JAKARTA | LIPUTAN9NEWS
Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) mengungkap usaha-usaha PBNU untuk terus mendukung kemerdekaan Palestina dengan berbagai cara.
Di depan para kiai, nyai, santri, dan alumnus Ma’had Aly Situbondo, Jawa Timur, pada Sabtu, 6 September 2025.Gus Yahya diminta menjelaskan latar belakang di balik kontroversi PBNU mengundang Peter Berkowitz—akademisi yang kemudian diketahui pro-zionis. Gus Yahya meminta maaf secara terbuka atas kekurangcermatannya itu.
Berikut adalah transkrip Forum Diskusi Ma’had Aly Situbondo terkait isu tersebut, termasuk tanggapan dari Wakil Rais ‘Aam PBNU KH Afifuddin Muhajir, dikutip dari NU Online, Rabu (17/09/2025).
Assalāmualaikum warahmatullāhi wabarakātuh. Alhamdulillāh wa syukrulillāh, was shalātu was salāmu alā Rasūlillāh Sayyidinā wa Maulānā Muhammad ibni Abdillāh, wa ‘alā ālihii wa shahbihi wa man wālāh. Amma ba’ad.
Yang mulia Wakil Rais ‘Aam (PBNU) KH Afifuddin Muhajir. Yang saya hormati para kiai, para nyai, para alumni Ma’had Aly, khususnya Kiai Misbah, yang sudah bermain dengan cerdik membuka pertemuan kita ini. [hadirin tertawa]. Alhamdulillah, sebetulnya saya berencana akan sowan besok karena hari ini ada kegiatan di Surabaya. Tapi tiba-tiba, perintah Wakil Rais ‘Aam (PBNU): “Berangkat sekarang!”. [hadirin tertawa dan tepuk tangan]. Tadi pagi acara kita buru-buru—dan akhirnya alhamdulillah bisa berangkat dari Surabaya jam setengah sebelas tadi, Kiai, sampai di sini sekitar jam tiga, sowan Kiai Azaim. Mau segera berangkat ke sini, mobilnya ngisi bensin enggak balik-balik, harus nunggu agak lama. Mohon maaf.
Tadi Kiai Afif juga mengirim pesan bahwa ini pertemuan dengan alumni Ma’had Aly dan beliau katakan bahwa saya harus siap menjawab pertanyaan tentang mengundang zionis [hadirin tertawa] dan pertanyaan tentang pertemuan dengan Presiden. Pesan beliau begitu. Nah, supaya saya tidak kebanyakan ngomong, saya langsung saja ngomong soal itu.
Kontroversi Mengundang Peter Berkowitz
Pertama, saya mengundang zionis itu memang sepenuhnya salah saya karena tidak peka terhadap latar belakang orang terkait dengan Israel dan zionis ini. Saya mengundang orang namanya Peter Berkovic, orang Amerika, karena dia ini adalah profesor di Stanford University, profesor yang ranking internasionalnya itu menurut QS WUR. Jadi QS World University Ranking itu nomor tiga di seluruh dunia. Dia ini profesor hukum dan pernah menjabat sebagai kepala divisi perencanaan kebijakan Kementerian Luar Negeri Amerika dan dia punya spesialisasi kajian tentang hak asasi manusia.
Saya undang dia karena di dalam beberapa tahun terakhir ini sejak 2022 saya mengkampanyekan suatu wacana, suatu khitab untuk mengajak masyarakat internasional ini kembali kepada konsensus internasional, mu’ahadah dualiyah, yang sudah terjadi sesudah Perang Dunia II, karena mu’ahadah dualiyah itulah yang menjadi dasar keseluruhan tatanan internasional yang berlangsung selama ini. Mu’ahadah dualiyah yang saya maksud itu adalah Piagam PBB. Satu. Itu Juni 1945. Dan, yang kedua, adalah Deklarasi Hak Asasi Manusia tahun 1948. Kenapa dua ini? Karena yang dua-duanya ini memuat tentang kesetaraan martabat dan hak dari setiap manusia sehingga penjajahan, penindasan berdasarkan ras, agama, dan lain-lain ini harus dihapuskan. Diskriminasi dan lain-lain harus dihapuskan, berdasarkan konsensus dua ini: kesetaraan hak dan martabat dari bagi setiap manusia. Berbagai masalah yang terjadi dalam kemelut dunia hari ini sebetulnya merupakan akibat dari ketidaksetiaan aktor-aktor tertentu, aktor-aktor dunia tertentu, termasuk Amerika, Rusia, Israel dan lain-lain, terhadap mu’ahadah-nya ini, terhadap konsensus ini.
Dan kalau orang ingin mencari penyelesaian bagi sekian banyak kemelut yang terjadi di seluruh dunia ini, sebetulnya jawabannya ada pada konsensus itu. Kalau kembali kepada konsensus Piagam PBB dan Deklarasi Hak Asasi Manusia, di situ ada normanya, di situ sudah ada garis-garis prinsipnya. Kalau kembali ke situ, semua kemelut sebetulnya bisa diselesaikan. Ini yang sedang saya kampanyekan secara internasional mulai dari membuat forum R20 di Bali, disusul dengan Muktamar Fikih Peradaban di Surabaya dan seterusnya, sampai sekarang.
Nah, orang yang namanya Peter Berkowitz ini adalah profesor hukum dengan spesialisasi kajian hak asasi manusia. Maka saya mengundangnya, dan memang saya tidak peka terhadap latar belakang pandangan-pandangannya tentang Zionisme dan lain-lain, sehingga saya tidak meneliti. Baru setelah dibongkar-bongkar orang, baru saya juga, “Loh, ternyata begitu.” Saya sendiri tidak meneliti sebelumnya, memang. Saya sendiri juga tidak terlalu dekat. Saya pernah ketemu dengan dia itu tahun 2022 awal dan kemudian bertemu lagi terakhir kemarin September 2024. Saya ketemu lalu saya tawari untuk memberikan kuliah di Jakarta. Saya tidak merhatikan latar belakangnya lebih jauh. Itu saja. Jadi sepenuhnya saya salah dalam soal ini.
Persoalannya kemudian kenapa saya tidak peka terhadap latar belakang orang ini, terkait dengan Israel dan Zionisme? Karena saya memang 14 tahun, sejak 2011, memang bergaul sembarangan. Saya ini bergaul secara sembarangan di berbagai belahan dunia, ketemu dengan segala macam orang. Saya ketemu dengan tokoh-tokoh radikal. Saya ketemu dengan aktor-aktor yang terkait, misalnya, dengan Rusia, dengan China, dengan Amerika dan ketemu dengan Yahudi-Yahudi, dengan orang-orang Israel, dan itu sejak lama. Saya kira Bapak-bapak, para kiai dan nyai-nyai juga tahu. Saya tahun 2018 ke Yerusalem, bahkan ketemu Netanyahu di sana, diundang untuk bertemu Netanyahu. Artinya saya memang lama bergaul sembarangan sehingga tidak memperhatikan lagi latar belakang orang.
Nah, kenapa saya bergaul sembarangan? Pertanyaan berikutnya: Kenapa saya bergaul sembarangan? Ada dua hal. Pertama, karena ada yang memberi contoh. [Hadirin tertawa] Iya, Pak Misbah, ya? [Iya, iya iya]. Karena ada yang memberi contoh. Jadi ada yang dicontoh. Kalau enggak ada yang dicontoh, saya mungkin enggak berani juga. Karena ada yang dicontoh, jadi saya berani bergaul sembarangan seperti itu.
Kedua, karena saya memang punya kegelisahan yang sudah lama sekali, kegelisahan yang memang dalam sekali, sampai saya pernah mengalami depresi sampai—pokoknya begitulah. Memang berat sekali kegelisahan itu. Kegelisahan saya itu adalah mencari jawaban tentang apa mau kita ini terkait dengan Palestin?
Kiai Afif, saya bikin macam-macam itu, R20 (Religion of Twenty), tadi disebut Humanitarian Islam, Fiqih Peradaban, dan sebagainya, itu yang di kepala saya, di balik kepala saya, itu terutama sebetulnya adalah soal Palestina. Karena saya melihat Palestina ini, berpuluh-puluh tahun Palestina ini menjadi cacat peradaban tempat kita hidup selama ini. Saya sampai mengatakan kalau dunia membiarkan apa yang dialami oleh orang-orang Palestina terus-menerus, saya tidak tahu apakah ini masih bisa disebut sebagai dunianya manusia. Karena apa yang terjadi kepada manusia-manusia Palestina itu sungguh-sungguh di luar kemanusiaan.
Maka saya lalu timbul pertanyaan-pertanyaan yang mendasar dan dalam sekali: kita ini mau apa? Mohon maaf, Kiai Afif. Kita ini mau perang enggak, sama Israel ini? Ini pertanyaan saya. Kalau dibilang perang, yang benar? Memang benar mau perang? Di pihak-pihak lain ngajak perang, kita tidak mau. Kita bukan cuma tidak mau, kita melarang orang untuk ikut. Ingat enggak? Hizbut Tahrir mengajak perang. Hizbut Tahrir mengajak perang melawan Israel. Kita bukannya tidak mau, kita melarang orang ikut Hizbut Tahrir. Al-Qaeda mengajak perang, kita bukan cuma tidak mau, kita melarang orang ikut Al-Qaeda. ISIS mengajak perang, kita juga melarang orang ikut ISIS. Kita mau apa ini? Apa kita tidak mau perang?
Nah, ini saya sebut sekalian mumpung ada Kiai Afif, ini maha guru Ushul (Fiqh) kita ini, supaya nanti beliau memberi jawaban pertanyaan-pertanyaan.
Kalau kita tidak mau perang, apa itu berarti kita mau damai? Kita mau mencari jalan keluar secara damai? Kita mau penyelesaian damai? Kalau penyelesaian damai, apa yang bisa kita lakukan untuk mencari penyelesaian damai itu? Berpuluh-puluh tahun sejak 1948, apa yang belum kita lakukan?
Kita demo, sudah. Kampanye mendukung Palestina, sudah. Kampanye mengecam bahkan mengutuk Israel, sudah. Mengirim bantuan, sudah. Diplomasi internasional, sudah. Istighotsah, sudah. Qunut nazilah, sudah, sampai sekarang. Apa yang belum kita lakukan?
Menurut saya, yang belum kita lakukan ketegasan kita: kita mau apa ini, mau perang apa mau damai? Nanti biar dijawab oleh Kiai Afif, kalau perang pertimbangannya seperti apa, kalau damai seperti apa?
Saya bisa menjelaskan panjang lebar kenapa kita tidak mau perang. Tapi maqam-nya maqam Kiai Afif itu untuk menjawab ini, biar beliau.
Kalau damai kita mau apa? Semua sudah kita lakukan. Kita teriak-teriak puluhan tahun itu, apa pengaruhnya terhadap keadaan orang-orang Palestina? Orang-orang Palestina sendiri, mereka juga masih mengalami kesulitan untuk mengkonsolidasikan diri di antara mereka. Kita ini mau apa?
Keyakinan saya ini, walaupun tadi sudah dibuat gimik oleh Pak Misbah, tapi itu ada benarnya karena sebetulnya saya sendiri yakin bahwa Gus Dur itu, saya kira masyhur sudah bagaimana Gus Dur berakrobat soal ini. Gus Dur orang pertama, yang orang NU, ketua umum NU pertama, mungkin orang NU pertama, yang berkunjung ke Israel, sebelum yang lain-lain. Itu sebelum Muktamar (NU) 1989, saya ingat betul. Gus Dur mendirikan yayasan bersama Simon Peres, Perdana Menteri Israel waktu itu. Ketika Gus Dur menjadi Presiden, itu Simon Perez datang secara rahasia dan ditemui di bandara, ngobrol sebentar, pulang lagi. [Hadirin tertawa]. Itu Gus Dur waktu jadi presiden.
Gus Dur itu, kita tidak usah ribut Gus Dur lah. Tapi Gus Dur melakukan semua itu, dan memang menjadi kontroversi karena beliau mencari jalan apa yang bisa dilakukan, karena tidak bisa kalau cuma apa teriak-teriak saja, itu tidak cukup, nyatanya tidak cukup. Beliau mencari jalan dengan apa pun yang mungkin. Itu keyakinan saya.
Nah, saya coba-coba lah, coba-coba nyari-nyari. Bedanya kan Gus Dur keramat saya tidak, begitu aja. Tapi saya juga nyari-nyari dengan segala macam cara. Dan saya pikir saya tidak punya risiko apa-apa karena saya tidak akan pernah ikut coblosan Pemilu sehingga saya tidak ada risiko. Kalau ikut coblosan Pemilu harus menghadapi demonstran-demonstran ini. Saya tidak resiko. Saya paling-paling dimarahi kiai. Dan kalau saya dimarahi kiai, sudah pantas saja wong saya santri. Dimarahi kiai, sudah pantasnya santri dimarahi kiai. Maka sebetulnya saya mencari jalan ke sana ke mari sehingga saya ketemu sembarang orang, tidak karu-karuan.
Ini mungkin, para kiai, teman-teman ini, enggak pernah berpikir ada orang Yahudi anti-Israel, misalnya; ada Rabi Yahudi yang sangat kritis mengecam ajaran Yahudi, itu ada, yang begitu-begitu itu ada. Orang itu macam-macam. Ada orang Kristen yang kalau ke Yerusalem diludahi mukanya sama Yahudi-Yahudi, tapi kencang belain Israel, itu juga ada. Dunia ini macam-macam.
Saya memang, seperti saya katakan, biasa bergaul sembarangan begitu. Ketemu segala macam orang tanpa peduli latar belakangnya, hanya fokus kepada isu pada wacana, pada gagasan-gagasan, sehingga saya tidak peka, sehingga mengundang orang namanya Peter Berkowitz itu, lalu jadi masalah di sini. Sebetulnya itu saja. Dan saya mohon maaf atas ketidakpekaan saya itu.
Dan ini semua memang arahnya itu sebetulnya terkait dengan program yang sedang saya coba jalankan di PBNU. Yaitu apa? Programnya sederhana saja. Saya kan sudah sejak 2011, 14 tahun lebih, saya ini keluyuran ke sana ke mari, bergaul sembarangan tadi, ketemu segala macam orang, dan tidak banyak di NU yang punya sempat mengalami seperti saya: ketemu orang-orang macam-macam itu. Saya itu cuma pengin berbagi dengan teman-teman, dengan Pak Amin Said, dengan teman-teman PBNU yang lain ini; berbagi pengalaman ini dengan cara mengundang dan mengenalkan orang-orang yang pernah saya temui. Banyak yang saya sudah kenal itu, puluhan, mungkin lebih dari 100. Dan ini orang-orang yang sebetulnya juga bukan orang-orang sembarangan, orang-orang yang levelnya tinggi sekali.
Sebelum Peter Berkowitz ini, saya mengundang orang namanya John Lenczowski. Ini orang Katolik Polandia. Dia menjadi penasihat keamanan zaman Presiden Ronald Reagan. Dia yang membangun dan menjalankan strategi Perang Dingin sampai Uni Soviet bubar. Itu orang namanya John Lenczowski. Saya pertemukan, kenalkan dengan teman-teman ini, dan semua bisa mengenal; bagaimana orang macam ini berpikir sampai berhasil membubarkan Uni Soviet; Otaknya ini macam apa? Itu yang saya ingin berbagi dengan teman-teman.
Sebetulnya saya merencanakan mengundang banyak tokoh-tokoh yang lain. Ada, misalnya, orang namanya Muhammad Abul Fadhol. Dia ini Pemimpin Redaksi surat kabar Al-Ahram, yaitu surat kabar resminya pemerintah Mesir dan sekaligus juga pemimpin redaksi media online yang dipublikasikan di Eropa, namanya Al-Arab. Itu media berbahasa Arab terbesar di Eropa, pemimpin redaksinya Muhammad Abdul Fadol ini. Dan lain sebagainya. Ini sudah banyak yang mau kita undang. Kebetulan salah satunya orang namanya Peter Berkowitz ini, yang belakangan setelah dibongkar-bongkar ternyata memang zionis, orang zionis. Itu kesalahan saya dan saya mohon maaf sebesar-besarnya atas hal ini.
Tadi di dalam diskusi saya sempat menyampaikan bahwa hakim itu harus benar tapi boleh salah, iya kan? Artinya seseorang yang sudah memiliki kapasitas untuk jadi hakim dan sudah berpikir keras untuk memberikan keputusan yang benar tapi juga masih salah, itu artinya sudah benar secara proses tapi salah di dalam produk. Salah di dalam produk bagi Allah subhanahu wa ta’ala tak masalah, iya kan? Ini artinya bahwa Gus Yahya sudah melakukan ijtihad untuk melakukan sesuatu [Hadirin tepuk tangan] tapi ternyata produknya dianggap salah, buktinya banyak yang keberatan. Ini artinya bahwa secara proses belum benar tapi produknya salah, iya kan? Jadi, ash-shawābut tharīq wa akhthāal matrūq, istilahnya.
Makanya saya di dalam grup syuriyah-tanfidziyah hanya mengatakan kecerobohan. Kecerobohan itu kan di atas—daripada dikatakan pro-zionis kan lebih baik mengatakan kecerobohan. [Kiai Afif, Gus Yahya dan hadirin tertawa]. Saya pikir tak ada masalah karena memang beliau itu berdasarkan ijtihadi, akan tetapi masih mendapatkan keberatan dari berbagai pihak, berarti ash-shawābut tharīq wa akhthāal matrūq, jalannya sudah benar akan tetapi masih bermasalah juga.
Gus Yahya dalam kaitannya dengan perang Israel kemarin mengumpulkan beberapa orang, termasuk saya yang ikut rapat, menanggapi perbedaan fatwa antara Ittihadul ‘Ulamail ‘Alami dan ulama Al-Azhar. Ittihadul ‘Ulamail ‘Alami mengajak kaum Muslimin untuk berperang melawan Israel. Sementara ulama Azhar mengatakan: jangan. Kira-kira NU di mana itu?
Saya mengatakan waktu itu bahwa mengajak umat Islam berperang melawan Israel mengandung kesan bahwa Israel hanya musuhnya umat Islam, iya kan? Padahal Israel itu bukan hanya musuhnya umat Islam, akan tetapi musuhnya kemanusiaan secara keseluruhan. Musuhnya manusia yang memiliki akal sehat, iya kan?
Kita memerlukan antara ajakan untuk berperang dan firman Allah yang mengatakan wa a‘iddû lahum mastatha‘tum (QS. Al-Anfal: 60), iya kan? Al-Qur’an mengatakan udzina lilladzîna yuqâtalûna bi’annahum dhulimû, (QS. Al-Hajj: 39) telah diizinkan bagi umat Islam untuk berperang dengan alasan sudah begitu dizalimi. Artinya sudah waktunya untuk berperang. Tapi ayat yang lain mengatakan wa a‘iddû lahum mastatha‘tum (QS. Al-Anfal: 60), hendaklah buatlah persiapan. Perang iya, tapi persiapannya? [Kiai Afif, Gus Yahya dan hadirin tertawa]. Perang pakai apa?
Itu diskusi di PBNU. Ya, antara tak perang dan perang, iya kan?
Kemudian Gus Yahya mencari torobosan yang lain itu, iya kan? Dan ternyata belum berhasil juga. Mudah-mudahan ada langkah-langkah lain yang memungkinkan kita untuk berhasil. Mungkin ini. Tidak ada pertanyaan?
Assalāmualaikum warahmatullāhi wabarakātuh. Pertama, terima kasih kepada Gus Yahya yang sudah hadir. Sebentar lagi ada makan bersama. Mohon jangan pulang. [Gus Yahya dan hadirin tertawa]. Pakai gulungan itu (makannya), Gus Yahya. Itu yang pertama.
Terus, yang kedua, saya memaafkan Anda. [Gus Yahya dan hadirin tertawa. Gus Yahya mengucapkan terima kasih]. Saya sudah memaafkan, bahkan sebelum minta maaf saya sudah memaafkan, karena bagi saya isu internasional terkait Israel, misalnya, dengan Palestina, saya hanya bisa melakukan apa yang saya lakukan. Saya tahu bahwa [menyebutkan merek penyedap masakan] ***** itu mendukung Israel maka saya pilih ****** [Gus Yahya dan hadirin tertawa]. Bagi saya itu saja. Selebihnya saya ikut guru-guru, termasuk njenengan.
Soal Israel, Palestina, boikot, dan lain-lain itu. Jelas bahwa protes itu perlu, jelas itu perlu dan berguna. Jelas bahwa boikot itu perlu dan berguna. Bahkan sekarang ada sekelompok orang-orang Eropa yang mereka beriuran untuk membawa kapal datang ke Gaza, dari Eropa. Orang Eropa ini, kapir-kapir ini, berani datang ke Gaza. Orang Indonesia tidak ada yang berani.
Tapi saya harus katakan bahwa akar masalahnya adalah masalah politik dan solusi yang dibutuhkan adalah solusi politik. Maka harus ada kerangka kerja yang memungkinkan agregasi politik mengenai hal ini.
Saya ini, ngaji saya kocar-kacir. Saya tidak mengerti bagaimana dalil ushul maupun fiqihnya. Tapi saya ini punya wawasan sosiologi yang lumayan, dan saya punya pengalaman politik serba sedikit.
Maka untuk bisa melakukan agregasi politik kita harus berhubungan dengan aktor-aktor yang terlibat dalam agregasi itu. Jadi semua yang berkembang sebagai teriakan-teriakan di jalan, di grassroot ini harus sampai kepada aktor-aktor politik.
Kemarin itu demo, orang teriak macam-macam, ini kalau ketua DPR, Presiden, menteri-menteri cuek, ya kan tidak akan jadi apa-apa. Harus ada yang bicara dengan mereka, mendorong mereka untuk bersikap dan melakukan tindakan supaya terjadi namanya agregasi politik.
Mohon maaf, ini saya lafakhra ya, jadi saya bukannya mau gagah-gagahan. Setelah sekian lama saya terlibat dalam aktivisme internasional bergaul sembarangan tadi, sebetulnya saya mendapatkan kesempatan, bifadlillāh, mengenal sejumlah aktor-aktor politik yang signifikan. Orang mungkin tidak percaya potongan (tampang) seperti saya ini berteman, misalnya, dengan Presiden Hongaria, berteman dekat dengan Perdana Menteri Slovenia; saya berteman cukup dekat dengan mantan menteri luar negeri Amerika; saya berteman dengan banyak orang, aktor-aktor signifikan; mantan perdana menteri Inggris, dan lain sebagainya.
Nah, maka dalam maqam saya, kalau saya cuma ikut-ikutan demo di jalan atau cuma milih makan ****** [menyebut merek penyedap masakan] saja, ini ada sesuatu yang saya khawatir: seharusnya saya lakukan, tidak saya lakukan. Begitu loh. Saya kenal orang itu, kok, saya bisa ngomong sama dia. Saya bisa otak-atik, supaya ada diskusi tentang ini.
Misalnya kemarin itu, September, saya diundang untuk presentasi tentang gagasan kembali kepada konsensus itu di sejumlah think-tank besar di Amerika—di Washington Institute, Heritage Foundation, di Atlantic Council—soal ini. Jadi saya ada di maqam itu. Ketemunya ya orang segala macam itu: zionis-zionis, dan ada zionis radikal segala macam itu. Memang mereka ini yang ada di situ. Lepas dari hasilnya apa, saya dalam posisi untuk berhubungan dengan mereka. Ini soal maqam.
Editor: Yuzep Ahmad
Sumber: NU Online