BONDOWOSO | LIPUTAN9NEWS
Saat saya mengajar baik disekolah maupun dikampus selalu minta pertanyaan kepada murid dan mahasiswa untuk mengukur sampai dimana mereka menyerap materi yang saya sampaikan. Begitu juga, saat saya mengajar dan mendidik anak dirumah, jarang melempar pertanyaan pada mereka untuk dijawab, justru malah saya memintanya untuk mengajukan pertanyaan untuk menguji pemahaman mereka dalam menangkap keterangan saya.
Well, metode itu saya lakukan secara sistematis dimana setiap anak datang dari sekolah, saya selalu menanyakan berapa pertanyaan yang ditanyakan pada gurunya hari ini? Iapun menjawab, ada dua pertanyaan. Kali ini, saya buat lebih sistematis lagi, dimana setiap pertanyaannya ditulis dan pertanyaan itu diajukan pada guru siapa, untuk mengukur sejauh mana ia menyerap materi pelajaran disekolah.
So, sekolah sering kali menilai anak dari seberapa cepat mereka bisa menjawab pertanyaan, bukan seberapa dalam mereka bisa mempertanyakannya. Padahal, menurut penelitian Harvard Graduate School of Education, anak-anak yang sering bertanya memiliki perkembangan kognitif dan kreativitas lebih tinggi dibanding anak yang hanya menerima informasi secara pasif. Pertanyaan adalah tanda kehidupan intelektual; jawaban hanyalah titik berhenti sementara dari rasa ingin tahu.
Di rumah, banyak orang tua justru merasa terganggu ketika anaknya terlalu banyak bertanya. Padahal di sanalah letak emasnya. Anak yang gemar bertanya sedang melatih logikanya, sedang membangun jembatan antara pengetahuan dan pemahaman. Dunia tidak maju karena orang yang tahu jawaban, tetapi karena orang yang berani mempertanyakan kenapa jawabannya seperti itu.
1. Pertanyaan Adalah Awal dari Berpikir Kritis
Kemampuan bertanya adalah akar dari berpikir kritis. Anak yang terbiasa bertanya tidak puas dengan permukaan. Ia ingin tahu alasan di balik setiap hal, dan inilah yang membedakan pemikir dari pengikut. Ketika seorang anak bertanya “Kenapa langit biru?” ia tidak hanya ingin tahu warna, tapi sedang belajar mengaitkan sebab dan akibat, logika dan fenomena.
Di sinilah pendidikan sering gagal: ia menjawab terlalu cepat. Anak yang tak diberi ruang bertanya akhirnya belajar untuk diam. Padahal, setiap pertanyaan adalah latihan berpikir. Di LogikaFilsuf, kami membahas bahwa budaya bertanya adalah akar dari logika dan filsafat. Bertanya bukan sekadar ingin tahu, tapi upaya memahami dunia dengan cara yang lebih bermakna.
2. Anak yang Bertanya Belajar Mengorganisir Pikiran
Untuk bisa bertanya dengan baik, seseorang harus berpikir terstruktur. Ia harus tahu apa yang sudah ia ketahui dan apa yang belum. Anak yang bisa menyusun pertanyaan berarti sedang melatih kesadaran berpikir, atau dalam psikologi disebut metakognisi.
Misalnya, saat anak bertanya “Kenapa tanaman butuh cahaya?” itu tanda bahwa ia sudah memahami sebagian konsep fotosintesis dan ingin melengkapinya. Setiap pertanyaan adalah langkah dalam membangun peta pengetahuan di kepalanya sendiri. Anak yang tahu cara bertanya, tahu cara belajar.
3. Bertanya Melatih Keberanian Intelektual
Di banyak budaya, bertanya dianggap tidak sopan. Anak didorong untuk diam dan menerima. Akibatnya, kita melahirkan generasi yang takut salah. Padahal, keberanian untuk bertanya adalah keberanian untuk berpikir. Bertanya berarti menantang otoritas pengetahuan, bukan untuk membantah, tapi untuk memahami lebih dalam.
Anak yang berani bertanya sedang membangun kepercayaan diri intelektual. Ia belajar bahwa tidak tahu itu bukan kelemahan, tapi langkah pertama menuju tahu. Dan ini jauh lebih berharga daripada anak yang sekadar bisa mengulang jawaban dari buku.
4. Pertanyaan yang Baik Lebih Sulit dari Jawaban yang Benar
Menjawab berarti mengingat, tapi bertanya berarti memahami. Untuk bisa mengajukan pertanyaan yang tajam, seseorang harus terlebih dahulu memahami konteksnya. Anak yang bertanya “Bagaimana jika gravitasi tidak ada?” menunjukkan bahwa ia sudah paham konsep gravitasi dan berani bereksperimen dengan ide.
Dalam dunia riset dan inovasi, pertanyaan yang bagus sering kali lebih bernilai daripada jawaban. Karena dari satu pertanyaan bisa lahir ratusan penemuan baru. Maka, tugas pendidikan bukan menyiapkan anak agar selalu tahu, tapi agar selalu ingin tahu.
5. Bertanya Mengaktifkan Otak Kreatif dan Logis Sekaligus
Anak yang sering bertanya mengaktifkan dua sisi otaknya: yang kreatif dan yang analitis. Pertanyaan membuka ruang untuk eksplorasi ide, sedangkan mencari jawabannya menuntut ketelitian dan logika. Kombinasi ini membentuk keseimbangan antara imajinasi dan rasionalitas.
Sebagai contoh, ketika anak bertanya “Bagaimana kalau hujan turun ke atas?”, ia sedang menantang hukum alam dengan imajinasi. Orang tua yang bijak tidak langsung menertawakan, tapi membimbingnya mencari jawaban ilmiah. Dari situ, logika dan kreativitas tumbuh bersama, bukan saling meniadakan.
6. Anak yang Bertanya Lebih Mandiri dalam Belajar
Bertanya membuat anak aktif mencari tahu sendiri. Ia tidak menunggu diajari, tapi mencari penjelasan. Ini membentuk kebiasaan belajar seumur hidup, atau yang disebut self-directed learning. Dalam dunia yang berubah cepat, kemampuan ini jauh lebih penting daripada sekadar menguasai satu bidang.
Misalnya, anak yang tertarik pada langit malam akan bertanya tentang bintang, lalu membaca, menonton video, bahkan mengamati sendiri. Proses belajar seperti ini jauh lebih kuat karena lahir dari rasa ingin tahu, bukan dari perintah. Dan di titik itulah pendidikan sejati dimulai.
7. Pertanyaan Menumbuhkan Kerendahan Hati Intelektual
Anak yang berani bertanya tahu bahwa ia belum tahu segalanya. Kesadaran akan keterbatasan pengetahuan adalah ciri orang bijak. Anak yang selalu punya jawaban cepat justru rawan terjebak dalam arogansi intelektual. Sebaliknya, anak yang terus bertanya belajar untuk terbuka, mendengar, dan merevisi pandangannya.
Dalam kehidupan sosial, sikap ini menjadikannya lebih adaptif dan empatik. Ia tidak terburu-buru menilai, tapi mencari pemahaman. Dan dari sinilah lahir kepribadian yang matang secara moral dan intelektual.
Anak yang tahu cara bertanya akan tumbuh menjadi manusia yang berpikir. Ia tidak puas dengan jawaban siap saji, karena ia tahu bahwa setiap jawaban baru hanyalah pintu menuju pertanyaan berikutnya.
Apakah kamu setuju bahwa pendidikan kita terlalu sibuk memberi jawaban, tapi jarang mengajarkan cara bertanya? Tulis pendapatmu di kolom komentar dan bagikan tulisan ini agar lebih banyak orang tua dan guru menyadari nilai besar dari satu pertanyaan kecil
Ada pepatah yang mengatakan,
“Malu bertanya, sesat di jalan”. Mungkin kata-kata ini sangat tepat untuk menggambarkan betapa pentingnya bertanya pada orang yang lebih tahu tentang ilmu pengetahuan dan suatu pengalaman. Tanpa bertanya, maka selama-lamanya tidak akan tahu, dan dengan bertanya, maka segala yang tidak diketahui akan menjadi tahu.
Namun tidak hanya tentang itu, bertanya juga harus pada orang yang tepat agar jawaban yang didapat tidak sesat. Kita tidak diperbolehkan bertanya pada sembarang orang yang tidak memiliki kompeten perihal apa yang ditanyakan, tidak menguasai materi yang ditanya, atau juga tidak memiliki pengalaman sama sekali tentang apa yang sedang dihadapi.
Nah, berikut ini penulis akan menjelaskan tafsir surat Al-Anbiya ayat 7, yang menjelaskan tentang keharusan bertanya pada orang-orang yang memiliki kompetensi perihal apa yang ditanyakan. Dalam Al-Qur’an Allah swt berfirman:
وَما أَرْسَلْنا قَبْلَكَ إِلاَّ رِجالاً نُوحِي إِلَيْهِمْ فَسْئَلُوا فَاسْأَلُواْ أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
Artinya, “Dan Kami tidak mengutus (rasul-rasul) sebelum engkau (Muhammad), melainkan beberapa orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka, maka tanyakanlah kepada orang yang berilmu, jika kamu tidak mengetahui.”
Imam Abu Abdillah Syamsuddin al-Qurthubi (wafat 671 H) dalam kitab tafsirnya menjelaskan bahwa ayat ini diturunkan Allah sebagai jawaban atas argumentasi orang-orang kafir yang meragukan kenabian Nabi Muhammad dan menyangsikan kerasulannya. Mereka menganggap bahwa nabi itu harus dari golongan para malaikat, bukan manusia biasa sebagaimana Nabi Muhammad.
Argumentasi tersebut kemudian mendapatkan respon dari Allah swt berupa ayat ini, sebagai perbandingan antara Nabi Muhammad dengan nabi-nabi sebelumnya, di mana para nabi sebelumnya juga sama sepertinya. Mereka sama-sama manusia biasa, bukan dari kalangan malaikat. Hanya saja Allah memberikan mereka wahyu untuk disebarkan dan diajarkan kepada umatnya.
Penyebutan beberapa laki-laki (illa rijâlan) adalah untuk menunjukkan bahwa para nabi terdahulu juga manusia sebagaimana Nabi Muhammad. Hanya saja, yang membedakan dari manusia pada umumnya adalah para nabi oleh Allah diberi wahyu sedangkan manusia selain nabi tidak.
Dengan demikian, ayat ini menegaskan bahwa para nabi bukanlah malaikat, karena disebutkan dengan kata laki-laki, yang menunjukkan bahwa mereka berasal dari jenis manusia. (Imam al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, [Riyadh, Daru Alimil Kitab: 2003], juz XI, halaman 272).
Mengutip tulisan Sunnatullah dalam tulisannya yang mengatakan bahwa setelah Allah membantah argumentasi orang kafir Quraisy yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad harus berasal dari golongan malaikat, Allah juga menegaskan untuk bertanya kepada ahlad dzikri, yaitu para ahli Taurat dan Injil (Yahudi dan Nasrani) yang telah beriman kepada Nabi Muhammad.
Hal itu karena mereka benar-benar paham dan tahu betul tentang kisah para nabi terdahulu yang belum dikenal oleh bangsa Arab. Pendapat ini sebagaimana disebutkan oleh Syekh Muhammad Sayyid at-Thanthawi dalam kitab tafsirnya, ia mengatakan:
يُرِيْدُ أَهْل التَّوْرَاةِ وَالْإِنْجِيْلِ الَّذِيْنَ آمَنُوْا بِالنَّبِى وَسَمَّاهُمْ أَهْلَ الذِّكْرِ، لِأَنَّهُمْ كَانُوْا يَذْكُرُوْنَ خَبَرَ الْأَنْبِيَاءِ مِمَّا لَمْ تَعْرِفْهُ الْعَرَبُ
Artinya, “Yang dikehendaki (dari ahlidz-dzikri) adalah ahli Taurat dan Injil yang telah beriman kepada Nabi Muhammad saw. Mereka disebut ahludz-dzikri karena mereka tahu tentang sejarah para nabi terdahulu, yang tidak diketahui oleh orang-orang Arab.” (Syekh at-Thanthawi, Tafsir al-Wasith lil Qur’anil Karim, [Mesir, Daru Nahdlah: tt], halaman 2883).
Sedangkan tujuan Allah menyuruh orang kafir Quraisy untuk bertanya kepada mereka (umat terdahulu), tujuannya tidak lain agar keraguan-keraguan dalam diri mereka hilang, dan agar benar-benar yakin bahwa utusan Allah yang diberi wahyu merupakan manusia, bukan malaikat sebagaimana yang mereka yakini.
فَاللهُ يَأْمُرُهُمْ أَنْ يَسْأَلُوْا عُلَمَاءَ الْكُتُبِ السَّابِقَةِ عَنْ حَالِ الرُّسُلِ الْمُتَقَدِّمَةِ لِتَزُوْلَ عَنْهُمُ الشُّبْهَةُ وَلِيَعْلَمُوْا أَنَّ رُسُلَ اللهِ الْمُوْحَى إِلَيْهِمْ كَانُوْا بَشَرًا وَلَمْ يَكُوْنُوْا مَلاَئِكَةً كَمَا اعْتَقَدُوْا
Artinya, “Allah memerintahkan mereka (kafir Quraisy) untuk bertanya kepada ahli kitab terdahulu tentang para rasul terdahulu agar keraguan hilang dari mereka, dan juga agar mereka tahu bahwa utusan Allah yang diutus kepada mereka juga manusia, bukan malaikat sebagaimana yang mereka yakini.” (Syekh Wahbah Zuhaili, Tafsir al-Munir fil Manhaj was Syari’ah wal Manhaj, [Damaskus, Darul Fikr: 1418], juz XVII, halaman 19).
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa perintah untuk bertanya kepada ahlud-dzikri (ahli Taurat dan Injil) seperti Waraqah bin Naufal dan lainnya, hanya bagi orang-orang yang meyakini bahwa Nabi Muhammad harus berasal dari golongan malaikat, bukan manusia. Tentu ini bukan pertanyaan yang berkaitan dengan hukum Islam, aqidah, dan lain sebagainya, tetapi hanya fokus pada kemanusiaan para nabi terdahulu, bahwa mereka juga manusia bukan malaikat.
Sementara itu, menurut Imam Abu Abdillah Syamsuddin al-Qurthubi (wafat 671 H) dalam kitab tafsirnya, dengan mengutip pendapat Ibnu Zaid, mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ahlud-dzikri dalam ayat di atas adalah orang-orang yang paham betul pada Al-Qur’an,
قَالَ ابْنُ زَيْدٍ: أَرَادَ بِالذِّكْرِ الْقُرْآنَ؛ أي فَاسْأَلُوْا الْمُؤْمِنِيْنَ الْعَالِمِيْنَ مِنْ أَهْلِ الْقُرْآنِ
Artinya, “Ibnu Zaid berkata: yang dimaksud kata dzikri adalah Al-Qur’an; maksudnya, maka tanyakanlah kepada orang-orang mukmin berilmu dari ahli Al-Qur’an.” (Imam al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, [Riyadh, Daru Alamil Kutub: tt], juz XI, halaman 272).
Dari beberapa penjelasan ini, dapat diketahui betapa Al-Qur’an benar-benar menjaga kompetensi setiap orang. Mereka yang tidak paham betul tentang suatu materi, maka kita tidak bertanya kepadanya. Kita harus benar-benar tepat dalam mencari sosok seorang guru untuk mengambil ilmu kepadanya. Karena itu, ketika berhubungan dengan status kemanusiaan nabi, Allah memerintahkan manusia untuk bertanya kepada ahli kitab yang tahu betul bahwa para nabi terdahulu juga manusia biasa yang diberi wahyu oleh Allah swt.
Salam akal sehat, Kafe Maharani, 18 Agustus 2025
Dr. KHM. Saeful Kurniawan, MA,Pendakwah dan Penulis
























