LIPUTAN9.ID – Sebuah kisah yang sudah sangat populis di telinga kaum muslimin. Kisah yang melukiskan seorang sahabat mulia ketika jeda dalam tindakan karena keikhlasan terganggu amarah yang disebabkan perilaku provokasi orang lain.
Riwayat menceritakan sahabat Ali bin Abi Thalib Karamallahu Wajhah dalam satu episode peperangan. Saat beliau hendak memenggal kepala musuh. Saat itu, musuh meludahi Ali bin Abi Thalib Karamallahu wajhah sehingga mengenai pipinya. Saat beliau sudah mengangkat pedang untuk memenggal musuh tersebut, tetapi urung melakukannya akibat diludahi.
Saat itu, musuh bertanya kepada sahabat Ali, “Wahai Ali, kenapa engkau tidak jadi memenggal kepalaku?”. Sahabat Ali menjawab, “Ketika aku menjatuhkanmu, aku ingin membunuhmu karena Allah. Akan tetapi ketika engkau meludahiku, maka niatku membunuhmu karena marahku kepadamu.”
Keikhlasan yang ditunjukkan oleh sahabat Ali bin Abi Thalib Karamallahu wajhah, justru menjadi wasilah turunnya hidayah kepada musuh tersebut dan akhirnya masuk Islam.
Penggalan kisah sahabat Ali ini tentu menjadi tauladan bagi siapapun yang memgaku pelanjut risalah baginda Rasululloh. Teladan terbaik saat menyikapi pelbagai ujian, cobaan dan menjalankan perilaku dalam setiap ruang kehidupan. Tauladan tentang pentingnya keikhlasan dan menahan marah dalam hal apapun demi tetap terpeliharanya niat karena Alloh. Keikhlasan dan menahan marah yang dicontohkan oleh sahabat Ali bin Abi Thalib yang dapat melahirkan cahaya bagi diri sendiri dan wasilah turunnya hidayah kepada orang lain.
Secara pesikologis, marah adalah luapan perasaan emosional atau gejolak jiwa yang diekspresikan dalam tingkah laku buruk dan serampangan. Dalam perspektif agama, terkhusus Islam, jika seseorang selalu dikendalikan marah maka perilakunya akan terlepas dari akhlak karimah.
Konon, salah satu tipu daya setan untuk membinasakan manusia adalah marah. Dengan cara ini, setan dapat mudah mengendalikan orientasi hidup manusia. Dengan marah, seseorang bisa dengan mudah mencaci maki, mengucapkan kalimat buruk, berghibah, memfitnah, bercerai, berkonflik bahkan jauhnya saling membinasakan.
Oleh karena dahsyatnya dampak negatif dari perilaku marah, Baginda Rasulullah telah memberi perhatian besar terhadap masalah ini. Beliau telah memberikan beberapa isyarat kepada umatmya saat dilanda atau dihadapkan kepada kemarahan.
Isyarat pertama, bacalah kalimat ta’awudz. Dalam hal ini, sahabat Sulaiman bin Surd telah menceritakan, “Suatu hari saya duduk bersama Rasulullah SAW. Ketika itu ada dua orang yang saling memaki. Salah satunya telah merah wajahnya dan urat lehernya memuncak. Kemudian Rasulullah bersabda: “Sungguh saya mengetahui ada satu kalimat, jika dibaca oleh orang ini, marahnya akan hilang. Jika dia membaca ta’awudz: A-‘uudzu billahi minas syaithanir rajiim, marahnya akan hilang”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Isyarat kedua, berusahalah diam dan menjaga lisan. Diam merupakan salah satu cara untuk mengantisipasi muncul luapan amarah agar terjaga lisan. Dalam hal ini, baginda Rasulullah bersabda: “Jika kalian marah, diamlah.” (HR. Ahmad). Diam saat marah dapat membimbing seseorang untuk tidak mengucapkan kalimat yang bisa mencelakan dirinya dan juga orang lain. Berkaitan dengan dampak ini, baginda Rasulullah telah mengingatkan, “Sesungguhnya ada hamba yang mengucapkan satu kalimat, yang dia tidak terlalu memikirkan dampaknya, namun menggelincirkannya ke neraka yang dalamnya sejauh timur dan barat.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Isyarat ketiga, ambillah posisi lebih rendah. Konon, kecenderungan orang marah adalah ingin selalu lebih tinggi dari orang lain. Semakin dituruti kemarahannya, dia semakin ingin lebih tinggi. Dengan memposisikan lebih tinggi, maka dia bisa melampiaskan amarah sepuasnya kepada siapapun. Dalam hal ini, baginda Rasulullah pernah bersabda: “Apabila kalian marah, dan dalam posisi berdiri, hendaknya duduklah. Karena dengan begitu marahnya bisa hilang. Jika belum juga hilang, maka hendaklah mengambil posisi tidur.” (HR. Ahmad dan Abu Daud).
Isyarat keempat, tahanlah amarah. Dalam hal ini, baginda Rasulullah SAW bersabda: “Siapa yang berusaha menahan amarahnya, padahal dia mampu meluapkannya, maka dia akan Allah panggil di hadapan seluruh makhluk pada hari kiamat, sampai Allah menyuruhnya untuk memilih bidadari yang dia kehendaki.” (HR. Abu Daud, Turmudzi)
Isyarat kelima, segeralah berwudhu. Konon, amarah itu datangnya dari setan dan setan diciptakan dari api. Maka orang yang marah dianjurkan berwudhu untuk memadamkan amarahnya. Dalam hal ini, baginda Rasululloh telah bersabda: “Sesungguhnya marah itu dari setan, dan setan diciptakan dari api, dan api bisa dipadamkan dengan air. Apabila kalian marah, hendaknya dia berwudhu.” (HR. Ahmad dan Abu Daud).
Isyarat-isyarat dari baginda Rasululloh dan tindakan dari sahabat Ali bin Abi Thalib Karamallahu wajhah di atas merupakan teladan terbaik disaat seseorang dihadapkan kepada kemarahan. Seorang muslim tentu.mesti meneladaninya agar keikhlasan dalam menjalani kehidupan tetap terpelihara dari pelbagai prahara akibat watak marah.
Dalam pandangan lain, seseorang yang mudah marah jika membuat Keputusan tertentu akan mengakibatkan pelbagai kerusakan bagi banyak orang dan bahkan bagi dirinya sendiri. Kenapa? karena setiap keputusan apapun jika dilakukan oleh orang yang tidak bisa mengendalikan marah tidak akan pernah masuk akal. Yang muncul hanya keputusan-keputusan yang bersumber dari luapan emosi dan sangat bersifat subjektif tanpa mempertimbangkan kemaslahatan secara umum.
Willard Gaylin dalam, “Hatred: The Psychological Descent Into Violence” mengatakan bahwa orang yang selalu mengekspresikan kemarahan merupakan bentuk membuang sampah sembarangan di depan umum. Konon, lama kelamaan akan mendatangkan kerusakan bagi orang lain dan bahkan akan menjadi sumber penyebab utama munculnya pelbagai penyakit sosial.
Sebuah ungkapan dari Albert Einstein, “Kemarahan yang diulang-ulang hanya ada di dalam dada orang yang bodoh. Kata Robert Green Ingersoll yang dikutip Michael S, etc dalam, “Angermanagemnt for Substance Abuse and Mental Health Clients,” bahwa kemarahan seperti itu ibarat angin yang meniup pelita pikiran.
Novelis Mark Twain dalam, “The Adventures of Huckleberry Finn”, menyebutkan kemarahan yang sering muncul pada seseorang adalah asam yang dapat menyebabkan lebih banyak kerusakan pada wadah penyimpanannya daripada apa pun yang dituangkan. Gagasan atau ide apapun yang bersumber dari kemarahan akan merusak lebih banyak wadah sosial tempat orang-orang menjalani kehidupan.
Dalam hal ini, Mahatma Gandhi pernah menegaskan bahwa kemarahan adalah musuh dari anti-kekerasan dan kesombongan. Baginya, manusia yang selalu terbawa marah suatu ketika akan menjadi monster mengerikan yang dapat menelan setiap orang yang menyuarakan keadilan, anti kekerasan dan kesombongan.
Berpijak pada ungkapan diatas, maka jauhkan diri dari setiap watak marah. Sebab jika tidak bisa menjauhi, maka pikiran-pikiran jernih akan terkubur oleh luapan emosi yang dapat merusak akal. Bahkan jika mudah marah maka sesungguhnya itu sedang menandakan ukuran diri dihadapan orang lain. Kata Sydney J. Harris dalam, “Winners and Losers,” jika hal kecil saja memiliki kekuatan untuk membuat seseorang marah, maka sebenarnya itu menunjukkan sesuatu tentang ukuran pikiran dan mentalnya. Menanda ukurannya sangat rendah.
Penutup, mengontrol.marah itu penting karena menandakan orang yang kuat. Kuat akalnya.dan kuat mentalnya. Dan orang yang kuat itu adalah mereka yang dapat menahan dirimya disaat sedang marah. Begitulah sabda baginda Rasululloh, “Orang yang kuat itu bukanlah karena jago gulat, tetapi orang kuat itu ialah orang yang dapat menahan dirinya di kala sedang marah.” (HR Bukhari dan Muslim).
Dr. H. Dudy Imanuddin Effendi, M.Ag, Wakil Dekan 1 Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung.