Sidoarjo | LIPUTAN9NEWS
Pada umumnya rutinitas berqurban bagi kalangan masyarakat muslim menjadi spirit-spiritualitas tersendiri. Dan, tak luput hal ini mewarnai ruas perjalanan dan lorong waktu dalam dunia sufistik.
Terkait hal tersebut, ada suatu cerita yang cukup menarik perhatian. Suatu ketika ada seorang Kiai sepuh mendatangi santri kesayangannya. Sang santri ini kebetulan pada waktu itu sedang asyik sekali memberi makan beberapa kambing di kandangnya.
Niatnya santri memelihara kambing ini memang dipersiapkan untuk berqurban idul adha setiap tahunnya.
Dalam dialognya ini, Sang Kiai Sepuh menyempatkan bertanya, “kamu berqurban berapa kambing, Hari Raya Idul Adha tahun ini, Kang…?”
Sang Santri tersebut menjawab dengan PD-nya (Percaya Diri-nya) “Alhamdulillah Kiai, tahun ini saya bisa menyembelih kambing sebanyak tujuh ekor, dan tahun ini lebih banyak dari tahun-tahun yang lalu.”
“Rutinitas berqurban ini sudah berapa tahun kamu lakukan, Kang?.. ”tanya Sang Kiai Sepuh.
Sang Santri tersebut menjawab dengan lugunya, “Al-hamdulillah Kiai, saya melakukan qurban sudah sepuluh tahun berjalan, ma’af ini semua tentunya berkat do’a Kiai sehingga usaha saya semakin lancar jaya dan tiap tahun seperti ini bisa berbagi dengan saudara dan tetangga khususnya….melalui qurban ini”
Jawaban Sang Santri sangat kompleks dengan kepercayaan dirinya. Lalu Sang Kiai tersebut menimpali dengan bahasa khasnya ceplas-ceplos, “Sebetulnya ini aneh sekali bin ajaib Kang….he.he.he, sudah sepuluh tahun berqurban, tapi sifatmu tidak berubah sama sekali, astagfirullahaladzim…Kang !!…..ini ceritanya gimana ini… Apa kamu tidak faham esensi dari kurban itu sendiri Kang???…….”
Sang Santri tersebut tertunduk dengan malunya. Lalu ia bertanya, “terkait hal itu, saya tidak faham Kiai, mohon bimbingan dan petunjuknya Kiai???………”
Dengan tegasnya, lalu Sang Kiai berkata, “Tolong diingat-ingat selalu, ketika kamu berqurban dan menyembelih kambing tersebut, apakah kamu juga meniatkan untuk menyembelih nafsu kalbiyah (sifat anjing) seperti suka menghina, mencela, memandang rendah orang lain, Kang?……”
Sang Santri dengan malunya lagi, menjawab dengan lugunya, “ma’af,….tidak Kiai….”
“….Ini sama artinya kamu belum berqurban, Kang…..” Jawab Sang Kiai, dengan tegasnya.
Kemudian Sang Kiai melanjutkan perkataannya, “…..Kang, ketika kamu berqurban dan menyembelih kambing tersebut, apakah kamu meniatkan dalam dirimu untuk menyembelih nafsu himariyah (jiwa keledai) seperti sifat yang pintar bicara kesana-kemari tetapi tidak memiliki ilmu yang cukup alias bodoh dan tolol (botol)?…….”
Sang Santri semakin tertunduk dengan malunya, menjawab “ma’af,….tidak Kiai…..”
“….Laaaaa….berarti kamu ini belum berqurban, Kang….he.he.he” Jawab Sang Kiai.
Kemudian Sang Kiai melanjutkan berkata, “Kang…ketika kamu berqurban dan menyembelih kambing tersebut, apakah kamu meniatkan untuk menyembelih nafsu sabu’iyah (jiwa serigala), yakni yang suka menyakiti orang lain seperti suka memfitnah dan adu domba dengan kejinya?……”
Sang Santri tersebut menjawab dengan semakin malunya, “ma’af,….tidak Kiai…..”
“…..Loooooo….berarti kamu belum berqurban…..Kang” Jawab Sang Kiai.
Lalu Kiai berkata lagi, “….Kang, Ketika kamu berqurban dan menyembelih kambing tersebut, apakah kamu meniatkan untuk menyembelih nafsu fa’riyah (jiwa tikus) yang suka ngambil hak orang lain, korupsi, kolusi, nepotisme, dan menilep uang orang lain atau rakyat yang sudah diamanahkan kepada dirimu selama ini?…..”
Sang Santri tersebut menjawab menjawabnya dengan bergetar, “ ma’af…tidak Kiai…..”
“…..Kang, berarti kamu ini belum berqurban……” Jawab Sang Kiai.
Kemudian Sang Kiai melanjutkan berkata, “Kang…..ketika kamu berqurban dan menyembelih kambing tersebut, apakah kamu juga meniatkan untuk menyembelih nafsu dzatis-suhumi wa hamati wal-hayati wal-aqrabi (jiwa binatang penyengat berbisa sebagai ular dan kalajengking) seperti suka menyindir orang lain, menyakiti hatinya, iri, dengki, dendam membara, dan semacamnya ini, Kang?….”
Sang Santri tersebut menjawab dengan terbata-bata, “….ma’af, tidak Kiai…..”
“Loooo..looooo…ini berarti kamu belum berqurban….Kang…..” Jawab Sang Kiai.
Kemudian Sang Kiai berkata lagi, “…..Kang, Ketika kamu berqurban dan menyembelih kambing tersebut, apakah kamu meniatkan untuk menyembelih nafsu khinziriyah (sifat babi) seperti suka melakukan dosa dan selalu berbuat maksiat tanpa memikirkan akibatnya, Kang?…..”
Sang Santri tersebut menjawab dengan deraian air matanya, “….ma’af….ma’af tidak Kiai.”
“Bahaya ini…berarti kamu belum berqurban, Kang….” Jawab Sang Kiai dengan semakin tegasnya.
Kemudian Sang Kiai berkata, “Kang, ketika kamu berqurban dan menyembelih kambing tersebut, apakah kamu meniatkan untuk menyembelih nafsu thusiyah (nafsu Burung merak) seperti sifat yang suka menyombongkan dirinya, suka pamer kepunyaan, merasa paling hebat, membusungkan dada dengan bangganya…?”
Sang Santri tersebut menjawab hampir seluruh tubuhnya bergetar, “ ma’af…ma’af…tidak Kiai.”
“Ini sangat berbahaya….berarti kamu belum berqurban, Kang” Jawab Sang Kiai.
Kemudian Sang Kiai berkata lagi, “…Kang, Ketika kamu berqurban dan menyembelih kambing tersebut, apakah kamu meniatkan untuk menyembelih nafsu jamaliyah (nafsu unta) seperti sifat tidak memiliki sopan santun, kasih sayang, tak peduli terhadap penderitaan orang lain, yang penting dirinya selamat, bahagia sudah cukup?……”
Sang Santri tersebut menjawab dengan nada bicaranya semakin serak, “ma’af…ma’af banget…tidak Kiai.”
“Amat sangat bahaya…..ini berarti kamu belum berqurban,…Nak.” Jawab Sang Kiai dengan semakin tegasnya.
Kemudian Kiai meneruskan perberkataannya, “Kang, ketika kamu berqurban dan menyembelih kambing tersebut, apakah kamu meniatkan untuk menyembelih nafsu dubbiyah (jiwa beruang), seperti meskipun memiliki badan yang kuat dan gagah, tapi akalnya sangat dungu dan dangkal?……”
Sang Santri tersebut menjawab dengan badan terasa tidak bertenaga, “ma’af….ma’af….ma’af banget….tidak Kiai.”
“Ini semakin tambah bahaya….ini berarti kamu belum berqurban, Kang….” Jawab Sang Kiai dengan nada tegasnya.
Kemudian Sang Kiai berkata lagi, “Ketika kamu berqurban dan menyembelih kambing tersebut, apakah kamu meniatkan untuk menyembelih Nafsu qirdiyah (jiwa monyet), seperti ketika diberi ia mengejek, tak diberi malah mencibir, memiliki kebiasaan sinis, bahkan suka melecehka dan memandang dengan entengnya?……”
Sang Santri tersebut menjawab dengan badan sudah mau pingsan, “….ma’af….ma’af…ma’af tidak Kiai.”
“Ingat Kang….ini berarti kamu belum berqurban….” Jawab Sang Kiai tegasnya.
Kemudian Sang Kiai berkata, “ingat selalu Santriku, barangsiapa yang sudah bisa menyembelih sifat-sifat kebinatangan yang ada dalam dirinya selama ini, maka ini berarti dia telah bisa mengalahkan hawa nafsunya, oleh karena itu dialah sebetulnya orang yang telah memahami hakekat berqurban dengan sebenarnya.”
Sang Kiai melanjutkan perkataannya sambil menujukkan jari telunjuknya ke Santri kesayangannya tersebut “……ingat selalu Santriku, ini pelajaran kehidupan untuk mendapatkan ridha-nya, jika hawa nafsumu sudah dikalahkan, maka hatimu selalu dilingkupi, diputari dan dikelilingi oleh yang namanya dzikrullah (baik dalam keadaan duduk, berdiri, maupun bergerak atau aktivitas bekerja). Sehingga kamu nantinya layak dikumpulkan bersama orang-orang yang akan dilantik dan kukuhkan di hadapan ka’bah dengan memakai baju ihram, sebagai pertanda kamu dan orang-orang tersebut sudah bisa mensucikan jiwanya dengan sebenar-sebenarnya.”
Mendengarkan hal tersebut Sang Santri berasa lunglai, dan akhirnya pingsan……. he.he.he
Semoga bermanfaat. Dan kita bisa mengambil hikmahnya…
Dr. Heru Siswanto, M.Pd.I., Ketua Program Studi dan Dosen PAI-BSI (Pendidikan Agama Islam-Berbasis Studi Interdisipliner) Pascasarjana IAI Al-Khoziny Sidoarjo; Dosen PAI-Terapan Poltek Pelayaran Surabaya; Pengurus Lembaga Takmir Masjid PCNU Sidoarjo; Ketua Lembaga Dakwah MWCNU Krembung.
more [url=https://abstractsandessaysforstudents.help/]best online essay writing services[/url]