Jakarta, LIPUTAN 9 NEWS
“Seandainya lingkungan mempunyai pendengaran dan mulut untuk berbicara, niscaya akan terdengarlah teriakan-teriakan histeris dari terbakarnya ozon yang diiringi dengan rintihan air di sepanjang sungai dan lautan karena terisi oleh percikan-percikan minyak dan sekaratnya udara yang tercekik oleh gas-gas mati dari industri, peluru-peluru di seluruh bumi.” (Yusuf al-Qardlawi)
Kajian tentang lingkungan di kalangan pesantren selama beberapa dekade belakangan masih terbilang belum begitu populer. Hal ini bisa kita lihat dalam berbagai literatur, baik dalam bentuk kitab kuning maupun buku yang ada di berbagai lembaga pendidikan pesantren yang cenderung mengarah pada kajian tentang aspek-aspek ‘ubudiyah (peribadatan ritualistik) an sich. Kalaupun terdapat kajian tentang hukum-hukum fikih mu’amalah (aspek sosial), masih berkutat pada normativitas (halal-haram) secara “praktis-pragmatis”. Oleh karenanya, menghadirkan (kembali) kajian tentang persoalan lingkungan (bi’ah) juga sangat patut untuk digalakkan.
Pengarusutamaan kajian lingkungan ini menjadi sebuah keharusan, terutama di tengah konteks kehidupan modern yang sering juga disebut sebagai era pembangunan (development) dengan varian bentuk dan dinamikanya, tak terkecuali bagi kalangan pesantren sebagai lembaga pendidikan yang berperan secara “sah” dalam mengkaji teks-teks Al-Qur’an maupun hadis dengan relasi relevansi dan kontekstualitasnya, bukan hanya pada aspek hubungan antara manusia-Tuhan (hablun minallah), sesama manusia (hablun minannas), melainkan juga antara manusia dengan alam lingkungan (hablun min al-‘alam).
Islam dan Lingkungan (Ekologi)
Dewasa ini, ayat-ayat Al-Qur’an maupun hadis bagi sebagian kalangan sering kali hanya dibaca dan dipahami secara parsial seolah teks-teks suci agama Islam hanya berisi tentang konsepsi hal-hal ritualistik dan berorientasi terhadap kehidupan ukhrawi (akhirat). Sebaliknya, beberapa aspek keilmiahan (saintifik) yang terdapat di dalamnya justru terabaikan atau diabaikan sehingga tidak sedikit dari para penganut agama Islam sendiri yang bersikap permisif dan pasrah terhadap situasi dan kondisi kehidupan nyata di sekelilingnya, tak terkecuali dalam persoalan lingkungan.
Lebih dari itu, kerusakan atau lebih tepatnya pengrusakan lingkungan yang tengah terjadi, jika terus menerus diabaikan, lambat laun dapat mengancam eksistensi kehidupan bagi penghuni bumi ini, dianggapnya sebagai suatu bentuk keniscayaan yang tidak dapat ditolak (sunnatullah). Akibatnya, banyak terjadi ragam bencana alam, seperti banjir, gempa, cuaca, iklim alam yang tidak menentu, kemarau panjang, dan lain sebagainya. Ragam bencana tersebut mesti kita sadari sebabnya secara hukum alam, yang tidak lain adalah sebuah respons alam yang tengah ditindas dan dieksploitasi oleh manusia. Hal ini sesungguhnya sangat bertolak belakang dengan status manusia sebagai mandataris Tuhan (khalifatullah) yang diberi tanggung jawab dalam memelihara dan mengelola sumber daya alam yang ada di muka bumi ini dalam asas manfaat dan bijak.
Penciptaan alam semesta adalah anugerah Allah Swt. yang diberikan untuk seluruh makhluk di muka bumi. Manusia mendapatkan legalitas untuk memanfaatkan alam ini sesuai dengan porsi yang dibutuhkan.
Dengan pemahaman demikian, kita akan melihat betapa ajaran Islam yang terdapat di dalam Al-Qur’an, hadis, maupun diskursus dalam khazanah kitab kuning memiliki cakupan terhadap segala hal, baik ayat-ayat qouliyah (doktrin normatif/verbal) maupun kauniyah (doktrin saintifik/nonverbal), yang semuanya membawa kita terhadap kesadaran spiritual yang berbanding lurus dengan kesadaran sosial dan ekologis. Hal ini, misalnya, dapat dilihat pada aspek penegasan Al-Qur’an terhadap kesadaran manusia atas lingkungannya yang termaktub di dalam Q.S. Ali ‘Imran, ayat 190. Di dalam ayat tersebut menunjukkan bahwa akal murni manusia dapat memahami dan menghayati betapa agung tanda kekuasaan Allah Swt. Manusia, hewan, dan tumbuhan bisa hidup dan berkembang secara proporsional, maka benarlah apa yang pernah disabdakan oleh sebuah hadis Nabi Muhammad saw: Renungkanlah apa pun yang diciptakan oleh Allah dan janganlah merenungkan sesuatu tentang (hakikat) zat Allah Swt.
Ekologi dalam Khazanah Kitab Kuning
Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tentu saja, selain merujuk pada teks-teks ayat Al-Qur’an dan hadis, juga tetap merujuk pada khazanah pesantren, yaitu kitab kuning yang ditulis oleh cendekiawan muslim dari era klasik sampai kontemporer, khususnya dalam disiplin ilmu ekologi atau lingkungan.
Musa Syahin Lasyin, dalam karya kitabnya Fathul Mun’im Syarh Sahih Muslim, menyatakan bahwa sebagian dari karakter seorang muslim yang baik adalah tidak mencederai muslim yang lain. Bahkan, dituntut untuk berinteraksi dengan baik terhadap nonmuslim, terlebih lagi kepada entitas selain manusia, yakni entitas hewan. Pernyataan tersebut merupakan penafsiran terhadap hadis Nabi Muhammad tentang kriteria seorang muslim yang baik, yakni man salima al-muslimuna min lisanihi wa yadihi, seorang muslim yang baik adalah dia yang tidak menyakiti orang lain dengan lisan dan tangannya.
Dalam Islam, manifestasi manusia dan mahkluk lainnya memiliki hak asasi masing-masing yang terintegrasi di dalam cara pandang sikap yang saling mengasihi atas dasar kesadaran diri manusia dalam berinteraksi dengan makhluk lainnya. Dalam kitab Adab al-Dunya wa al-Din, Al Mawardi mengutip perkataan para bijak bestari bahwa sesungguhnya Allah Swt. tidak akan memberikan restu kepada makhluk-Nya, kecuali ia menunaikan haknya. Haknya seorang makhluk ialah mensyukuri nikmat, berbuat baik kepada sesama, berperangai baik, dan konsisten terhadap ketentuan hukum.
Para penganut ajaran tasawuf (ulama sufi) juga telah mengajarkan tentang pentingnya menjaga lingkungan sebagai bentuk amanah Tuhan yang diemban oleh manusia sebagai khalifah-Nya di muka bumi dengan kekuatan cinta. Mereka mengatakan bahwa terjalinnya hubungan antara manusia dan lingkungan dibangun atas dasar cinta dan rasa hormat. Hal itu merupakan ajaran luhur yang akan menjadi penyempurna dalam menjaga lingkungan dan melestarikannya.
Jihad Ekologi
Jihad dalam ajaran Islam dapat diartikan sebagai proses upaya kesungguhan dalam mendayagunakan potensi yang ada untuk mencapai tujuan kemaslahatan. Al-Syatibi dan Al-Ghozali menyebutkan secara umum tujuan dasar syariat Islam (maqashid al-syari’ah), yaitu menjaga agama (hifdz al-din), menjaga jiwa (hifdz al-nafs), menjaga akal (hifdz al-‘aql), menjaga keturunan (hifdz al-nasl), dan menjaga harta atau properti (hifdz al-mal).
Menjaga dan melestarikan lingkungan (hifdz al-bi’ah) juga termasuk dalam kategori maqoshid al-syari’ah. Dengan menjaga lingkungan alam, kehidupan manusia akan terjaga nyawa dan kesehatannya. Bahkan, menurut Ali Yafie, aspek penjagaan eksistensi jiwa adalah hal yang paling utama dibandingkan dengan aspek yang lainnya. Bukan hanya itu, menjaga lingkungan sumber daya alam juga berarti menjaga harta atau properti karena segala hal yang mendukung serta menunjang kelangsungan kebutuhan dasar manusia.
Dalam konteks Indonesia, sumber daya alamnya yang melimpah mesti dikelola dengan bijak. Sebagaimana yang termaktub di dalam UUD ‘45 dan aturan syariat Islam bahwa kekayaan negara berupa sumber air, energi, dan kehutanan haruslah menjadi milik dan digunakan untuk kesejahteraan warga negara Indonesia. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad saw: “Manusia memiliki tiga sumber energi yang menjadi milik bersama, yaitu air, hutan, dan api.” (H.R. Abu Daud).
Secara praksis, jihad ekologi sebagai upaya dalam membangun kesadaran tanggung jawab kita terhadap kelestarian lingkungan bisa dimulai dari kesadaran individu manusia, yaitu dengan melakukan refleksi diri untuk bersikap dan berperilaku sederhana, tidak berlebihan. Namun, secara komunal, dapat diupayakan melalui pembuatan regulasi terhadap nilai dan norma sosial, yang dalam hal ini adalah domain para pemangku kebijakan pemerintahan. Di antaranya adalah dengan cara melakukan konservasi, penghijauan, dan menjaga kebersihan pola hidup dan alam lingkungan. Itulah spirit nilai ajaran Islam yang mengintegrasikan antara aspek spiritualitas dan kontekstualitas lingkungan atau sumber daya alam, yakni hubbu al-bi’ah min al-iman, menjaga dan melestarikan lingkungan adalah sebagian dari iman.
Sebelumnya Artikel dengan judul Menyegarkan (Kembali) Diskursus Kesadaran Lingkungan dalam Khazanah Pesantren ini, telah tayang di halaman altsaqafah.id, dengan judul yang sama.
M. Balya Abul Abbas, Guru Sosiologi dan Ilmu Tafsir Pondok Pesantren Luhur Al-Tsaqafah, Penikmat Kultur Pesantren.