Pendidikan Islam adalah pendidikan yang berdasarkan pada prinsip-prinsip ajaran agama Islam, yaitu bersumber dari Al-Qur’an, sunah nabi, perkataan para sahabat, dan para tabiin, serta ijtihad dari para ulama. Di antara ciri khas pendidikan Islam yang paling menonjol adalah inovatif, tidak stagnan, yaitu mengakui adanya perubahan dan perkembangan untuk menggapai kemajuan dan kesempurnaan. Hal ini menegaskan bahwa pendidikan Islam selalu berciri pembaruan guna memenuhi tuntutan zaman dan kebutuhan umat Islam.
Dalam konteks yang sama, pendidikan Islam juga menyerukan perbaikan dan penyempurnaan dalam proses pendidikan untuk kemaslahatan individu dan bangsa, tidak hanya membentuk suluk dan karakter kepribadian, baik dalam ucapan dan perbuatan, tetapi juga untuk menggapai kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Sekitar paruh kedua abad ke-19, kita menyaksikan upaya global besar-besaran untuk mereformasi pendidikan, seperti seruan seorang pemikir muslim Muhammad Abduh di Mesir, diawali dengan memformulasikan fondasi baru epistemologi keyakinan umat Islam melalui tajdidul fahm (memperbarui pemahaman). Abduh menerapkan prinsip di atas dengan cara menghilangkan dualisme dalam pendidikan, perlunya pengintegrasian keilmuan bahwa sekolah umum harus dapat memberikan pelajaran agama dan sekolah agama harus mampu mengembangkan ilmu pengetahuan.
Seorang tokoh reformasi pendidikan Islam asal Tunisia, Muhamed Al Tahir Ibnu ‘Ashur, melakukan kritik perihal kondisi pendidikan yang berlaku pada masanya serta menyebutkan penyebab melemahnya mutu pendidikan secara umum. Beliau menilai, sesungguhnya kerusakan pendidikan muncul dari beberapa faktor, yaitu mutu pendidik, peserta didik, modul ajar, dan proses pembelajaran. Seruan juga datang dari para tokoh pendidikan nasional, seperti Ki Hajar Dewantara, Kiai Haji Hasyim Asy’ari, Kiai Asep Saifuddin Chalim, dan lainnya.
Unsur-Unsur dalam Proses Pendidikan
Menjelang akhir tahun ajaran di sebuah lembaga pendidikan Islam, tempat saya mengabdi, sedikit banyak saya mengetahui dan terlibat diskusi tentang unsur-unsur proses untuk kemajuan pendidikan bersama rekan kerja. Pertanyaan besar yang muncul, apa kriteria kualitas unsur-unsur pendidikan dalam perspektif Islam?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita harus mengetahui terlebih dahulu apa saja unsur-unsur pendidikan itu dan bagaimana wilayah kerjanya. Dalam diskusi tersebut, Fawzul Arifin (rekan kerja) menawarkan skema pembagian mutu unsur-unsur pendidikan, yaitu mutu peserta didik, mutu pendidik, mutu akademik, dan mutu kelembagaan. Namun, dalam tulisan ini difokuskan kepada upaya atau kiat kiat dalam meningkatkan kompetensi para pendidik dalam pandangan beberapa sarjana pendidikan Islam.
Upaya Meningkatkan Kompetensi Pendidik
Agar guru menguasai profesinya, pendidikan Islam menekankan perlunya guru yang berkualitas yang mampu melaksanakan pekerjaannya dengan profesional sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw., “Sesungguhnya Allah mencintai seseorang yang apabila bekerja, mengerjakannya secara profesional.“ (H.R. Thabrani dan Baihaqi).
Untuk mencapai hal tersebut, pendidikan Islam mengklasifikasi kriteria dasar yang harus dipenuhi bagi seorang guru, di antaranya sebagaimana berikut:
1. Berkepribadian Baik
Beberapa tokoh pendidikan Islam mendiskusikan karakteristik dasar yang harus dimiliki oleh guru. Imam al Ghazali mengatakan bahwa siapa pun yang bekerja di bidang pendidikan, maka ia telah siap menanggung amanah agung dan tanggung jawab yang besar. Oleh karena itu, hendaklah ia menjaga etika dan profesionalitasnya. Begitu pula Al Qabisi mengatakan bahwa seorang guru harus penyayang, adil, memiliki nurani dan kayakinan, serta tanggung jawab terhadap segala hal yang dilakukannya. Komunitas para intelektual, Ikhwan al Shafa, menekankan perlunya seorang guru memiliki akhlak yang baik, kecerdasan, wawasan luas, rendah hati, tidak sombong, mencintai ilmu pengetahuan, dan pemahaman yang baik.
2. Kualifikasi Akademik dan Praktik Pengajaran
Banyak sarjana pendidikan Islam percaya bahwa seorang guru harus memenuhi syarat-syarat kemampuan untuk menjalankan profesinya, baik itu aspek akademik atau praktik pengajaran. Ibnu Jama’ah mengatakan bahwa seseorang tidak boleh menjadi guru jika ia tidak memenuhi syarat-syarat untuk menjadi seorang pengajar. Ibnu Khaldun juga menyerukan perlunya guru mengenal seni mengajar dan metodenya, tidaklah cukup bagi guru hanya memiliki kualifikasi akademik, tetapi juga harus tahu bagaimana cara mengajar serta metode pengajaran yang baik.
3. Diversifikasi Kurikulum yang Sesuai dengan Potensi Peserta Didik
Perlunya menggali beragam sumber pembelajaran dan metode pengajaran dengan penekanan pada partisipasi peserta didik dalam proses pendidikan, seperti menerapkan metode ceramah, penjelasan, diskusi, debat, learning by doing, cooperative learning, inkuiri, pembuktian, dan tanya jawab sebagaimana Ibnu Khaldun menekankan dan mengingatkan para pelajar akan pentingnya tujuan pembelajaran. Ibnu Jama’ah mengatakan, guru hendaknya dalam pengajaran mampu memahamkan dan mendekatkan makna materi ajar kepada peserta didik dengan tidak membebani pikirannya di luar kemampuannya.
4. Mempertimbangkan Perbedaan Individu Antar-Peserta Didik
Setiap peserta didik memiliki perbedaan kemampuan dan kesiapan yang beragam dalam menerima pelajaran. Oleh karena itu, penting bagi guru mampu memahami hal tersebut sehingga bisa menerapkan metode apa yang sesuai dan tepat. Imam al Ghazali menyebutkan, tidak dapat dimungkiri, orang-orang berbeda pendapat terutama terkait dari hasil eksperimen ilmu pengetahuan. Mereka berbeda persepsi sehingga menyebabkan adanya perbedaan dalam berpikir atau dalam praktiknya. Ibnu Jama’ah mengatakan bahwa guru hendaknya memperhatikan kemaslahatan peserta didik, seperti perhatiannya orang tua kepada anak-anaknya dan tidak memberikan hal-hal yang tidak pantas baginya karena hal itu akan mengacaukan pikirannya dan pemahamannya.
5. Mengaitkan Pembelajaran dengan Kehidupan Sehari-hari
Inilah esensi dari model pembelajaran kontekstual, yaitu mengaitkan pembelajaran dengan lingkungan kehidupan sehari-hari peserta didik dengan memberikan contoh, pengamatan, temuan, dan memengaruhi pemikirannya. Ibnu Miskawaih menyerukan agar peserta didik diajak belajar melalui interaksi dengan lingkungan alam karena hal ini akan memberikan pengalaman yang mendalam dan pengaruh yang kuat bagi peserta didik.
6. Memotivasi Peserta Didik
Guru harus mendorong siswa melalui penggunaan berbagai metode pembelajaran dengan memperkenalkan faktor-faktor yang menyenangkan dan memotivasi mereka saat belajar. Hal ini tentunya untuk meningkatkan kreativitas dalam pengembaraan akademik dan pengalaman sehingga siswa tidak merasa jenuh. Imam Al Mawardi mengatakan bahwa faktor utama dalam memotivasi dan meningkatkan siswa dalam belajar adalah adanya hubungan baik antara guru dan peserta didik. Imam Ali bin Abi Thalib mengatakan bahwa bukalah hati penuh riang gembira dan carilah metode yang tepat dalam menggapai ilmu pengetahuan karena otak juga merasakan kebosanan seperti halnya tubuh merasa lelah.
Artikel ini sebelumnya sudah terbit di media Ponpes Luhur Al-Tsaqafah dengan judul yang sama, Merawat Kualitas Pendidikan Islam Melalui Peningkatan Kompetensi Guru.
KH. Idris Sholeh, Lc, Alumni MTM KHAS Kempek, Kulliyah Dakwah Islamiyah Tripoli-Libya, Ketua Bidang Amal Usaha di Lajnah Dakwah Islam Nusantara (LADISNU), Kepala Madrasah Aliyah dan penjamin mutu pendidikan di Pondok Pesantren Luhur Al-Tsaqafah