Resensi Buku
Judul Buku : Kronik Juang MWCNU
Penulis : Ahmad Rofiq, Syafi` Jamhari, dkk
Kata Pengantar : Prof. Dr. KH. Moh. Ali Aziz, M.Ag
Penerbit : LTN NU Gresik
Tahun Terbit : Cetakan 1 2025
Tebal : xxiv + 278 halaman
QRCBN : 62-638-1694-603
Dua Universitas terbaik di Inggris, Oxford dan Cambridge University ternyata modelnya sama persis dengan pesantren. Sistem pendidikan yang diterapkan di dua kampus di negeri Ratu Elizabeth itu sama persis dengan sistem pendidikan di pesantren. Jika anda memasuki komplek kedua kampus itu, maka anda tak ubahnya sedang memasuki sebuah pesantren. Di komplek kedua universitas itu anda akan menemukan kumpulan college (asrama) yang tak ubahnya asrama atau komplek di sebuah pesantren.
Di setiap college terdapat sebuah gereja, lecture hall, dining room dan asrama yang diketuai oleh seorang profesor yang paling berpengaruh di college tersebut. Hal itu tak jauh beda dengan asrama atau pondokan santri, masjid, pondokan dan kantin yang diasuh oleh seorang kiai. Ternyata, bukan hanya format dan tampilan fisik saja yang sama. Sistem pendidikan yang diterapkan juga tidak berbeda. Di Oxford dan Cambridge University juga memakai sistem sorogan dan bandongan dalam proses pembelajarannya.
Memang, pesantren adalah salah satu lembaga pendidikan yang unik. Keunikan serta ciri khas itu bukan saja terbatas pada bentuk pakaian yang rata-rata dikenakan para santri dan penghuni lainnya (sarung plus kopiah), tapi juga hal-hal lain semisal manajemen yang diberlakukan dalam pengelolaannya, sistem pendidikan yang digunakan, muatan kurikulum dan lain sebagainya. Pondok pesantren oleh karenanya adalah sebuah institusi pendidikan yang paling dinamis dan khas.
Nurcholish Madjid menyatakan bahwa pesantren adalah satu dari sekian banyak institusi pendidikan yang ikut memberi pengaruh serta menentukan proses pendidikan nasional. Dalam perspektif historis, pesantren tidak hanya identik dengan makna keislaman, tapi juga mengandung makna keaslian Indonesia (indigenous). Hal itu disebabkan bahwa lembaga yang serupa pesantren sudah ada di Nusantara sejak jaman kekuasaan Hindu-Budha. Bila ungkapan ini benar, maka bisa dikatakan bahwa para kiai tinggal meneruskan dan mengislamkan lembaga-lembaga yang sudah eksis sejak lama tersebut.
Keunikan lembaga bernama pesantren ini juga pernah disampaikan Iwan Fals, musisi yang pernah dinobatkan sebagai salah satu orang paling berpengaruh di Asia versi sebuah majalah. Pelantun lagu Bento itu pernah mengadakan tour dari pesantren ke pesantren. Dan ketika dirinya ditanya oleh presenter Metro TV Najwa Shihab tentang kesan yang didapat mengenai pesantren, maka penyanyi yang punya nama lengkap Virgiawan Listanto itu menjawab: “Tak ada lembaga pendidikan yang begitu unik seperti pesantren. Di sana seorang santri tidak saja diajari bermacam ilmu pengetahuan dan teori, tapi mereka juga dibekali dengan ilmu-ilmu untuk ‘hidup’. Ini yang tidak saya temui di tempat atau lembaga pendidikan lainnya.”.
Kita boleh saja tidak setuju dengan pernyataan musisi yang lagu-lagunya melegenda serta mampu melintasi ruang dan waktu itu. Sebab sebagaimana pengakuan Iwan sendiri, ia hanya seorang pengamat, bukan santri dadakan atau seorang peneliti (observer). Tapi yang tak boleh kita lupakan, sejak kecil Iwan Fals adalah orang yang sama sekali tak pernah menjalin keterlibatan emosional dengan ‘pesantren’. Artinya, ia menilai lembaga pendidikan bernama Pondok Pesantren itu benar-benar secara obyektif. Meskipun estimasi Iwan Fals hanyalah kesan, tapi jangan lupa bahwa kesan pertama akan sangat mempengaruhi penilaian seseorang terhadap setiap hal.
Buku ini mengupas sejarah 15 pesantren tua yang ada di Jawa dan Madura. Seperti pesnatren Tegal Sari Ponorogo, Pesantren Tremas di Pacitan, Pesantren Langitan Tuban, Pesantren Sarang Rembang dan lain-lain. Pembahasan dalam buku ini lebih banyak difokuskan pada para pendiri dari pesantren lawas tersebut. Termasuk bagaimana awal mulanya institusi tersebut didirikan.
Buku ini mengajak kita mengulik kisah dan perjuangan 29 tokoh lulusan Pesantren dalam jihad dan mujahadah mereka dalam membidani serta me-nakhodai sebuah organisasi. Lebih tepatnya MWCNU di seluruh pelosok Kabupaten Gresik. Bagaimana mereka di malam hari harus berjalan kaki dari kampung ke kampung dengan alat penerang oncor (obor dari bambu) untuk melakukan konsolidasi. Agar Jamiyah NU bisa eksis sampai ke tingkat kecamatan hingga desa-desa terpelosok.
Diceritakan juga dalam buku ini, bagaimana 29 lulusan Pesantren itu harus menghadapi orang-orang yang tidak suka dengan kehadiran NU di daerah itu, bagaimana mereka harus All in untuk MWCNU, baik dengan harta, tanaga, ilmu, bahkan nyawa. Bahkan salah satu tokoh MWCNU yang ditulis di buku bersampul kuning ini mengalami kebangkrutan dari usaha tenun sarung yang dia miliki demi membiayai perjuangan agama serta organisasi NU tingkat kecamatan yang dia nakhodai.
Melalui buku yang telah di-lanching pada acara Puncak Harlah NU di Kabupaten Gresik ini, kita juga akan lebih memahami bagaimana kesabaran, ketelatenan serta keikhlasan berkorban para kiai dan ulama di pelosok dalam mendirikan, membina serta mengawal Organisasi yang bernama MWCNU itu.
Dengan mengetahui proses berdirinya MWCNU di setiap kecamatan yang ada di Kabupaten Gresik, kita bisa mengambil pelajaran bagaimana seharusnya berdakwah dan berjuang untuk umat lewat jalur organisasi atau jam`iyyah. Cara berdakwah dan berjuang memang banyak, bervariasi dan bermacam-macam. Bisa lewat jalur ekonomi, pendidikan, pelayanan kesehatan dan sebagainya. Namun diakui atau tidak, dakwah dan berjuang lewat jalur pengelolaan organisasi, semisal MWCNU, lebih berbalut banyak resiko dan lebih menantang.
Saat Anda berjuang atau berdakwah lewat jalur pendidikan atau kesehatan misalnya, berbagai label kemuliaan dan aneka penghormatan akan Anda sandang. Dipanggil Pak Ustadz, kesana kemari dihormati dan juga minim pengkritik, pencaci maki serta pembenci. Tapi ber-thoriqoh di jalur pengelolaan organisasi, dalam hal ini MWCNU, Anda harus siap mental bila Anda jadi sasaran kritik, kebencian dan caci-makian. Dari sini kita akan memahami, kenapa khulafaur rasyidin, para kiai sepuh, ulama besar dan sebagainya tidak sedikit yang tetap memilih dakwah dan perjuangan lewat jalur pengelolaan organisasi. Bahkan pengelolaan negara. Sebut sajamisalnya, Abu Bakar As-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Harun Al Rasyid, KH Ahmad dahlan, KH Hasyim Asyari, KH Wahid Hasyim, Gus Dur dan lain-lain.
Buku bersampul kuning ini juga dilengkapi foto para kiai dan tokoh NU yang menjadi obyek pembahasan. Juga ditambahi foro bangunan pesantren, TPQ, kantor MWCNU lawas yang menjadi obyek riset dan penelusuran. Spesial lagi, terdapat foto-foto para penulis saat menemukan makam para nakhoda MWCNU yang perdana itu. Andai buku ini juga menyajikan foto-foto para pelopor MWCNU dari masa ke masa maka buku Kronik Juang MWCNU ini akan semakin lengkap. Namun begitu, buku ini sudah sangat membantu bagi mereka yang haus akan informasi tentang eksistensi organisasi MWCNU di seluruh kecamatan yang ada di Kabupaten Gresik Jawa Timur ini. (AR Zoya).