNI-Polri dalam rangka mendapat dukungan dan perlindungan serta mencari jalan meraih kekuasaan.
Apa yang dilakukan oleh Hizbut Tahrir ni mirip dengan gerakan politik al-Saffah ketika meruntuhkan Khilafah Umayyah lalu mendirikan Khilafah Abbasiyah di atas puing-puingnya.
Khilafah Tahririyah juga berbeda dengan Khilafah ‘ala Minhajin Nubuwwah dari sisi penetapan Amir Hizbut Tahrir sebagai Khalifah dan Undang-undang Dasar susunannya sebagai konstitusi negara oleh Hizbut Tahrir. Penetapan ini memang hak Hizbut Tahrir, namun ini aksi sepihak, bertentangan dengan dalil syara’ yakni al-Qur’an, hadits dan ijma sahabat, ijma ulama dan ijma umat.
Penetapan sepihak yang pernah dilakukan oleh kaum Anshor ketika mereka menetapkan figur terbaik mereka yakni Saad bin Ubadah sebagai khalifah pengganti Rasulullah Saw.
Penetapan ini dianulir oleh Umar bin Khaththab dan didiamkan (disetujui) oleh para sahabat yang hadir di Saqifah Bani Saidah. Kemudian mereka melakukan pemilihan ulang Khalifah. Akhirnya terpilih Abu Bakar sebagai khalifah.
Abu Bakar meskipun sahabat terbaik Nabi Saw dan kader terbaik umat saat itu, tetapi tidak pernah ditetapkan oleh Nabi Saw sebagai khalifah pengganti Beliau Saw.
Berbeda dengan Khilafah Tahririyah yang mengadopsi rancangan UUD hasil pikiran Amir Hizbut Tahrir, Khulafaur Rasyidin dalam mengatur urusan umat berdasarkan ijtihad politik yang mereka anggap kuat kebenarannya.
Jadi kesimpulannya, Khilafah Tahririyah bukan Khilafah ‘ala Minhajin Nubuwwah seperti yang ada di dalam hadits-hadits Nabi saw. Bahkan Khilafah Tahririyah bertolak belakang dengan Khilafah ‘ala Minhajin Nubuwwah. Karena dari segi metode perjuangan, Hizbut Tahrir mirip dengan al-Saffah ketika mendirikan Khilafah Abbasiyah. Sedangkan dari aspek bai’at, Hizbut Tahrir seperti Khilafah Umayyah.
Ayik Heriansyah, Aktivis kontra terorisme dan radikalisme, Mahasiswa Kajian Terorisme SKSG UI, dan Direktur Eksekutif CNRCT, Penulis artikel produktif yang sering dijadikan rujukan di berbagai media massa, pemerhati pergerakkan Islam transnasional, khususnya HTI yang sempat bergabung dengannya sebelum kembali ke harakah Nahdlatul Ulama. Kini aktif sebagai anggota LTN di PCNU Kota Bandung dan LDNU PWNU Jawa Barat.