الباب الخامس
فى آداب العالم فى حق نفسه وفيه عشرون ادبا
Tentang Adab Seorang Ulama terhadap Dirinya Sendiri (Dalam bab ini terdapat dua puluh adab)
الاول ان يديم مراقبة الله تعالى فى السر والعلانية
Pertama, hendaknya ia senantiasa merasa diawasi (muraqabah) oleh Allah Ta’ala, baik dalam keadaan tersembunyi maupun terang-terangan.
والثانى ان يلازم خوفه تعالى فى جميع حركاته وسكناته واقواله وافعاله، فانه امين على ما استودع فيه من العلوم والحكمة والخشية، وترك ذلك من الخيانة، وقد قال تعالى لا تخونوا الله والرسول وتخونوا اماناتكم وانتم تعلمون.
Kedua, hendaknya ia selalu merasa takut kepada-Nya dalam setiap gerakan, diam, perkataan, dan perbuatannya. Karena ia adalah orang yang diberi amanah titipan atas ilmu, hikmah, dan rasa takut kepada Allah. Dan meninggalkan hal itu termasuk pengkhianatan, sebagaimana firman Allah:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَخُوْنُوا اللّٰهَ وَالرَّسُوْلَ وَتَخُوْنُوْٓا اَمٰنٰتِكُمْ وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ ٢٧
“Wahai orang-orang yang beriman, Janganlah kalian mengkhianati Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kalian mengkhianati amanah-amanah kalian, sedang kalian mengetahuinya.” (QS. Al-Anfal: 27)
والثالث ان يلازم السكينة
Ketiga, hendaknya ia selalu menjaga ketenangan (sakinah).
والرابع ان يلازم الورع.
Keempat, hendaknya ia selalu bersikap wara’ (menjaga diri dari perkara yang meragukan).
والخامس ان يلازم التواضع
Kelima, hendaknya ia selalu bersikap tawadhu’ (rendah hati).
والسادس ان يلازم الخشوع لله تعالى،
Keenam, hendaknya ia selalu khusyuk kepada Allah Ta’ala.
ومما كتب مالك رضي الله عنه الى الرشيد اذا علمت علما فلير عليك اثره ووقاره وسكينته وحلمه لقوله صلى الله عليه وسلم العلماء ورثة الأنبياء،
Malik bin Anas radhiyallahu ‘anhu pernah menulis surat kepada Khalifah Harun ar-Rasyid: “Apabila engkau telah mempelajari suatu ilmu, hendaklah tampak pada dirimu pengaruh ilmu itu, berupa ketenangan, wibawa, dan kesabaran.”
Rasulullah ﷺ bersabda: “Para ulama adalah pewaris para nabi.”
وقال عمر رضي الله عنه تعلموا العلم وتعلموا معه السكينة والوقار،
Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu berkata: “Pelajarilah ilmu, dan pelajarilah bersamanya ketenangan serta kewibawaan.”
وقال بعض السلف حق على العالم ان يتواضع لله تعالى فى سره وعلانيته، ويحترز من نفسه، ويقف عما اشكل عليه
Sebagian ulama salaf berkata: “Sudah menjadi kewajiban bagi seorang alim untuk bersikap rendah hati kepada Allah Ta’ala, baik dalam keadaan tersembunyi maupun terang-terangan, menjaga diri dari hawa nafsunya, serta berhenti pada perkara yang masih samar baginya.”
والسابع ان يكون تعويله فى جميع اموره على الله تعالى.
Ketujuh, hendaknya ia selalu bergantung kepada Allah Ta’ala dalam semua urusannya.
والثامن ان لا يجعل علمه سلما يتوسل به الى الأعراض الدنيوية من جاه او مال او سمعة او شهرة او تقدم على اقرانه.
Kedelapan, jangan menjadikan ilmunya sebagai tangga untuk mencapai kepentingan duniawi, seperti kedudukan, harta, popularitas, ketenaran, atau untuk mengungguli rekan-rekannya.
والتاسع ان لا يعظم ابناء الدنيا بالمشي اليهم والقيام لهم الا اذا كان فى ذلك مصلحة تزيد على هذه المفسدة لا سيما ان يذهب بعلمه الى مكان من يتعلم منه وان كان المتعلم كبير القدر، بل يصون علمه كما صانه السلف الصالح،
Kesembilan, ia tidak boleh mengagungkan para pencari dunia dengan mendatangi mereka atau berdiri untuk mereka, kecuali jika terdapat maslahat yang lebih besar dibandingkan mudaratnya. Terutama jika hal itu berkaitan dengan membawa ilmunya ke tempat seseorang yang ingin belajar darinya, meskipun si pelajar memiliki kedudukan tinggi. Sebaiknya, ia menjaga ilmunya sebagaimana para ulama salaf yang saleh menjaganya.
واخبارهم في ذلك مشهورة مع الخلفاء وغيرهم، كما روي عن مالك بن انس انه قال: دخلت على هارون الرشيد، فقال لي يا أبا عبد الله ينبغي ان تختلف الينا حتى يسمع صبياننا الوطاء، قال قلت أعز الله الامير إن هذا العلم منكم خرج، فإن أنتم أعززتموه عز، وإن ذللتموه ذل، والعلم يؤتى ولا يأتى، فقال صدقت، أخرجوا إلى المسجد حتى تسمعوا مع الناس.
Kisah mereka dengan para khalifah dan lainnya terkenal dalam hal ini, sebagimana diriwayatkan bahwa Imam Malik bin Anas pernah berkata: “Aku masuk menemui Harun ar-Rasyid, lalu ia berkata kepadaku, ‘Wahai Abu Abdillah, seharusnya engkau sering datang kepada kami agar anak-anak kami dapat mendengar Al-Muwatta’.’ Maka aku berkata, ‘Semoga Allah memuliakan Amirul Mukminin. Sesungguhnya ilmu ini keluar berasal dari kalian (para pemimpin). Jika kalian memuliakannya, maka ia akan mulia. Dan jika kalian merendahkannya, maka ia akan hina. Ilmu itu didatangi, bukan ia yang mendatangi.’ Lalu Harun ar-Rasyid berkata, ‘Engkau benar.’ Maka ia memerintahkan agar orang-orang keluar menuju masjid untuk belajar bersama masyarakat.”
وقال الزهري هوان بالعلم ان يحمله العالم إلى بيت المتعلم،
Imam az-Zuhri berkata: “Termasuk bentuk kehinaan bagi ilmu adalah jika seorang alim yang membawanya ke rumah si murid.”
فإن دعت إلى ذلك ضرورة أو اقتضته مصلحة راجحة على مفسدة ابتذاله فلا بأس ما دامت الحال هذه، وعلى هذا يحمل ما جاء عن بعض السلف في هذا،
Namun, jika ada keperluan mendesak atau terdapat maslahat yang lebih besar daripada mudaratnya, maka tidak mengapa. Oleh karena itu, riwayat-riwayat dari sebagian ulama salaf yang menyelisihi prinsip ini dapat ditafsirkan dengan kondisi yang memerlukan.
وبالجملة من أجل العلم أجله الله، ومن اهانه اهانه الله، وهذا معاين.
Kesimpulannya, siapa yang memuliakan ilmu, maka Allah akan memuliakannya. Dan siapa yang merendahkannya, maka Allah akan merendahkannya. Ini adalah sesuatu yang dapat disaksikan.
وقال وهب بن منبه كان العلماء قبلنا قد استغنوا بعلمهم عن دنيا غيرهم رغبة في علمهم، فأصبح أهل العلم اليوم يبذلون لاهل الدنيا علمهم رغبة في دنياهم، فاصبح اهل الدنيا قد زهدوا فى علمهم لما رأوا من سوء موضعه عندهم.
Wahb bin Munabbih berkata: “Para ulama sebelum kita merasa cukup dengan ilmu mereka sehingga tidak membutuhkan dunia orang lain, karena mereka menginginkan ilmu itu sendiri. Namun, kini para ulama justru menawarkan ilmu mereka kepada orang-orang dunia demi mendapatkan dunia mereka. Akibatnya, orang-orang dunia pun meremehkan ilmu mereka ketika melihat betapa rendahnya posisi ilmu itu di mata para ulama tersebut.”
ولقد أحسن القاضي أبو الحسن الجرْجاني حيث قال:
Sungguh indah apa yang dikatakan oleh Qadhi Abu al-Hasan al-Jurjani:
ولم أقضِ حَقَّ العلمِ إن كنتُ كلَّما + بدا طمعٌ صَيَّرتُه ليَ سُلَّما
Aku belum menunaikan hak ilmu jika setiap kali
Tampak padaku ambisi, kujadikan ia sebagai tangga.
ولم ابتَذَل فى خِدمةِ العلمِ مُهجَتي + لأخدمَ مَن لاقيتُ لكنْ لأُخدَما
Tak ku berikan jiwaku dalam melayani ilmu,
Demi melayani siapa pun yang kutemui, melainkan agar aku sendiri dilayani.
ااغرسه عزا وأجنيهِ ذِلَّةً + إذًا فاتباعُ الجهلِ قد كان أسلما
Aku menanamnya dengan kemuliaan, lalu aku memetiknya dengan kehinaan?
Jika demikian, mengikuti kebodohan tentu lebih selamat!
ولو أنَّ أهلَ العلمِ صانوهُ صانَهم + ولو عظَّموهُ في النفوسِ لعَظُما
Seandainya para ulama menjaga ilmunya, ilmu pun akan menjaga mereka.
Dan jika mereka mengagungkannya dalam hati, niscaya ia akan menjadi agung.
ولكنْ أهانوهُ فهانَ ودنَّسوا + مُحَيَّاهُ بالأطماعِ حتى تجهَّما
Namun mereka merendahkannya, maka ia pun menjadi hina.
Mereka mengotori wajah ilmu dengan ambisi, hingga tampak muram dan suram.
Agus Amar Suchaemi AlBarbasy (Gus Amar), Nyantri di Lirboyo Alumni IKAHA (UNHASY) Tebuireng Jombang.