Sidoarjo | LIPUTAN9NEWS
KH. Muhammad Romly Tamim atau lebih dikenal di masyarakat dengan panggilan Romly Tamim adalah seorang kiai yang berasal dari Bangkalan, Madura serta pengasuh Pondok Pesantren Darul ‘Ulum (Rejoso), Peterongan, Jombang. Ia lahir pada tahun 1888 di Bangkalan Madura.
Muhammad Romly Tamim adalah salah satu putra dari empat putra KH Tamim Irsyad, seorang kiai asal Bangkalan Madura. Keempat putra KH Tamim Irsyad yaitu Muhammad Fadlil, Siti Fatimah, Romly Tamim dan Umar Tamim.
Ketika masih kecil, beliau sudah diboyong oleh orang tuanya KH. Tamim Irsyad ke Jombang. Di masa kecilnya ini beliau belajar ilmu dasar-dasar agama dan Al-Qur’an kepada ayahnya, selain itu juga belajar kepada kakak iparnya yakni KH. Kholil.
Setelah menginjak usia dewasa, beliau dikirim orang tuanya belajar kepada Syaikhona Kholil di Bangkalan. Setelah dirasa cukup belajarnya oleh Syaikhona Kholil di Bangkalan, beliau ditugaskan untuk membantu KH. Hasyim Asy’ari di Pesantren Tebuireng untuk mengajarkan ilmu agamanya. Sampai beliau akhirnya pada tahun 1923 M diambil mantu oleh KH. Hasyim Asy’ari. Dinikahkan dengan putrinya yang bernama Nyai Izzah binti Hasyim Asy’ari, namun pernikahan ini seumur jagung (tidak berlangsung lama dan berakhir dengan perceraian).
Setelah bercerai, beliau pulang ke rumah orang tuanya di Rejoso, Peterongan. Tak berselang lama kemudian beliau menikah dengan seorang gadis yang bernama Maisaroh dari desa Besuk, Mojosongo, Jombang. Dari pernikahannya dikaruniai dua orang putra yaitu Ishomuddin Romly dan Musta’in Romly, namun tak lama kemudian Ishomuddin Romly wafat saat masih muda karena tertembak oleh tentara Belanda.
Kemudian setelah kewafatannya Nyai Maisaroh, beliau menikah lagi dengan seorang gadis yang bernama Khodijah putri KH. Luqman dari Swaru Mojowarno. Dari pernikahannya dengan istri ketiga dikaruniai putra-putra beliau yaitu KH. Ahmad Rifa’iy Romly, KH Ahmad Shonhaji Romly, KH. Muhammad Damanhuri Romly, KH. Ahmad Dimyati Romly dan KH Ahmad Tamim Romly.
Sebagai seorang Kyai besar, beliau juga memiliki santri-santri yang terkenal kealimannya antara lain KH Muhammad Abbas (Buntet Cirebon), KH. Muhammad Utsman Ishaq (Sawahpuloh Surabaya), KH. Shonhaji (Kebumen). KH. Imron Hamzah (Sidoarjo).
Disamping itu selain sebagai seorang mursyid, beliau juga aktif dalam menulis kitab. Diantaranya karya beliau yaitu kitab Al-Istighotsah bi Hadrati Rabbil-Bariyyah,Tsamratul Fikriyah, Risalatul Waqi’ah, Risalatush Shalawat An-Nariyah.
Selain itu beliau juga memiliki banyak karomah yang sering diceritakan oleh santri-santrinya atau para kiai diantaranya adalah pertempuran 10 November 1945 di Surabaya, saat berkecamuknya perang melawan sekutu yang diboncengi NICA. Beliau ikut terjun dan menggerakkan santri-santrinya dengan dibekali minuman dan diberi kepalan-kepalan tanah liat yang telah diasma’i sebagai senjatanya. Untuk maju perang bersama barisan komando Hadratussyekh KH. Hasyim Asy’ari, yang juga guru sekaligus mertua beliau. Konon, setiap kepalan tanah liat itu dilemparkan, akan bereaksi seperti bom yang meluluh lantakkan musuh. Sehingga kemenangan berhasil diraih para pejuang Hizbullah.
Di kesempatan lain, KH. Muhammad Romly Tamim pernah di tahan oleh penjajah pada waktu itu, namun anehnya setiap sholat jama’ah di Pondok Rejoso akan dimulai, beliau selalu hadir dan mengimami sholat, kemudian kembali lagi. Hal inilah yang pada akhirnya menggemparkan para penjajah pada saat itu, yang dikemudian hari pada akhirnya dibebaskan.
Termasuk juga tentang keberadaan bioskop yang pernah ada di sekitar pasar Peterongan. Karena keberadaannya ini mengundang banyak maksiat dan sangat meresahkan masyarakat pada saat itu. Sehingga banyak yang mengadukan hal itu kepada beliau. Beliau hanya berpesan untuk melemparkan beberapa butir batu ke halaman bioskop tersebut. Selang beberapa waktu akhirnya dengan sendirinya bioskop tersebut tutup.
KH. Muhammad Romly Tamim wafat pada tanggal 16 Ramadlan 1377 H atau tanggal 6 April 1958 M di Rejoso. Kurang lebih tiga bulan menjelang kewafatan Kiai Romly Tamim, dalam pertemuan-pertemuan beliau mengemukakan bahwa thariqah akan menjadi besar dan memasyarakat apabila dipimpin oleh putranya.
Ketika KH. Muhammad Romly Tamim sakit, beliau memerintahkan dua muridnya yaitu Kiai Muhammad dan Kiai Makshum Jakfar, Porong untuk mencari Kiai Mustain Romly. Setelah datang, dengan mantapnya KH. Muhammad Romly Tamim mengijazahkan bai’at kepada Kiai Mustain Romly, sebagaimana berikut ini:
أجزتك وألبستك خرقة الصوفية أجازة مبايعة مطلقة
Aku berikan ijazah kepadamu dan aku berikan pakaian sufi dengan ijazah mutlak kepadamu.
Kemudian dijawab oleh Kiai Mustain Romly:
قبلت اجازتكم
Aku terima ijazah Panjenengan
Setelah KH. Muhammad Romly Tamim wafat, Kiai Mustain Romly menjadi muryid thariqah dengan meneruskan baiat ke khalifah-khalifahnya KH. Muhammad Romly Tamim. Setelah Kiai Mustain mendapatkan ijazah irsyad dari ayahandanya, Kiai Utsman Al-Ishaqi kemudian mentarbiyah Kiai Mustain Romly dalam thariqah, sebagai capaian kesempurnaan kemursyidan-nya.
Sebagai catatan kita bersama, jika pada masa KH. Muhammad Romly Tamim, thariqah Qodiriyah wan Naqsyabandiyah dikenal luas oleh masyarakat pesantren saja, maka pada masa Kiai Mustain Romly, thariqah dikenal luas di berbagai kalangan dan lapisan masyarakat. Sedangkan kewafatannya Kiai Mustain pada tahun 1985 dengan meninggalkan kepemimpinannya yang kharismatik di Pesantren Darul Ulum, termasuk kampus Universitas Darul Ulum, dan jamaah thariqah Qodiriyah wan Naqsyabandiyah….Barokallah. Semoga kita bisa mengambil hikmah dan pelajaran dari setiap perjalanan hidupnya beliau……al-Fatihah.
Dr. Heru Siswanto, M.Pd.I., Ketua Program Studi PAI-BSI (Pendidikan Agama Islam-Berbasis Studi Interdisipliner) dan dosen Pascasarjana IAI Al-Khoziny Buduran Sidoarjo; Dosen PAI-Terapan Politeknik Pelayaran Surabaya; Pengasuh Balai Peduli Pendidikan Indonesia; Pengurus LTMNU PCNU Sidoarjo; Ketua LDNU MWCNU Krembung.