Puisi Sapardi “Aku Ingin” mungkin satu-satunya ungkapan yang mewakili suara hati seluruh warga Nahdliyyin biasa, orang bawahan, ketika gejolak internal meningkat namun tidak mampu berbuat apa-apa. Ketika cita-cita indah dan mimpi setinggi langit bukan saja mendorong tepuk tangan melainkan juga gosip-gosip pinggiran.
Siapa yang tidak bangga, ketika Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH. Yahya Cholil Staquf, memodernisasi Jam’iyyah dengan melakukan terobosan-terobosan besar; membangun visi keumatan yang berpijak pada tiga fondasi; intelektualisme, teknokratisme, dan kesejahteraan. Jam’iyyah yang dulu mungkin dilabeli tradisional segera mungkin akan bertransformasi menjadi profesional.
Jauh melebihi ekspektasi, Gus Yahya (panggilan akrab Ketum PBNU) tidak semata-mata menempuh “inward looking strategy”. Nyatanya, Gus Yahya merintis “outward looking strategy” yang berorientasi peradaban dan perdamaian abadi. Isu-isu global menjadi pentas bagi narasi-narasi idealisme NU, termasuk isu resolusi bagi konflik Israel-Palestina, peran agama bagi perdamaian dunia, bahkan isunya Gus Yahya akan menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika-Amerika Latin di tahun 2024 ini.
Pemerintah di masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo tampaknya memberikan support besar terhadap langkah-langkah Gus Yahya, dimulai dari memberikan panggu R20 (Religion Twenty) 2023 di Bali, sehingga PBNU dan Indonesia bisa disebut bergandengan tangan dalam membangun masa depan dunia yang lebih baik. Karena PBNU, Indonesia melahirkan optimisme bagi negara-negara di dunia. Bahkan, paska R20, India memilih mereduksi tensi ketegangan antara muslim dan Hindu.
Goresan Luka di Internal
Tak ada gading yang tak retak, kata pepatah. “Inward-Outward Looking Strategies” Gus Yahya menyisakan celah-celah bagi kontroversi. Kasus terkini yang lagi hangat-hangatnya upaya “pembersihan” pada masalah-masalah organisasi, seperti pembekuan beberapa cabang dan wilayah, atau bahkan pemecatan beberapa pengurus NU yang dianggap tidak sejalan dengan visi besar Gus Yahya sebagai Ketum PBNU. Tragisnya, isu lokal ini dimobilisir sehingga mencuat dalam narasi nasional, yaitu bola liar desakan untuk Muktamar Luar Biasa (MLB).
Dalam konteks “inward looking strategy”, manajemen organisasi memang menuntut upaya-upaya penertiban terhadap anggota yang mungkin keluar dari garis besar haluan organisasi. Punishment dan reward bukan sesuatu yang aneh dalam manajemen organisasi, yang ingin memperbaiki administrasi dirinya sendiri. Bahkan, terlalu banyak contoh pemimpin-pemimpin negara maju yang tidak segan-segan menjatuhkan hukuman demi stabilitas institusi. Pembekuan dan pemecatan sebagai hukuman bisa dimaklumi demi kepentingan yang lebih besar.
Masalahnya mungkin terletak pada dimensi komunikasi yang belum terselesaikan. Warga dan pengurus NU mungkin belum sepenuhnya memahami bahwa setiap individu harus memiliki inisiatif merekat diri satu sama lain, sehingga tercipta keutuhan dan kekompakan berorganisasi. Prinsip “inward-looking” harus tertanam dalam alam sadar setiap warga, lebih-lebih pengurus, NU. Sehingga persatuan dan kekompakan bukan lagi seruan moral melainkan kebutuhan setiap pihak.
Kesadaran akan pentingnya kekompakan seluruh warga Nahdliyyin adalah batu loncatan keberhasilan “outward-looking”. Cita-cita dan usaha membangun peradaban dunia yang damai, tanpa konflik dan kekerasan, hanya akan berhasil apabila di internal Nahdliyyin sendiri telah tercipta harmoni, baik antar pengurus maupun antar warga NU. Sebaliknya, tanpa soliditas internal NU, mimpi menciptakan peradaban masa depan yang lebih baik akan berubah menjadi angan-angan kosong.
Mencintai dengan Diam
Bagi warga NU biasa, seperti penulis, memang tidak banyak yang bisa dilakukan untuk mengakhiri kemelut internal di tubuh NU dan mewujudkan cita-cita ideal membangun peradaban dunia. Namun begitu, walaupun tidak memiliki kekuatan “tangan” dan kekuatan “lidah”, masih ada kekuatan “hati” yang tersisa, yaitu sebaik doa yang bisa dipanjatkan dan seberkas komitmen dalam hati untuk memperbaiki diri sendiri. Berkomitmen untuk mendoakan agar segala niatan baik para pengurus NU, baik kepentingan internal maupun kepentinga dunia, membuahkan hasil manis; berkomitmen untuk mengajak semua pihak mengakhiri kontroversi yang berpotensi menciptakan konflik internal berkepanjangan.
Sebagai warga NU biasa yang tidak punya hak suara di tengah perdebatan antara kubu yang pro dan yang kontra terhadap Gus Yahya, mencintai NU dengan diam mungkin pilihan terbaik. Berpendapat dan berekspresi yang bias tidak akan menghasilkan kebaikan apapun, dan jauh panggang dari api untuk meredamkan ketegangan yang semakin memanas akhir-akhir ini. Mencintai dengan diam berarti berharap sepenuh hati agar seluruh warga NU bisa menampilkan diri sebagai pembawa kedamaian batin maupun lahiriah. Bukan memperpanjang kontroversi yang tidak produktif.
Imam Nawawi, Pemerhati Sosial Keagamaan