Banten, LIPUTAN 9 NEWS
Ketika saya diminta untuk menyampaikan orasi budaya, yang dalam hal ini materinya adalah sastra, wabil khusus puisi, bukan berarti saya sanggup memilih tema apa yang ingin saya bicarakan, termasuk dalam soal puisi dan penyair. Sehingga tema yang ingin saya bahas ini, yaitu apa puisi dan siapa penyair, sesungguhnya upaya saya sendiri untuk bertanya dan kalau bisa menemukan jawaban sementara.
Bagi saya pribadi, sekedar contoh, kepenulisan puisi dan kepenyairan adalah masalah keterlibatan saya dengan kehidupan sehari-hari yang saya jalani. Saya tidak tahu bagi para penyair lain. Bahwa menulis puisi adalah juga menyangkut kerja mengolah bahasa menjadi ‘buah seni’ adalah benar adanya, namun tentu saja, saya menggali bahan-bahan perenungannya dari pengalaman dan perasaan bathin, di mana bahasa itu berusaha saya beri konteks hidup dan kehidupannya.
Begitu pula, dalam sastra kritik sosial, upaya untuk mengangkat polemik mestilah didasarkan pada dasar dan argumen yang kuat.
Dalam konteks resepsi dan pembacaan, ada beberapa resiko membaca puisi naratif yang panjang jika puisi bersangkutan kurang merayu dan menarik para pembacanya untuk ikut terlibat dalam peristiwa dan isu yang diangkat puisi bersangkutan. Misalnya para pembaca akan jenuh dan merasa lelah, dan lalu menghentikan pembacaan sebelum mereka membaca keseluruhan sebuah puisi atau malah mereka akan enggan meneruskan pembacaan bila baris-baris pertamanya dirasa tidak menarik bagi mereka.
Kita, para penulis, tak mungkin mengingkari bahwa kita ingin berdialog dengan para pembaca karya-karya kita. Mereka adalah para penerima pesan kita ketika kita hendak mengutarakan pendapat dan pandangan kita sejauh menyangkut hidup dan soal-soal lainnya. Tetapi tentu juga, puisi adalah substansi estetik yang berbeda dengan bahasa komunikasi biasa. Puisi adalah seni, dan karena ia seni, disampaikan dengan unsur keindahan.
Acapkali puisi-puisi singkat yang padat makna lebih memukau dan mempesona bagi para pembaca, meski tak menutup kemungkinan bahwa puisi naratif yang panjang sanggup mengajak para pembaca untuk terlibat mengiyakan atau bahkan menolak isu dan pandangan yang ada dalam sebuah puisi, tergantung pada kepiawaian penyair mengolah bahasa, membangun retorika dan stilistika narasi dan daya ungkap.
Sebenarnya, saya sendiri ragu, apakah prosentasi pembaca puisi di jaman ini meningkat atau malah menurun. Jaman ketika orang-orang lebih sibuk memainkan jari-jemari tangan mereka dan memfokuskan mata serta menghabiskan waktu mereka pada android: berselancar di dunia maya dan jejaring sosial dunia mayantara. Namun keraguan saya itu sedikit terobati ketika ternyata masih ada anak-anak muda yang menulis puisi dan bahkan menerbitkan buku puisi.
Saya mengajukan pertanyaan tersebut karena menurut saya puisi lahir bersama jamannya. Puisi lahir dan ditulis oleh penyair dari kehidupan, dalam arti puisi tidaklah lahir dari ruang hampa yang tercerabut dari kondisi manusiawi yang berjalan bersama sejarah, bersama kondisi-kondisi sosial-kultural-politis, bahkan eksistensial. Singkat kata, puisi lahir dari rahim sejarah dan kondisi kemanusiaan sebagai sebuah refleksi dan sikap seorang penyair menjalani dan memandang hidup. Karena itu tak jarang puisi juga mencerminkan ideologi dan pandangan-pandangan tertentu penyairnya.
Dalam kadar yang demikian, sudah merupakan sesuatu yang lazim bahwa puisi adalah cerminan geliat dan ruh hidup. Acapkali puisi merupakan modus mengada dan metode seorang penyair untuk mengajukan dan menawarkan pandangan dan sikap hidup itu sendiri. Puisi digali dan ditulis dari relung jiwa kehidupan dan keseharian manusiawi bersama sejarah, dari pertarungan dan perjalanan manusia sebagai ‘Sang Pengada’ dalam lautan banalitas dan kedalaman sejarah. Karena itulah puisi acapkali mengandung kearifan.
Sulaiman Djaya, penyair di Kubah Budaya