Pertanyaan:
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh
Pak Kiai, tetangga saya punya Wifi kondisinya terbuka tidak dikunci. Apakah saya boleh menggunakannya tanpa ijin? Terima kasih Pak Kiai (Penanya: warga Tegal Parang (Lulu)
Kiai Menjawab:
Saudari Lulu yang di mulikan Allah.Akses internet di zaman digital seperti saat ini sudah menjadi salah satu kebutuhan manusia modern. Hampir di setiap rumah dan perkantoran sudah terpasang jaringan wifi untuk memudahkan pekerjaan dan komunikasi. Lalu pertanyaannya adalah bagaimana hukumnya jika menggunakan akses internet tanpa izin dari tetangga atau pemiliknya?
Saudari Lulu, dalam ajaran Islam, menggunakan jaringan internet tanpa izin pemiliknya adalah termasuk kategori ghasab yang sudah jelas diharamkan. Alasannya adalah hal itu bagian mengambil hak orang lain dengan cara yang tidak dibenarkan. “Hak” dalam konteks ini tidak hanya mencakup soal harta benda, tetapi juga yang lainnya, termasuk di dalamnya adalah jaringan internet.
Muhammad az-Zuhri al-Ghamrawi dalam kitab as-Siraj al-Wahhaj ‘ala Matan al-Minhaj menjelaskan tentang ghasab, sebagaimana berikut:
كِتَابُ الْغَصَبِ هُوَ لُغَةً أَخْذُ الشَّيْءِ ظُلْمًا وَشَرْعًا اَلْاِسْتِيلَاءُ عَلَى حَقِّ الْغَيْرِ عُدْوَانًا أَيْ بِغَيْرِ حَقٍّ وَالْحَقُّ يَشْمَلُ الْمَالَ وَغَيْرَهُ
“Penjelasan Tentang Ghasab. Ghasab secara bahasa adalah mengambil sesuatu secara zalim, sedang menurut syara’ adalah menguasai hak orang lain dengan cara yang tidak benar. Sedangkan pengertian “hak” disini mencakup harta-benda dan selainnya” (Muhammad az-Zuhri al-Ghamrawi, as-Siraj al-Wahhaj ‘ala Matan al-Minhaj, [Beirut: Dar al-Fikr, tt], halaman 266)
Dengan demikian, menggunakan wifi atau akses internet orang lain tanpa izin termasuk sesuatu yang dilarang karena hal itu masuk kategori ghasab. Lain halnya jika memang pemilik wifi secara terbuka memberikan izin akses kepada siapapun. Untuk itu, alangkah baiknya sebelum menggunakan akses internet orang lain, terlebih dahulu meminta izin kepada pemiliknya.
Penanya: Lulu, Tegal Parang Jakarta Selatan
Penjawab: KH. Abdul Muiz Ali, Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI Pusat
тест1.