Banten | LIPUTAN9NEWS
Kok bisa rezim Bashar Al-Assad semudah itu digulingkan dalam waktu yang bahkan tidak genap seminggu? Jawabannya tentu saja karena kudeta itu sesungguhnya telah lama dipersiapkan oleh Israel, Amerika, Turki, dan konon juga Qatar.
Menurut sejumlah analis dari pihak Rusia dan Iran, ditambah pembacaannya Syekh Imran Nazar Hossein, Amerika dan Israel menggunakan cara dan metode yang dulu juga digunakan untuk menggulingkan Saddam Hussein di Irak pada tahun 2003.
Memang, pada mulanya, demikian ujar Dr. Olsi, Rusia dan Iran masih punya niat untuk membantu rezim Bashar Al-Assad. Namun, Rusia dan Iran mendapati kenyataan di lapangan bahwa tentara Suriah tidak siap untuk berperang melawan HTS yang didanai Amerika, Israel, Turki dan konon juga Qatar. Sebagai contoh, Jenderal Suriah yang bertanggungjawab mempertahankan Aleppo di awal Desember 2024 telah berhasil dibeli Amerika, persis seperti ketika Jenderal yang bertanggungjawab untuk mempertahankan Bagdad berhasil dibeli Amerika dengan uang besar dan paspor untuk tinggal di Amerika, tepatnya di Florida, agar tidak lagi mempertahankan Bagdad dari kepungan pasukan Amerika dan NATO di tahun 2003.
Operasi yang dulu dipraktikkan untuk Bagdad dan kemudian berhasil diterapkan untuk Aleppo, Suriah itu merupakan bukti keberhasilan konsolidasi Amerika, Israel, Turki dan Qatar. Artinya, Rezim Bashar Al-Assad berhasil digulingkan dengan mudah karena Amerika, Israel, Turki dan Qatar telah berhasil membeli militer Suriah agar tidak berperang dengan pasukan HTS pimpinan Al-Joulani. Jadi tidak mengherankan ketika tentara Suriah malah banyak yang kabur –bersamaan dengan itu Irak menolak menampung militer Suriah yang kabur dari perang tersebut.
Berbeda dengan Dr. Olsi, Syekh Imran Nazzar Hosein justru berpandangan bahwa Rusia dan Iran memang lebih memilih untuk mengorbankan Bashar Al-Assad dan tidak ikut campur dalam persoalan Suriah karena jika Rusia dan Iran ikut campur justru akan menjadi jebakan bagi Rusia dan Iran. Sangat mungkin justru Israel dan Amerika, sebelum Donald Trump dilantik pada 20 Januari 2025, ingin memancing atau memprovokasi Rusia dan Iran di Suriah, yang nantinya energi Rusia tidak lagi terpusat untuk menghantam Ukraina, sebagai contohnya, dan proksi Iran seperti Hizbullah bisa dikuras kekuatannya.
Dr. Olsi tidak menentang pendapat Syekh Imran Nazzar Hossein itu, hingga Olsi menyatakan bahwa memang itu sepenuhnya rencana Zionis Israel yang dikomunikasikan dengan Amerika, ketika Israel tidak berhasil menumpas secara penuh Hizbullah yang didukung Iran di saat HAMAS berhasilkan dilemahkan Israel. Bagi Israel dan Amerika, poros perlawanan terlemah justru adalah Suriah di masa-masa jelang Bashar Al-Assad berhasil digulingkan, dan bila Suriah berhasil direbut oleh Israel dan Amerika, maka tidak ubahnya telah merebut salah-satu pangkalan kekuatan dan militernya Rusia dan Iran.
Tak hanya itu, lanjut Dr. Olsi, pasukan HTS yang dipimpin Al-Joulani itu juga dibantu para perwira Ukraina ketika menggempur dan merebut kota-kota di Suriah. Dan diantara faktor menciutnya semangat perang tentara Suriah adalah ketika mereka mendapati diri mereka dikepung ratusan drone yang dikirim dan didatangkan dari Ukraina. Para perwira militer Ukraina juga melatih para teroris HTS pimpinan Al-Joulani. Jadi, menurut Dr. Olsi, Rusia juga menyadari bahwa serangan terhadap Suriah bukan hanya serangan terhadap kelompok perlawanan Palestina, Iran dan ummat Islam yang ditindas Israel, tapi juga serangan terhadap Rusia.
Terkait pendapat Syekh Imran Nazzar Hossein bahwa Israel, Amerika dkk ingin menjebak Rusia dan Iran di Suriah, Dr. Olsi juga tidak menyanggahnya. Barangkali memang sangat mungkin Israel, Amerika dkk ingin mengubah Suriah menjadi Afghanistan kedua. Dr. Olsi pun menyatakan Bashar Al-Assad sendiri memang sudah mempersiapkan diri untuk mengungsi atau pergi dari Suriah. Meski begitu, demikian lanjut Dr. Olsi, apa yang diinginkan Imperium Zionis Barat terkait Suriah adalah memang ingin menjadikan Suriah sebagai Afghanistan Kedua: di mana semua orang akan saling berperang satu sama lainnya.
Sulaiman Djaya, Pemerhati Sosial Kebudayaan