Inilah kisah pilu tinta yang merindukan kertas, dan kata yang tak mampu bersua dengan pembaca tercinta
JAKARTA | LIPUTAN9NEWS
Cuaca Indonesia di masa politik Orde Baru, rangkaian kata dapat menjadi sesuatu yang berbahaya. Kalimat yang terlalu jujur bisa mengundang kematian media pers, pembredelan. Sementara pandangan opini yang menerangi gelapnya fakta, bisa mengundang Kopkamtib (Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) datang menjemput paksa.
Seperti kata Goenawan Muhammad bahwa di masa itu, berita yang tak dimuat bisa lebih berbahaya dari berita yang terbit. Di masa itu, jurnalis bukan sekadar profesi kuli tinta, ia adalah ujian keberanian di tengah negara yang alergi pada kritik.
Pemerintahan Soeharto seperti membangun sistem yang menjadikan pers bukan lagi pilar keempat demokrasi, melainkan juru bicara kekuasaan. Melalui mekanisme hukum, ekonomi, dan tekanan politik, negara mengatur bagaimana media berbicara dan kapan mereka harus diam.
Di bawah Soeharto, kebebasan pers dibungkus rapi dengan bingkai regulasi. Alat utama pengendali itu bernama Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Setiap media wajib memilikinya, dan Menteri Penerangan berhak mencabut izin itu kapan saja tanpa melalui proses hukum. Dengan kata lain, satu surat dari Departemen Penerangan bisa membuat surat kabar berhenti hidup.
Dalam buku The Press in New Order Indonesia yang di tulis oleh David Hill (1994), pemerintahan Soeharto menancapkan cakar cengkeraman ke pers melalui aturan izin usaha tersebut. Pola ini untuk mengikat media dan pers tidak hanya bergantung pada aspek ekonomi, tetapi juga patuh secara politik. Pers dan jurnalis juga menghadapi kebingungan, antara menulis tentang kebenaran yang berisiko, atau menyesuaikan tulisan dengan keinginan penguasa demi mendapatkan keuntungan.
Upaya Soeharto dan rezimnya tidak berhenti di sana. Pemerintahannya juga mulai memperluas pengaruh dengan menguasai organisasi wartawan Indonesia yang dikenal sebagai Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). PWI yang didirikan pada tahun 1946 sebagai lambang kebebasan pers, setelah peristiwa Malari 1974, dikuasai oleh pemerintah. PWI kemudian dijadikan kepanjangan tangan rezim, dan inilah salah satu faktor yang kemudian melahirkan Asosiasi Jurnalis Independen (AJI) di kemudian hari.
Negara mengatur siapa yang boleh disebut wartawan dan siapa yang dianggap penghasut melalui PWI. Kebijakan ini sejalan dengan politik loyalitas Orde Baru, yang mengharuskan semua organisasi sosial tunduk pada ideologi Pancasila dengan versi tafsir tunggal pemerintah. Kritik terhadap rezim dianggap sebagai ancaman bagi negara.
Dalam keadaan seperti itu, praktik self-censorship muncul. Wartawan dididik untuk menulis dengan banyak jeda dan redaktur dididik untuk menghapus kalimat sebelum sensor dari pemerintah melakukannya.
Dosa-Dosa Pembredelan, dari Malari hingga Tempo
Pembredelan menjadi agenda rutin setiap kali pemerintah merasa terusik oleh kata. Salah satu yang pertama terjadi pada 1974, setelah peristiwa Malari (Malapetaka Lima Belas Januari). Pemerintah menuding sejumlah media memperkeruh suasana dengan pemberitaan yang dianggap memanas-manasi publik. Harian Kami, Abadi, dan Indonesia Raya dibredel.
Menariknya adalah, alasan pemerintah selalu sama, dalihnya untuk menjaga stabilitas nasional. Padahal, yang dijaga sebenarnya adalah citra pemerintah di mata publik.
Kasus pembredelan kemudian terulang kembali pada tahun 1986, ketika harian Sinar Harapan dicabut SIUPP-nya setelah menerbitkan berita yang mengkritik kebijakan ekonomi pemerintah. Kemudian, pada 1994, pembredelan kembali dilakukan dan barangkali ini yang paling terkenal. Pembredelan rezim terhadap media Tempo, Detik, dan Editor dilakukan secara bersamaan, karena memberitakan dugaan korupsi dalam pembelian kapal perang bekas dari Jerman.
Pemberitaan yang memuat kritik terhadap kebijakan tersebut rupanya sangat menyinggung rezim. Kementerian Penerangan yang kala itu dipimpin Harmoko menuduh ketiga media tersebut menyebarkan berita yang melawan pembangunan nasional. Alhasil, dalam semalam tiga media besar itu lenyap dari peredaran.
Krishna Sen dan David Hill (2000) dalam Media, Culture and Politics in Indonesia, menyebut peristiwa itu sebagai puncak kontrol politik terhadap pers di era Orde Baru. Pembredelan Tempo mengguncang ruang publik. Pasca pembredelan inilah kemudian semangat perlawanan semakin meluas. Wartawan-wartawan dan kolumnis mulai kembali mengorganisir diri dan mendirikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) pada 7 Agustus 1994.
Peristiwa ini menandai fase baru perlawanan terhadap pengekangan rezim pada kebebasan pers. Pemerintah menanggapinya dengan memasukkan nama AJI dalam daftar organisasi terlarang. Meski begitu, benih perlawanan sudah tumbuh, media bawah tanah bermunculan, dan rumor menjadi bentuk baru jurnalisme rakyat pada masa itu.
Motif Politik dan Ekonomi di Balik Pembredelan
Dari sejumlah kasus, media yang menjadi korban adalah yang mengusik kemapanan kepentingan politik dan ekonomi para elite dan kroni penguasa. Dalam penelitian Stanley (2008), dijelaskan bahwa pembredelan sering kali dialamatkan kepada media yang mengungkap konflik di tubuh militer, kritik terhadap proyek-proyek pembangunan, atau dugaan korupsi yang dilakukan pejabat.
Dengan kata lain, pembredelan menjadi aktivitas politik penguasa untuk melindungi dan menjaga kelangsungan kekuasaan Orde Baru dan jaringan bisnis yang terhubung dengan keluarga Cendana. Pertimbangan politik dan ekonomi bisa dikatakan sebagai motif utama dalam praktik pembredelan media.
Dengan mengeliminasi media yang kritis, pemerintah membuka peluang bagi media yang mendukung pemerintahan, yaitu media yang hanya membuat berita keberhasilan, bukan kegagalan. Tidak mengherankan jika laporan tentang korupsi atau pelanggaran hak asasi manusia hampir tidak muncul di media utama di era tersebut.
Jurnalis yang kritis terpaksa mencari jalan lain, menulis cerpen, puisi, atau kolom satir sebagai bentuk pelarian intelektual dan perlawanan. Dalam konteks tersebut, sastra menjadi tempat perlindungan bagi kebenaran. Maka tidak heran, dari masa ini kemudian banyak karya sastra kritis yang muncul pada dekade 1980-an hingga 1990-an lahir.
Pembungkaman Pers Apakah Hanya di Indonesia?
Apa yang dilakukan rezim Soeharto tidak berdiri sendiri dalam panggung sejarah. Pada dekade 1960–1980-an, di banyak negara berkembang, pembredelan media justru seperti menjadi program wajib bagi negara. Inilah cara ampuh menjaga kuasa dengan membungkam kritik untuk menyembunyikan praktik penyalahgunaan kekuasaan.
Di Filipina, Presiden Ferdinand Marcos mengumumkan darurat militer pada 1972. Bukan hanya itu, dengan brutal dan sistematis ia menutup lebih dari 300 media, termasuk surat kabar terkemuka seperti The Manila Times, Philippine Free Press, dan The Daily Mirror. Media hanya boleh beroperasi jika dimiliki oleh kroni politik Marcos, seperti Roberto Benedicto yang menguasai Daily Express dan jaringan Channel 9. Dengan begitu, berita bukan lagi cermin publik, tetapi corong propaganda yang menyanjung revolusi versi rezim.
Hal serupa terjadi di Chile pasca-kudeta Augusto Pinochet (1973). Harian kiri El Clarín disita dan dibungkam hanya sehari setelah militer mengambil alih kekuasaan. Redaksi La Nación diambil alih pemerintah dan dipaksa menerbitkan berita sesuai garis junta. Wartawan yang menolak dipenjara, diasingkan, bahkan hilang. Pinochet menyebutnya sebagai pembersihan ideologi, padahal itu hanyalah pembungkaman terhadap pikiran yang berbeda.
Bagaimana dengan di Argentina? Bersamaan dengan masa Orde Baru di Indonesia, Argentina di tahun 1976–1983 ketika Junta Militer berkuasa, peristiwa yang memilukan terjadi, lebih dari 50 jurnalis dibunuh atau ‘dihilangkan’ dalam periode yang dikenal sebagai Dirty War. Selain itu juga melakukan pembredelan terhadap surat kabar seperti La Opinión, sementara media Clarín dan La Nación ditekan untuk mendukung rezim demi bertahan hidup. Media diubah menjadi alat legitimasi politik, bukan pengawas kekuasaan.
Kita bergeser ke Asia Timur, di Korea Selatan, pemerintahan militer Chun Doo-hwan (1980–1987) menutup lebih dari 170 media setelah kudeta militer 1980. Harian Dong-A Ilbo dan The Hankyoreh menjadi simbol perlawanan karena menolak tunduk pada sensor negara. Liputan tentang pembantaian Gwangju (1980) disensor ketat, dan jurnalis yang nekat mempublikasikan fakta diburu oleh aparat.
Pola represi ini menunjukkan bahwa banyak rezim otoriter menggunakan pedoman yang sama, kendalikan izin, awasi narasi, dan gunakan keamanan nasional sebagai dalih untuk membungkam. Indonesia di bawah Orde Baru memakai SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) sebagai alat administratif pembungkam. Sementara Chile memakai lembaga sensor militer, Filipina dan Korea menggunakan hukum darurat militer. Subtansinya sama, membungkam pers, hanya beda busana saja.
Selanjutnya, yang menarik juga adalah adanya kesamaan dalam perlawanan. Pembungkaman pers di negara-negara tersebut pada akhirnya memicu perlawanan walaupun masih secara senyap. Misalnya, underground press di Filipina, buletin rahasia di Chile dan Argentina, dan media alternatif seperti Hankyoreh di Korea Selatan yang didirikan oleh jurnalis yang menjadi korban pembredelan.
Gerakan serupa juga terjadi di Indonesia, termasuk perlawanan seperti melalui sastra dan berdirinya AJI (Aliansi Jurnalis Independen) pada tahun 1994.
Warisan Pembungkaman di Era Reformasi
Reformasi 1998 membuka keran kebebasan pers, tapi warisan mental represi tak mudah hilang. Kini, ancaman terhadap media datang dalam bentuk yang lebih halus: gugatan hukum, serangan digital, dan konsentrasi kepemilikan.
Menurut Reporters Without Borders (RSF), indeks kebebasan pers Indonesia 2025 berada di posisi 127 dari 180 negara, sementara tahun 2024 di urutan 111, 108 di tahun 2023 dan 117 pada 2022. Data tersebut mencerminkan adanya kecenderungan yang memburuk. Barangkali ini disebabkan oleh maraknya kekerasan terhadap jurnalis dan tekanan ekonomi terhadap media. Mari kita ingat catatan kasus kekerasan terhadap jurnalis dari AJI.
Sementara itu, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat kasus kekerasan terhadap jurnalis sebanyak 67 kasus pada 2022 dan naik menjadi 89 kasus kekerasan sepanjang 2023, sementara di 2024 tercatat 73 kasus. Pola kekerasan beragam, mulai dari intimidasi, peretasan, hingga pelaporan menggunakan UU ITE. Bentuk represi berganti rupa, tapi semangatnya masih sama: membungkam suara kritis.
Di lain sisi, terjadinya praktik konsentrasi kepemilikan media di Indonesia berdampak signifikan pada proses demokrasi. Situasi ini terjadi karena industri media telah tersentralisasi ke tangan segelintir konglomerat yang seringkali memiliki kepentingan politik atau ekonomi tertentu. Kondisi ini tidak jauh berbeda dengan era Orde Baru.
Konsekuensinya, konsentrasi kepemilikan ini berisiko mendorong persebaran informasi dan opini yang bias. Media pun dapat berubah menjadi kendaraan yang digunakan oleh oligarki untuk mendukung kepentingan politik atau bisnis pemiliknya.
Hal ini secara serius mengancam jurnalisme independen, mengurangi fungsinya sebagai saluran informasi kritis yang objektif, dan menghambat upaya untuk melakukan investigasi mendalam. Konsekuensinya, konsentrasi kepemilikan ini berisiko mendorong persebaran informasi dan opini yang bias.
Media pun dapat berubah menjadi kendaraan yang digunakan oleh oligarki untuk mendukung kepentingan politik atau bisnis pemiliknya. Hal ini secara serius mengancam jurnalisme independen, mengurangi fungsinya sebagai saluran informasi kritis yang objektif, dan menghambat upaya untuk melakukan investigasi mendalam.
Agar Kata Tak Mati Muda
Masa lalu pers ibarat tinta yang merindukan kertas, dan deretan kata yang dihilangkan sebelum jumpa dengan pembaca. Sejarah pilu ini tidak boleh kita lupakan, khususnya era Orde Baru masa kepemimpinan Soeharto.
Masa Orde Baru menunjukkan bagaimana penguasa bisa menggunakan hukum dan ekonomi untuk mengendalikan informasi. Pembredelan bukan sekadar tindakan administratif. Ia membawa pesan bahwa pemerintahan tidak menghendaki untuk diawasi.
Meski begitu, perjalanan sejarah di banyak waktu dan tempat memberikan gambaran, bahwa setiap upaya pembungkaman akan disusul dengan perlawanan. Sebab kata, pada akhirnya, selalu menemukan jalannya sendiri dan opini membuka banyak makna.
Sejarah media Indonesia adalah tentang keberanian melawan diam, dari Sinar Harapan, Tempo, Detik, hingga AJI sampai media online independen era modern. Saat ini ancamannya bisa jadi bukan lagi mencabut SIUP. Namun, masalah yang sama adalah memastikan bahwa jurnalisme bukan hanya alat kekuasaan atau logika pasar.
Di masa sekarang, mungkin kita tidak lagi bicara tentang pembredelan pers, tapi tentang represivitas dan kriminalisasi pada pers, penghapusan akun, shadow banning, buzzer atau sensor algoritmik. Tapi esensinya tetap sama, ada ketakutan dari rezim, dan siapa yang takut pada kata, sebenarnya takut pada kebenaran.
Dan selama masih ada satu pena yang berani menulis dan satu pembaca yang mau peduli dan terus berpikir, rindu akan dibayar tuntas. Kata dan opini serta pembaca akan selalu menemukan cara untuk saling jumpa.
Kepemimpinan Soeharto memang telah berakhir, tapi bukan berarti praktik demikian sudah hilang. Sejarah memilukan pers di era Soeharto tidak boleh hilang dari ingatan.
Mahbub Ubaedi, alumnus Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung, pengamat media
Artikel dengan judul “Orde Baru Soeharto dan Dosa-dosanya terhadap Pers Kita” sebelumnya telah tayang di NU Online pada 6 November 2025 dengan judul yang sama.
























