Di sekitar Masjid Al Haram Nabawi Madinah dalam radius tidak lebih 2000 mater, terdapat beberapa masjid yang sarat nilai sejarah, misalnya Masjid Al Ghamamah, Masjid Abu Bakar, Masjid Umar bin Khattab, Masjid Ali bin Abi Thalib, dan lain-lain.
Masjid Abu Bakar Ash-Shiddiq di Madinah, Arab Saudi.
1-Masjid Abu Bakar Shiddiq
Latar belakang sejarah didirikannya masjid Abu Bakar, konon di lokasi masjid ini, dulu khalifah Abu Bakar Siddiq semasa hidupnya pernah menyelenggarakan shalat Hari Raya bersama Rasululah SAW dan umat Islam. Itulah yang kemudian melatarbelakangi didirikannya masjid di lokasi tersebut yang kemudian dinamakan masjid Abu Bakar sebagai bentuk penghormatan. Versi ke dua menyebutkan, di lokasi masjid ini dulunya berdiri rumah kediaman Abu Bakar al-Siddiq RA. Karena latar belakang tersebut, dibangun masjid Abu Bakar di lokasi ini.
Jarak masjid Abu Bakar dengan masjid Nabawi hanya terpaut sekitar 300 meter. Dalam sejarahnya, masjid ini dibangun khalifah Umar bin Abdul Aziz (99-101 H). Selanjutnya dalam bentuknya sekarang dibangun Sultan Mahmud Khan al-Utsmani dan direnovasi Raja Fahd tahun 1411H tanpa mengubah bentuk aslinya. Luas Masjid Abu Bakar 19.5 x 15 meter. Masjid Abu Bakar terdapat satu daun pintu yang diyakini asli seperti yang terpasang di kediaman Abu Bakar dahulu.
Umat Islam berharap, masjid Abu Bakar ini tetap dilestarikan dan menjadi cagar budaya yang nantinya dijaga, diawasi peruntukannya sebagai masjid, dan tidak dirobohkan khususnya ketika ada proyek perluasan Masjid Nabawi. Kendati posisinya tertutup dan sangat jarang digunakan, namun nilai sejarahnya sangat tinggi. Mestinya bangunan ini tetap dipertahankan selaras dengan visi 2030 Kerajaan Arab Saudi yang ingin melakukan berbagai proyek pembangunan untuk kemajuan negara Arab Saudi di berbagai bidang tanpa terikat dengan ketersediaan minyak.
Masjid Abu Bakar al-Siddiq RA merupakan satu dari tiga masjid tua bersejarah di Barat Daya (sebelah Timur bagian Selatan) Masjid Nabawi. yaitu: Masjid Abu Bakar, yang lokasinya sejajar dan nampak berjejer dengan Masjid Ghamamah, dan Masjid Ali bin Abi Thalib, yang posisinya berada di depanya. Posisi masjid Abu Bakar hanya terpaut sekitar 40 meter dari Masjid Ghamamah dan sekitar 50 meter dari masjid Ali ra.
Masjid Abu Bakar al-Shiddiq sekarang ini berada di satu area yang tertata rapi, di kelilingi kaawasan jajanan dan kuliner selain tempat jualan suvenir, berada di tengah taman kecil tempat bersantai. Lokasinya persis di Barat Daya Masjid Nabawi, berjarak kurang lebih 300 meter, dan masih satu area dengan masjid Al-Ghamamah dan masjid Ali ra. Masjid Abu Bakar ini merupakan salah satu tempat yang pernah digunakan Rasulullah saw dan Abu Bakar al-Shiddiq untuk shalat ‘Id. Belakangan nama masjid ini pun dinisbahkan kepada sahabat Abu Bakar al-Shiddiq.
Masjid Abu Bakar al-Shiddiq dibangun pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz yang berkuasa sekitar 99-101 H. dan baru direnovasi Sultan Mahmud II pada tahun 1254 H., satu tahun sebelum beliau wafat, yaitu pada tahun 1255H/1839M).
Masjid Abu Bakar al-Shiddiq berbentuk segi panjang. Panjang rusuknya sekitar 19,5 meter (sembilan koma lima meter). Dibangun dengan batu hitam yang dipotong-potong berbentuk segi empat. Mungkin ketika itu tidak mudah membuat cetakan yang simetris, wajar kalau batu-batu yang tersusun, nampak terpasang tidak beraturan akibat beda ukuran, polanya tidak sama, nat-natnya tidak ketemu apalagi simetris. Bagian dalam ruangan masjid dicat dengan wama putih tulang. Jalan masuknya berada di tembok bagian Selatan. Di sebelah kanan dan kiri pintu masuk terdapat dua jendela persegi panjang.
Pintu masuk masjid Abu Bakar ini langsung mengantarkan jama’ah menuju ruang shalat. Ruang yang dijadikan area shalat beratapkan kubah yang dari arah dalam, tingginya kurang lebih mencapai 12,3 meter. Di bagian atas leher kubah terdapat delapan jendela kecil untuk variasi dan penerangan. Mihrab tempat berdiri imam memimpin sholat berjama’ah terletak di tengah dinding masjid sebelah Selatan dengan tinggi kurang lebih 1,8 meter. Luas cekungan (celah) Mihrab sekitar 90 cm. Kenapa Mihrab di sebelah Selatan? Itu karena posisi kota Makah di mana bangunan Ka’bah yang menjadi kiblat shalat umat Islam berada di sebelah Selatan kota Madinah. Jadi, semua masjid di Madinah, arah kiblatnya ke arah Selatan.
Menara tempat mengumandangkan Adzan masjid Abu Bakar berada di sudut sebelah Timur Laut. Menara tersebut ditopang fondasi yang kokoh berbentuk persegi empat. Terdapat tiang silinder di tengahnya dan berakhir dengan penyangga balkon. Di atas tiang silinder itu dilapisi logam berbentuk kerucut dengan bagian paling atas berbentuk bulan sabit.
Di arah Timur masjid Abu Bakar terdapat teras persegi panjang, memanjang dari arah Utara ke Barat, ukuran panjangnya mencapai kurang lebih 13..3 meter dan lebar kurang lebih 6,3 meter. Pintu dari arah Utara masjid menghadap ke halaman masjid Al-Ghamamah. Dinding sebelah Timur masjid berupa batu kehitam-hitaman. Kubah menara masjid dicat warna putih tulang. Perpaduan dua warna; putih tulang di kubah-kubah dengan warna batu tembok masjid berwarna hitam, nampak serasi dan indah.
Masjid Abu Bakar
Tangan Jahil, Coretan Nama di Tembok Masjid Abu Bakar, Madinah
Masjid Abu Bakar yang terletak di antara masjid Ghamamah dan Masjid Ali bin Abi Thalib masih terasa kuat arsitektur klasik bangunan masjid. Ke tiga masjid bersejarah tersebut sekarang ini memang sudah tidak dipergunakan lagi sebagai tempat shalat, pintu-pintunya dikunci rapat. Namun para penikmat seni tentu masih bisa menikmati arsitektur kuno pada eksterior masjid-masjid tersebut, seraya membayangkan ketika masjid tersebut masih digunakan umat Muslim terdahulu. Masih diketemukan sebagaian jama’ah haji yang shalat diemperan masjid tersebut.
Sayangnya, kesenangan menikmati bangunan masjid masa lampau terganggu dengan adanya coretan-coretan di dinding masjid Abu Bakar. Coretan tersebut dibuat dengan spidol maupun tip-ex. Lebih miris lagi, ketika mendapati coretan-coretan itu bertuliskan nama-nama yang familiar di Indonesia, misalnya: Arif Maulana, Saepul Anwar, Siti Sumirah, dll.. Tidak diketahui siapa pelaku dan kapan coretan itu dibuat. Coretan-coretan semacam ini banyak di ketemukan di situs bersejarah di tanah suci, terutama di wilayah yang tidak dijaga polisi atau askar.
Coretan semacam ini banyak juga diketemukan di sekitar gua Hira, Mekkah atau di Hudaibiyah tempat miqat umroh atau tempat lain yang banyak dikunjungi jama’ah dari Indonesi.Coretan semacam ini jelas mengotori situs-situs bersejarah selain meninggalkan jejak yang tidak bagus, membawa citra buruk bangsa Indonesia selain dipandang kurang baik di mata masyarakat Madinah khususnya.Tempa-tempat yang dikotori tersebut memang tidak memiliki penjaga khusus atau tidak diawasi CCTV. sehingga pengawasannya kurang.
2- Masjid Ali-Bin-Abi-Thalib
Masjid Abu Bakar diyakini dulunya area itu menjadi tempat Abu Bakar berdiri ketika shalat Idul Fitri. Sedangkan masjid Ghamamah adalah tempat Nabi Muhammad shalallahu alaihi wassalam memimpin salat Idul Fitri. Masjid Ali diyakini, dulunya di area masjid itu didirikan rumah Ali bin Abi Thalib.
Masjid Ali bin Abi Thalib terletak di Jalan al-Munakhah arah Barat dari Masjid Nabawi, kurang lebih sejauh 400 meter, dekat dengan gang al-Thayyar. Lokasi ini merupakan salah satu tempat Rasulullah pernah shalat ‘Id. Dinisbahkan kepada Ali bin Abu Thalib, barangkali karena dia juga pernah mengimami shalat di tempat ini.
Masjid Ali bin Abi Tholib dibangun pada masa Umar bin Abdul Aziz ketika memerintah Madinah. Kemudian direnovasi Gubernur Dhaigham Al-Manshuri, Gubemur Madinah tahun 881 H. Periode berikutnya, masjid itu direhab Sultan Abdul Majid I, tahun 1269 H.
Masjid ini berbentuk persegi panjang. Bangunan dari Timur ke Barat, panjangnya 35 meter dan lebar sembilan meter. Terdiri dari satu serambi yang berakhir dari dua arah; Timur dan Barat dengan satu kamar kecil. Mihrabnya berada di tengah dinding kiblat.
Tingginya mencapai tiga meter. Cekungannya kira-kira 1,25 meter. Menara masjid berdiri tegak di sebelahTtimur dekat dengan jalan masuk masjid, tidak terlalu tinggi dan memiliki satu balkon.
Masjid Ali bin Abi Thalib dibangun dengan konstruksi berbahan bangunan relatif baru, dengan tembok yang rapi, dicat warna putih tulang. Dinding sebelah Timurnya dihias dengan batu hitam. Depan masjid sayyidina Ali terdapat baliho besar berisikan rencana proyek renovasi masjid yang akan dilakukan pemerintah Arab Saudi. Itu yang saya lihat pada saat haji dan berkunjung ke masjid ini bulan Juli tahun 2022. Semoga tahun depan 2023 bisa kembali mengunjungi masjid ini.
3-Masjid al-Ghamamah
Tidak jauh dari masjid Nabawi di Madinah, berdiri masjid bersejarah lainnya bernama masjid Al-Ghamamah. Masjid al-Ghamamah (Masjid Awan) letaknya bersebelahan dengan Masjid Nabawi, posisinya berjarak sekitar 150 meter dari Pintu Nomor 6 Masjid Nabawi di distrik al-Manakha. Terletak sekitar 200 meter Barat Daya dari pintu al–Salam, berdekatan dengan masjid Abu Bakar Siddiq dan masjid Ali Bin Abi Thalib. Masjid ini memiliki 11 Kubah.
Masjid Al-Ghamamah, Madinah, Arab Saudi, berdiri di tempat yang dipercayai sebagai lokasi Nabi Muhammad saw melaksanakan salat id pada tahun 631 M. Masjid ini sempat tidak dipergunakan setelah masjid Nabawi berdiri megah, tetapi baru-baru ini masjid ini kembali dipergunakan untuk beribadah shalat lima waktu, tidak untuk shalat Jum’at.
Seperti umumnya bangunan masjid di sekitar masjid Nabawi, sekarang ini menurut cerita pedagang yang ada di pertokoan sebelah masjid al-Ghamamah, masjid al-Ghamamah ini hanya dibuka pada saat shalat Maktubah (shalat lima waktu) saja. Tentu, shalat lima waktu selain shalat Jum’at. Untuk sholat Jum’at, umat Islam Madinah hanya shalat di masjid Nabawi, masjid-masjid di sekitar masjid Nabawi ditutup.
Masjid Ghamamh berlatar sejarah yang sangat mengagumkan. Di tempat ini Rasulullah SAW pernah mendirikan salat Idul Fitri dan shalat Idul Adha. Menurut satu riwayat kejadian shalat Id di masjid ini bahkan terjadi pada tahun ke dua Hijriyah. Karena itu, masjid ini memiliki sejarah penting dalam kehidupan umat Islam. Abu Hurairah berkata, “Setiap kali Rasulullah saw melalui Al-Mushalla, Baginda akan menghadap ke arah Kiblat di Makah dan berdoa”. Disebut dengan Al-Mushalla yang berarti tempat shalat, karena Rasulullah saw bersama sahabat mengerjakan shalat hari Raya di sekitar kawasan terbuka di sebelah masjid Nabawi. Konon, peristiwa itu terjadi pada tahun kedua Hijriyah.
Al-Ghamamah dalam bahasa Arab berarti awan atau mendung. Nama asli masjid ini pada zaman Nabi saw adalah Masjid al-Mushalla yang berarti masjid tempat salat. Lokasi tempat berdirinya masjid awalnya adalah tanah lapang. Dalam riwayat lain disebutkan, Al Mushalla merupakan tempat biasanya Rasulullah melaksanakan shalat Ied di empat tahun terakhir kehidupan Beliau. Saat itu, Rasulullah yang sedang menyampaikan khotbah Idul Fitri sementara para jamaahnya terlihat gelisah karena kepanasan. Kemudian datanglah mendung menaungi mereka hingga kutbah Rasulullah usai.
Menurut sejumlah riwayat, selain untuk tempat salat Id, di area masjid ini, Rasul saw bersama sahabat dulunya mendirikan salat Istisqa (salat minta hujan) kepada Allah SWT. Saat itu, cuaca sangat panas. Jama’ah nampak sangat kepanasan. Rasulullah SAW berdoa, mohon hujan. Permintaan Nabi SAW langsung dikabulkan Allah SWT. Begitu Nabi SAW selesai berdoa, gerombolan awan pekat datang menaungi Rasulullah SAW dan jama’ah. Tidak lama kemudian, turun hujan lebat. Itulah mengapa masjid ini kemudian lebih dikenal dengan nama al-Ghamamah (awan atau mendung yang menaungi). Demikian yang ditulis Khalil Ibrahim Malla Kathir, dalam kitabnya Fadhail al-Madinah al-Munawarah . Tentu saja, hujan yang dimaksudkan adalah hujan yang memberi rahmat bagi umat manusia. Bukan hujan yang menjadi ujian atau adzab. Sebagaimana disebutkan dalam surat al-Baqarah/2:22, sbb.:
الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ فِرَاشًا وَالسَّمَاءَ بِنَاءً وَأَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقًا لَكُمْ فَلَا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ (22)
Artinya: “Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atapnya.“Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu. Karena itu, janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” (QS al- Baqarah/2:22).
Sebagai bentuk penghormatan atas kebiasaan Rasul SAW mendirikan shalat di tempat tersebut, didirikanlah masjid yang di zaman Nabi saw diberi nama Al-Mushalla, yakni tempat shalat. Di inilah Rasul mendirikan shalat Idul Fitri atau Idul Adha. Abu Hurairah berkata, ‘Setiap kali Rasulullah melalui Al-Mushalla, Baginda akan menghadap ke arah kiblat dan berdoa. Al-Musalla tersebut sekarang dikenal sebagai Masjid Al-Ghamamah, dikelilingi taman kecil, tempat kuliner dan pertokoan yang menjual berbagai souvenir dan parfum.
Di pelataran masjid banyak burung merpati dan kucing lokal yang manja, berharap secuil makanan dari jama’ah haji atau umroh.
Masjid al-Ghamamah ini memiliki sejarah penting dalam kehidupan umat Islam. Menurut riwayat, Masjid Al Ghamamah pertama kali dibangun pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz di Madinah antara tahun 99 sd. 101 H. Bangunan tersebut kemudian direnovasi Sultan dinasti Mamluk, Sultan Hasan bin Muhammad bin Qalawan al-Shalihi sebelum tahun 761 Hijriah. Kemudian direnovasi Syarif Saifuddin Inal Al-Ala’i pada tahun 861 Hijriah. Setelah itu, Sultan Abdul Majid I semasa kekuasaan Khalifah Islamiyah di Istabul Turki pada tahun 1275 Hijriah (1859 M) melakukan renovasi ke bentuk masjid seperti terlihat saat ini dengan menggunakan materi dari batu Madinah, berwarna hitam.
Sultan Dinasti Turki Utsmani inilah yang membuatnya dalam bentuk kotak persegi panjang. Seperti pada umumnya masjid-masjid lain di Madinah, masjid al-Ghamamah dibuat dari Batu Vulkanik (Bazalt/Habaas) keras, berwarna hitam. Atap yang terdiri dari kumpulan kubah berwarna putih tulang merupakan keindahan dan daya tarik tersendiri Masjid ini. Renovasi berlanjut dilakukan Sultan Abdul Hamid. Adapun bangunan masjid al-Ghamamah yang ada sekarang ini adalah peninggalan pembangunan Sultan Abdul Majid al-Utsmani. Kemudian masjid ini direnovasi kembali pada masa Raja Fahd (tahun 1411 H). Masjid Al-Ghamamah kembali direnovasi secara menyeluruh bersamaan dengan perluasan Masjid Nabawi.
4-Masjid Bilal bin Rabah
Mesjid Bilal bin Rabah sangat indah, di kelilingi taman megah dan bersih serta berada di pusat perbelanjaan (Shoping Center). Jarak masjid Nabawi ke masjid Bilal, hanya sekitar 2.5 Kilo meter atau kalau naik taxi bisa ditempuh hanya sekitar 5 menit lewat First Ring Rd – King Faisal dan Abu Ayyub al-Ansari. Masjid Bilal dibangun Syeikh Muhammad Husain Abul Ula pada awal abad 15 Hijriyah, termasuk masjid baru. Bahkan banyak orang bilang, “Tidak ada sejarah penting terkait masjid Bilal ini”.
Masjid Bilal tidak bisa dipisahkan dari tokoh sahabat dan selalu dihubungkan dengan sahabat Bilal bin Rabbah. Bilal dilahirkan di distrik al-Sarah di kota Mekah, sekitar tahun 43 sebelum hijrah. Ayahnya bernama Rabah dan ibunya bernama Hamamah. Sebagian orang Mekah memanggilnya ibnu al-sauda’ (anak budak hitam). Pendapat lain mengatakan, beliau dilahirkan di Habasyah (Ethopia). Setiap mendengar nama “Bilal, konotasinya tertuju kepada seorang sahabat terkenal di zaman Nabi Muhammad SAW., yang bertugas untuk mengumandangkan Adzan setiap shalat.
Masjid Bilal bin Rabah, salah satu masjid modern yang dibangun Syekh Muhammad Husain Abul Ula pada awal abad 15 Hijriyah, ditempat bersejarah kota Madinah. Lokasi Masjid Bilal bin Rabbah berada hanya terpaut tiga blok bangunan di sebelah Selatan pelataran Selatan komplek Masjid Nabawi setelah perluasan, berjarak kurang lebih 2.5 KM. Bangunan masjid Bilal cukup besar dan megah. Uniknya, bangunan masjid ini menyatu dengan Shopping Center di sebelah Utara masjid.
Masjid Bilal bin Rabah dibangun di atas tanah bekas rumah Sahabat Rasulullah saw, Bilal bin Rabah, ketika masih tinggal di kota Madinah. Sahabat Bilal dikenal sebagai salah satu dari kelompok sahabat pertama yang masuk Islam (al-saabiq al-awaaliyyun). Bilal dikenal sebagai pengumandang adzan pertama dalam sejarah Islam. Gelar ‘Muadzin nya Rasulullah saw” sendiri yang menempelkan pada nama Bilal bin Rabbah. Bilal baru berhenti mengumandangkan adzan, tidak lama setelah Rosulullah saw wafat.
Bagian dalam Masjid Bilal bin Rabbah.
Memasuki ruangan utama masjid Bilal bin Rabbah, semua jama’ah pasti akan kagum dengan tampilan enam lingkaran kerangka besi yang kokoh, berwarna kuning keemasan menggantung di langit-langit masjid. Tiap lingkaran tertancap pitingan beberapa lampu kristal yang menambah cantik ruangan masjid.
Karpet masjid didominasi warna merah hati bercorak kuning kemasan, dengan garis shaf warna hitam menghias di lantai masjid. Karpetnya sangat empuk dan wangi. Di dalam ruangan utama masjid terdapat empat tiang penyangga dilapisi batu marmer berwarna krem dan dipasang rak-rak tempat menyimpan al-Quran.
Masjid Bilal, yang berlokasi di atas tanah bekas rumahnya, dibangun Syekh Muhammad Husain Abul Ula pada awal abad 15 Hijriyah, untuk mengenang jasa Bilal. Masjid Bilal bin Rabbah ini –sebagain orang menilai– tidak memiliki nilai sejarah kuno dengan nabi saw di Kota Madinah. Masjid ini menjadi terkenal karena namanya selain lokasinya yang berada di tengah-tengah shoping center.
Dr. KH. Fuad Thohari, MA., adalah seorang pendakwah juga akademisi yang bergelut dalam bidang Tafisr dan Hadist. Setelah menimba ilmu di Ponpes Salaf Al – Falah, Ploso, Kediri, Jawa Timur, beliau kemudian menempuh pendidikan perguruan tinggi hingga s3 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dalam bidang Tafsir Hadist. Alumni Pendidikan Kader Ulama (PKU) MUI ini merupakan dosen di Sekolah Pascasarjana almamaternya dan mengisi berbagai kajian keagamaan di masjid, majlis taklim, seminar ilmiah, stasiun televisi dan radio di wilayah Jabodetabek. Di tengah padatnya kegiatan tersebut, beliau juga aktif terlibat dalam organisasi keagamaan Majelis Ulama’ Indonesia wilayah DKI Jakarta dalam bidang fatwa, dan aktif di Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama’ PBNU. Memiliki sejumlah karya yang dapat dilihat di http://penerbitbukudeepublish.com/penulis/fuad-thohari/ dan beberapa judul di bawah ini; 1.Hadis ahkam; kajian hukum pidana islam 2.Kumpulan Fatwa MUI DKI jkt 2000 sd 2018…(5 buku). 3.Manasik Haji dan Umroh 4.Metode Penetapan Fatwa bagi Da’i 5.Artikel jurnal nasional (puluhan judul) 6.Deradikalisasi Pemahaman al Qur”an dan Hadis 7.Khutbah Islam tentang Terorisme 8.talkshow di TV nasional, Radio, dll. Selain itu, beliau pernah melakukan penelitian di berbagai negara, antara lain; Malaysia, Singapore, Thailand, India, China, Mesir, Palestina, Yordania, Iran , Turki, Saudi Arabia, Tunisia, dll. Beliau bisa dihubungi langsung via WA (081387309950)