Cirebon | LIPUTAN9NEWS
Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, KH Imam Jazuli menilai, apa yang dialami Miftah Maulana Habiburrohman (Gus Miftah) hanya korban kapitalisme. Ia juga menyebut netizen tertipu atas permasalahan yang membuat heboh tersebut.
Kiai muda asal Cirebon yang juga Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia) Periode 2010-2015 ini menjelaskan, kapitalisme modern tidak hanya soal perputaran modal, perdagangan dan pasar bebas, tetapi cuan juga bisa diproduksi dari media sosial dengan memobilisasi masa.
“Pendapat ini jauh hari disampaikan oleh Walter Benjamin, dalam salah satu karyanya Profanations, Zone Books; 2007, ketika fenomena awal media sosial ditemukan,” ujar Kiai Imam, dilansir dari Kabar Cirebon, Senin (9/12/2024).
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015 ini melanjutkan, menurut Walter, kapitalisme jenis baru ini menjadikan manusia terhipnotis oleh suatu kondisi sehingga ia mempengaruhi alam bawa sadarnya. Terlebih jika obyek yang diperalat itu soal kesewenangan orang kuat pada yang lemah.
Dalam kondisi seperti itu, kapitalisme model baru ini, kata dia, akan memisahkan hampir segala hal. Memisahkan realitas ke absurditas, memisahkan humanisme ke dehumanisme, memisahkan penghayatan yang kontemplatif ke kekerasan yang menindas, bahkan fenomena ini membuat kebenaran dengan versi baru, dan orang tak bisa lagi membedakan mana realitas sesungguhnya dan kritis.
Begitu ada peluang untuk menghujat, ia tak bisa berhenti untuk menghujat, kendati sumber masalahnya sebenarnya sudah terselesaikan.
“Mungkin gambaran di atas bisa disematkan pada kasus keselio lidahnya Gus Miftah pada penjual es, Pak Sonhaji. Kendati pelaku sudah minta maaf dan korban sudah memaafkan, tapi haters dari nitizen masih dimanfaatkan tangan gelap kapitalisme. Maka dari sudut pandang ini, Gus Miftah hanya korban para konten kreator yang mencari cuan dari keseleo lidah bercandanya yang model tablig jalanan,” ungkapnya.
Selain itu, lanjut Kiai Imam, juga korban orang-orang yang pansos dan kemungkinan besar korban dan orang yang sedang cari simpati dengan berdonasi dan lainnya, semakin viral semakin sexy dan menguntungkan bagi mereka.
“Netizen hanya kebawa suasana atas keberhasilan para konten creator atau pansos mendramatisir keadaan,” ujarnya.
Kenapa dari sudut pandang ini penting menjadi catatan? Sebab, menurut Kiai Imam, di luar sana, faktanya banyak orang yang nasibnya lebih memprihatinkan dan susah dari Pak Sonhaji dan itu tidak tersentuh, serta terperhatikan, masalahnya meeka tahu karena tidak akan viral dan menguntungkan.
Selain daripada itu, nyatanya dan banyak tokoh agama yang juga menggunakan kata “goblok” bahkan lebih sadis tapi tak menjadi soal.
“Mungkin satu-satunya yang membedakan adalah saat itu Gus Miftah menjadi pejabat publik dan Pilpres baru saja selesai, dan Gus Miftah berada di kubu yang menang. Tapi bagaimanapun masalah harus ditempatkan secara adil,” ungkap Kiai Imam Jazuli.
Selain keikutsertaan para kapitalis jenis baru ini, dalam pemaknaan dan diksi kata “goblok” Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikannya sebagai sifat bodoh atau tuli. Dengan begitu, kata dia, mengutip bukunya Nevid (2021), diksi goblok bisa ditarik ke dalam ilmu psikologi, sebagai tekanan verbal.
Masalahnya, apa benar kata goblok selalu berkonotasi negatif? Jawabannya bisa inklusif dan relatif. Misalnya, kebodohan dalam tradisi Timur dianggap wacana yang telah berumur ribuan tahun. Kebodohan alias Avidya dianggap sebagai sarana bagi Brahman untuk menciptakan penampakan dunia.
“Dalam konteks kajian ilmu hadits, Jarhu wa Ta’dil, menyebut orang lain sebagai Dha’if alias lemah akal, bahkan antisosial, adalah penilaian yang lazim terjadi. Ada toleransi, karena tujuannya yang positif,” ucap Alumni Universitas Al-Azhar Cairo ,Mesir itu.
Lebih lanjut, Kiai Imam Jazuli mengatakan dalam konteks ceramah Gus Miftah, menyebut Bapak Sonhaji, si penjual es teh, sebagai goblok, perlu disikapi dengan lebih bijaksana. Jika gila adalah label sosial yang terus berkembang menurut Foucault, maka kata goblok juga demikian. Setiap zaman memiliki caranya sendiri untuk memaknai.
“Pertama-tama, mari kita lihat bagaimaan GM (Gus Miftah) dengan terbuka meminta maaf, bukan saja pada pak Sonhaji si penjual es teh, tetapi kepada publik. Ini menandakan GM menyadari bahwa kata goblok bukan semata urusan personal melainkan juga publik dan politis, terkait dengan identitasnya sebagai tokoh agama dan pejabat negara,” katanya.
Kedua, lanjut Kiai Imam, dari sudut pandang Sonhaji, terdapat konteks lain yang berupa silaturahmi. Bukan hanya Sonhaji yang tidak saja menerima kunjungan GM ke rumahnya, melainkan ia sendiri juga berkunjung ke rumah GM di Yogyakarta. Hal ini membutuhka penafsiran baru yang lebih bijaksana.
Peristiwa GM dan Sonhaji, menurut Kiai Imam, sebenarnya telah berkembang dari urusan sosial-politis menjadi teks sosial-politis. Artinya, bukan hanya publik yang berhak menafsirkannya.
Sebaliknya, GM dan Sonhaji dengan cara yang sama juga memiliki hak menafsirkan peristiwa yang mereka berdua jalani.
Dalam konteks tersebut, lanjut dia, posisi GM dan Sonhaji lebih otoritatif dalam menafsirkan pengalaman mereka sendiri. Untuk itulah, netizen selayaknya memberikan panggung kesempatan bagi GM maupun Sonhaji untuk memaknai pengalaman mereka sendiri.
“Dengan begitu, kontroversi ini lebih sejuk dan kehidupan kembali harmonis. Tetapi tangan gelap kapitalisme terus gerilya, karena itu kita harus waspada,” pungkasnya. (MFA)