Kalau kita mempelajari para ahli tafsir pada teks-teks agama, baik dari al-Qur’an maupun al-Sunnah, maka selalu dijumpai dari generasi ke generasi ada dua pemahaman, yaitu tekstual dan kontekstual. Pemahaman seperti itu lebih berkembang dengan pesat pada masa sekarang ini karena lajunya teknologi informasi. Pemahaman seperti itu dialami oleh para sahabat Nabi, para tabiin, dan generasi penerusnya, baik dari kalangan ulama salaf, maupun ulama khalaf.
Pada masa hayat Rasulullah s.a.w. perbedaan pemahaman seperti ini pernah terjadi, misalnya dalam memahami hadits berikut:
…لا يُصَلِّيَنَّ أحَدٌ العَصْرَ إلَّا في بَنِي قُرَيْظَةَ
Janganlah shalat Asar salah seorang di antaramu sehingga sampai di Bani Quraidzah… (HR. Bukhari, 4119).
Perintah ini disampaikan Nabi kepada para sahabatnya agar melakukan perjalanan ke Bani Quraizah dan tidak melaksanakan shalat Ashar sebelum sampai ke tempat itu. Sedangkan Nabi s.a.w. sendiri tidak ikut rombongan mereka. Sampai di tengah perjalanan, ternyata masuk waktu Asar. Menghadapi hal ini, para sahabat berselisih pendapat. Kelompok pertama memahaminya secara tekstual atau pemahaman lafziyah dari teks hadits tersebut. Dengan demikian, mereka tidak mau melakukan shalat Asar sebelum sampai ke Bani Quraizah. Setelah sampai Bani Quraizah, baru mereka melakukan shalat Asar tersebut.
Kelompok kedua, memahami teks hadits itu secara kontekstual, yaitu memahami maksudnya, bukan lafadznya. Mereka memahami, meskipun ada perintah Nabi seperti itu, mereka memahami kalau sudah masuk waktu, maka segera shalat, meskipun belum sampai ke Bani Quraizah. Mereka memahami umumnya perintah shalat bahwa kalau sudah masuk waktu, segera melaksanakan shalat dan afdalnya ada di awal waktu.
Menghadapi kenyataan ini, para sahabat berbeda pandangan. Sebagian dari mereka shalat sebelum sampai Bani Quraizah, dan sebagian lain baru melaksanakan shalat Asar setelah sampai Bani Quraizah. Ketika hal ini diinformasikan, ternyata Nabi s.a.w. tidak menyalahkan salah satunya. Kadua kelompok yang berbeda itu sama-sama dibenarkan.
Kalau kita mempelajari berbagai penafsiran dari ayat-ayat al-Qur’an dan al-Sunnah, banyak didapati perbedaan pandangan seperti itu dari masa ke masa yang dilakukan oleh ahli tafsir dan ahli hadits. Kedua penafsiran itu merupakan kekayaan ilmiah yang akan memudahkan para pembacanya untuk memilih pendapat mana yang sesuai dengan pilihanya masing-masing, asal tetap berpegang teguh pada kaidah-kaidah penafsiran yang telah ditetapkan.
Dr.KH. Zakky Mubarok, MA., Dewan Pakar Lajnah Dakwah Islam Nusantara (LADISNU) dan Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)