Pada bagian kedua ini, saya akan meringkas diskursus tentang teologi mendalam dan Islam mendalam Abraham J. Heschel dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sekitar sepuluh atau duabelas halaman. Dalam resensi ini, saya hanya akan meringkas dan mengutip apa adanya dan di bagian akhir, saya akan membingkai sekilas dengan konsep model mutualitas pluralisme dari Paul F. Knitter tentang tiga jembatan pluralisme untuk dialog antar beragam agama yang berbeda.
Teologi Mendalam dan Pluralisme Agama Abraham Joshua Heschel
Abraham Joshua Heschel adalah seorang rabbi Yahudi terkemuka dan Guru Besar Yudaisme yang sangat dihormati di Amerika. Menurut Prof. Mediaa Zainul Bahri , secara umum, banyak orang memandang agama Yahudi sebagai agama eksklusif. Jika Kristen dan Islam adalah agama dakwah (misionari) maka sebaliknya, kaum Yahudi tidak menghendaki orang-orang non-Yahudi memeluk agama Yahudi. Banyak orang menganggap agama Yahudi seolah sebagai “sekte” yang memisahkan diri dari non-Yahudi. Maka, muncullah pertanyaan: apakah Yudaisme memiliki teologi tentang agama lain? Alan Brill menjawab pertanyaan tersebut dengan positif. Yudaisme memiliki banyak teks yang menawarkan pemikiran tentang agama lain. Sebagaimana yang terjadi pada teologi Kristen, Brill juga mengklasifikasikan kategori teologis Yahudi menjadi empat bagian: eksklusivisme, inklusivisme, pluralisme, dan universalisme.
No Religion ls an Island mungkin adalah karya Heschel yang paling penting dan komprehensif tentang, katakanlah, ide “pluralisme agama.” Heschel memulai dengan keyakinan bahwa manusia memiliki begitu banyak kesamaan. Latar belakang yang sama ini, memungkinkan manusia untuk berinteraksi dan berhubungan satu sama lain. Pada saat yang sama, dalam konteks hubungan manusia dengan Tuhan, bagi Heschel, sebagaimana sufisme Ibnu ‘Arabi yang memiliki doktrin khas tentang tajalli (penyingkapan diri Tuhan), manusia juga merupakan manifestasi Ilahi atau penyingkapan Tuhan, yang secara ontologis “semua umat manusia adalah satu” dalam konteks pemeliharaan Tuhan untuk manusia. Banyak ciptaan di dunia ini yang bersifat mulia, tetapi manusia adalah yang paling mulia. Menghormati manusia berarti merasakan kehadiran Tuhan, gambar-Nya. Menurut tradisi rabbinik (kependetaan Yahudi), Tuhan berkata kepada Musa: “Kapan pun kamu melihat jejak manusia di sana, Aku berdiri di hadapanmu.”
Dari sudut pandang ini, Heschel mengajukan beberapa pertanyaan kritis: apakah perbedaan keyakinan harus merusak hubungan kekerabatan antar-manusia? Apakah adanya kenyataan bahwa kita memiliki konsepsi yang berbeda-beda tentang Tuhan kemudian harus merusak kesamaan-kesamaan di antara kita? Apa sebenarnya yang membedakan dan memisahkan kita? Dan, apa yang bisa menyatukan kita? Pertanyaan kritis itu, membawa Heschel meluncur lebih jauh dan lebih mendalam tentang kenyataan majemuk agama-agama manusia. Karena itulah, dalam sebuah kontemplasi yang orisinal, Heschel sampai pada pemahaman sebagaimana berikut ini:
Konsepsi kita tentang apa yang membuat kita sakit mungkin berbeda, tetapi kecemasannya sama. Bahasa, imajinasi, dan konkretisasi tentang harapan kita mungkin berbeda, tetapi perasaan malu tetaplah sama. Kita mungkin tidak setuju tentang cara mencapai rasa takut dan gemetar, tetapi rasa takut dan gemetar itu sama. Tuntutannya berbeda, tetapi hati nuraninya sama. Di atas segalanya, meskipun dogma dan bentuk ibadah itu berbeda, tetapi Tuhan itu sama.
Dalam menghadapi fakta kemajemukan agama, Heschel meyakini bahwa “Dalam aeon (semesta) ini, keragaman agama adalah kehendak Tuhan. Menurut Heschel, ini secara ontologis, juga merupakan pandangan para sufi Muslim, seperti Ibnu ‘Arabi dan Jalaludin Rumi, serta mistikus Yahudi dan Kristen. Ibnu Arabi, misalnya, percaya bahwa Tuhan adalah akar dari semua keragaman percaya bahva keyakinan di alam ini. Seperti Heschel, Ibnu ‘Arabi tidak melihat kemajemukan agama dan kepercayaan sebagai sumber perpecahan atau konflik. Bahkan, melalui perbedaan tersebut, manusia dapat saling belajar dan mencintai. Apresiasi terhadap keragaman agama dapat ditemukan juga dalam komentar Heschel ketika mengutip ungkapan Nabi Maleakhi:
“Dari terbit matahari hingga terbenamnya, Nama-Ku besar di antara bangsa-bangsa. Di setiap tempat ibadah, ada dupa yang dipersembahkan untuk nama-Ku. Kemurnian persembahan itu tak lain karena nama-Ku besar di antara bangsa-bangsa.” (Mal.[1]:11).
Menurut Heschel, ungkapan itu dapat berarti bahwa orang-orang yang menyembah Tuhan boleh jadi mereka tidak mengenal-Nya, tetapi bagi Tuhan, “mereka benar-benar menyembah-Ku.” Bagi Heschel, meskipun umat manusia mengakui bahwa konsepsi mereka tentang Tuhan berbeda-beda, dan mungkin mereka tidak menyadarinya, tetapi sejatinya mereka menyembah satu Tuhan yang sama.
Menurut Heschel, penganut tradisi agama apa pun harus menyadari bahwa ada kebenaran mutlak Tuhan dan ada kebenaran parsial yang dipahami manusia. Kata Heschel: “Kebenaran tertinggi tidak bisa diungkapkan secara utuh dan memadai melalui konseptualisasi dan kata-kata.” Namun, pada saat yang sama, wahyu Tuhan melalui kitab suci diungkapkan dengan kata-kata manusia. Maka, “Taurat berbicara dalam bahasa manusia.” Menurut Heschel: “Wahyu atau pewahyuan selalu sesuai dengan kapasitas manusia”. Suara Tuhan mencapai jiwa manusia dalam berbagai cara dan dalam berbagai bahasa.
Konsekuensinya, akan muncul banyak tafsir manusia tentang firman Tuhan yang mutlak itu. Dari pandangan fundamental ini, Krajewski mencatat bahwa wahyu eksklusif (Tuhan) hanya dapat ditangkap oleh individu dalam konteks relativitas budaya dan bangsa. Inspirasi llahi yang eksklusif tidak dapat diklaim sebagai kebenaran mutlak untuk semua orang, untuk semua agama dan budaya. Dengan kata lain, wahyu bukanlah sesuatu yang berada di luar konteks yang konstan dan tidak dapat diubah, tetapi selalu berada di dalam konteks yang selalu berubah. Wahyu akan bisa berfungsi jika berhubungan dengan realitas. Oleh karena itu, perbedaan ras, bangsa, suku, bahkan perbedaan ruang dan waktu meniscayakan munculnya perbedaan ajaran, dogma, dan syariah agama-agama yang majemuk. Konsekuensinya, tidak akan ada ajaran tunggal dan universal yang berlaku untuk setiap orang, setiap zaman, setiap tempat, dan setiap budaya.
Jika pluralisme agama berarti “banyak jalan menuju Tuhan”, atau “jalan-jalan mengantarkan ke puncak yang sama”, atau “jalan-jalan yang berbeda mengantarkan ke tujuan yang sama”, atau “agama-agama yang berbeda adalah jalan-jalan yang memiliki validitas yang sama menuju kepada Tuhan yang sama”, atau “agama-agama yang berbeda bicara tentang yang berbeda (dengan bahasa yang berbeda pula), namun memiliki kebenaran yang sama”, tampak jelas bahwa Heschel mengakui gagasan pluralisme agama. Sekali lagi, ia menegaskan: “One truth comes to expression in many ways of understanding (Satu kebenaran diungkapkan dalam banyak cara pemahaman).” Kebenaran tunggal didefinisikan dan dikonseptualisasikan dalam banyak ekspresi dan interpretasi.
Menurut Media, salah satu gagasan Heschel yang berkaitan dengan ide pluralisme agama, atau setidaknya inklusivisme agama, dapat dilihat juga dalam pandangannya tentang kesucian dan orang suci (santo atau wali ). Bagi Heschel, kesucian bukanlah monopoli satu agama atau satu tradisi tertentu. Kekudusan atau kesucian selalu paralel dengan atau hasil dari semua perbuatan baik yang diberkahi Tuhan. Karena itu, orang Yahudi menyadari bahwa Taurat bukanlah satu-satunya cara untuk mengabdi kepada Tuhan. Heschel kemudian mengutip sebuah ayat yang memperkuat keyakinannya:
“Biarlah semua orang hidup di dalam nama Tuhan mereka masing-masing, tetapi kita akan hidup dalam nama Tuhan, Tuhan kita selama-lamanya.” (Mik. [4]: 5).
Demikian pula, bagi Heschel, orang-orang suci tidak mencapai derajat kesucian karena nenek moyang mereka. Mereka menjadi orang-orang suci karena mereka mengabdikan diri kepada Tuhan dan mencintai-Nya, kemudian Tuhan mencintai mereka, tidak peduli apapun tradisi keagamaan mereka. Tingkat kesucian tertinggi adalah para nabi yang menawarkan keselamatan. Bagi Heschel, kekristenan oleh Yesus dan Islam oleh Nabi Muhammad Saw. dianggap sebagai bagian dari rencana Tuhan untuk menyelamatkan semua orang. Pandangan universalitas Heschel ini bermakna bahwa kebenaran, kebijaksanaan dan keselamatan sesungguhnya dimiliki oleh berbagai agama-agama.
Ide tentang adanya “keselamatan” (salvation) agama-agama (tidak hanya Yahudi), menurut Heschel, sesungguhnya berakar dari tradisi Yahudi sendiri. Untuk menguatkan pandangan itu, Heschel mengutip Rabbi Johanan Ha-Sandelar, seorang murid Rabbi Akiva, yang berkata:
Setiap komunitas yang dibangun demi mencapai surga Ilahi pada akhirnya akan bertahan, tetapi komunitas yang berdiri bukan demi mencapai surga pada akhirnya tidak akan bertahan.
Bagi Rabbi Jacob Emden, menurut Heschel, agama Kristen dan Islam masuk dalam kategori “komunitas yang berdiri demi mencapai surga, yang pada akhirnya akan bertahan.”
Dalam perspektif Media, ide Heschel tentang pluralisme agama memang didasarkan pada apa yang ia sebut “teologi mendalam” (depth theology). Menurut Kaplan, seorang sarjana dan ahli Heschel, “teologi mendalam” sangat berbeda dari teologi yang berisi dogma kaku yang kering. Teologi mendalam adalah pengalaman langsung dengan Allah yang hidup. Teologi mendalam juga mengkritik cara-cara yang selalu membuat intelektualisasi Tuhan, seolah Tuhan hanya sebagai gagasan. “Intelektualisasi Tuhan” hanya akan memunculkan fundamentalisme agama yang literal dan sempit. Inilah yang sebenarnya dikhawatirkan Heschel.
Menurut Kaplan, teologi mendalam yang melampaui “doktrin-doktrin esoterik religius” mampu mendorong dan mengembangkan hubungan antar-orang yang memiliki keyakinan yang berbeda, seperti yang dikatakan Heschel.
Teologi biasa ada di dalam buku, “teologi mendalam” ada di hati. Yang pertama adalah doktrin, yang kedua adalah momen, adalah pengalaman. Teologi biasa memisahkan kita, teologi mendalam mempersatukan kita.
Dalam cahaya “teologi mendalam”, Heschel menekankan Tuhan sebagai Tuhan personal yang melampaui segalanya. Bagi Heschel, orang-orang yang beriman harus fokus pada Tuhan, tetapi Tuhan dalam pengertian-Nya yang mendalam. Jenis Tuhan ini tidak sama dengan agama. Tuhan itu sempurna, sementara agama, menurut definisinya, tidak. Seseorang seharusnya tidak menyamakan agama dengan Tuhan. Jika hal itu dilakukan, sama saja dengan penyembahan berhala. Karena itu, dalam istilah Heschel, agama adalah alat, bukan tujuan. Agama adalan proses menjadi, proses terus-menerus menuju keabadian. Jika agama dianggap sebagai tujuan, itulah saat terjadi penyembahan berhala.
Sekali lagi, dalam konteks teologi mendalam dan pluralistne agama, Heschel merujuk pada tradisi agama Yahudi sendiri, yang pada karakternya memang bersifat pluralistik. Untuk memperkuat pandangannya ini, Heschel mengutip Judah Halevi, Maimonides, dan sumber-sumber Talmud yang menegaskan: “Para rabbi terdahulu sudah menyatakan bahwa orang-orang shalih dari semua bangsa akan berbagi (sharing) dalam kehidupan (akhirat) yang akan datang.” Dengan demikian, menurut Heschel, jika kaum pluralis percaya bahwa Tuhan kita adalah Tuhan yang sama maka Tuhan itu Dia-lah Tuhan milik semua orang. Orang-orang, dalam tradisi keagamaan yang beragam, sungguh telah berbagi nama dan kasih-Nya.
Menurut Media, Heschel bisa disebut sebagai seorang pluralis mistik yakni sebuah perjumpaan dengan Tuhan yang melampaui kategorisasi buatan manusia; sekaligus pluralis epistemologis yakni terdapat keterbatasan-keterbatasan pengetahuan manusia tentang Kebenaran Universal (Universal Truth). Karena itu, seorang pemeluk agama yang meyakini adanya “Kebenaran Universal” itu—meskipun sulit dipahami oleh pengetahuan manusia—harus menerima adanya “realitas kebenaran” yang terdapat pada semua agama.
Islam Mendalam dan Pluralisme Agama Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
Menurut Media, gagasan pluralisme Gus Dur, terutama yang dipublikasikan secara luas pada awal 1980-an hingga akhirr 2000-an, berakar pada dua hal pokok: pertama, pandangan teologis, dalam pengertian teologi sebagai produk dan pergulatan kebudayaan; dan, kedua, pandangan politik.
Mari kita lihat dua hal tersebut. Dalam sebuah kesempatan Gus Dur mengatakan, seperti dikutip oleh Muhammad Ali, bahwa pluralisme agama adalah konsep baru (dalam Islam) yang tidak dibicarakan dalam karya-karya kesarjanaan Muslim klasik dan Abad Pertengahan. Meski demikian, tidak berarti Islam pada dirinya tidak bersifat pluralistik. Sebab, dalam kitab-kitab klasik, tidak ada pembahasan teologis yang eksplisit. Gus Dur lalu membuat satu tulisan yang menarik mengenai universalisme Islam. Menurutnya, universalisme Islam menampakkan diri dalam berbagai manifestasi penting dalam ajaran-ajarannya. Ilmu-ilmu Islam, seperti tauhid, fiqh, dan akhlak menampilkan kepedulian yang sangat besar kepada unsur-unsur utama dari kemanusiaan (al-insaniyah).
Gus Dur melihat pada ilmu-ilmu tersebut terdapat prinsip-prinsip pokok yang mendukung kemanusiaan, seperti persamaan derajat di muka hukum, perlindungan warga masyarakat dari kezhaliman dan kesewenang-wenangan, penjagaan hak-hak mereka yang lemah dan menderita kekurangan, dan pembatasan atas wewenang para pemegang kekuasaan. Salah satu karakter pokok universalisme Islam sebagai agama wahyu dari Tuhan adalah ajaran mengenai lima jaminan dasar (ushulul khamsah) bagi kemanusiaan. Ushulul khamsah itu tersebar dalam literatur hukum Islam (fiqh). Salah satu jaminan pokok itu adalah keselamatan keyakinan agama masing-masing, tanpa ada paksaan untuk berpindah agama.
Wawasan universalisme Islam itu muncul bersamaan dengan kontak peradaban Islam dengan kebudayaan lain, yang kemudian kita kenal dengan istilah kosmopolitanisme Islam. Watak kosmopolitanisme Islam itu, menurut Gus Dur, sejatinya telah muncul sejak awal kemunculan Islam. Nabi Muhammad Saw, misalnya, mengambil budaya-budaya non-Arab, dari India atau Tiongkok, sebagai bagian praktis dalam kehidupan, bahkan sebagiannya menjadi sunnah. Misalnya, tradisi bekam, Nabi mempelajarinya dari budaya India. Nabi juga mempelajari dan mengambil budaya lain dalam pengorganisasian masyarakat Madinah. Proses kosmopolitanisme itu terus berlanjut hingga munculnya para ensiklopedis Muslim awal, seperti Al-Jahiz, pada abad ke-3 H. Terjadi proses saling menyerap antara Islam dengan peradaban-peradaban lain di sekitar dunia Islam waktu itu, dari sisa-sisa peradaban Yunani Kuno yang berupa Hellenisme hingga peradaban anak benua India. Dalam semangat seperti itulah, menurut Gus Dur, para zahid (kaum asketik) Muslim dahulu mengembangkan peradaban Islam.
Kosmopolitanisme peradaban Islam itu, dalam pandangan Gus Dur, muncul dalam sejumlah unsur dominan, seperti hilangnya batasan etnis, kuatnya pluralitas budaya, dan heterogenitas politik. Bahkan, kosmopolitanisme itu menampakkan diri dalam unsur dominan yang menakjubkan, yaitu kehidupan beragama yang eklektik selama berabad-abad.
Menurut Gus Dur, kosmopolitanisme peradaban Islam seperti ini hanya dapat tercapai atau berada pada titik optimal jika tercapai keseimbangan antara kecenderungan normatif kaum Muslim dan kebebasan berpikir semua warga masyarakat (termasuk non-Muslim). Gus Dur menyebut kosmopolitanisme seperti itu adalah kosmopolitanisme yang kreatif karena di dalamnya warga masyarakat mengambil inisiatif untuk mencari wawasan terjauh dari keharusan berpegang pada kebenaran. Situasi kreatif yang memungkinkan pencarian sisi-sisi paling tidak masuk akal dari kebenaran yang ingin dicari dan ditemukan, situasi cair yang memaksa universalisme ajaran Islam untuk terus-menerus mewujudkan diri dalam bentuk-bentuk nyata, bukan sekadar nyata dalam postulat-postulat spekulatif belaka.
Dalam penelitian Media, jika kita bertanya kepada Gus Dur, apa saja dalil-dalil naqli yang bisa dipahami sebagai pendukung ide pluralisme agama? Maka, salah satu jawaban Gus Dur yang sering dikemukakan adalah QS. Al-Hujuraat 49: 13 yang terkenal itu: manusia diciptakan laki-laki dan perempuan, berbangsa-bangsa, dan bersuku-suku supaya saling mengenal (lita’ aarafu). “Saling mengenal”, bagi Gus Dur, bukan sekadar tahu nama, orangnya, dan alamat rumahnya, tetapi yang terpenting adalah memahami kebiasaan, tradisi, adat istiadat, pikiran, dan hasrat yang saling berbeda. Bahkan, lebih dari itu, lita’aarafu berarti supaya kalian saling menjadi arif bagi yang lain. Sebagai kelanjutan dari ayat itu, Tuhan menegaskan bahwa yang paling mulia di sisi Tuhan adalah yang paling bertakwa. Takwa, bagi Gus Dur, bukan semata memiliki kesalihan personal, tetapi yang terpenting adalah menunjukkan kesalihan sosial dalam bentuk mencintai manusia.
Bagi Media, Pandangan mengenai “mencintai dan menghormati martabat manusia” adalah hal yang paling menonjol dalam diri Gus Dur. Seperti diungkapkan oleh Musthafa Bisri (Gus Mus), teman dekat Gus Dur dan tokoh senior NU, Gus Dur seringkali membela orang atau kelompok minoritas yang tertindas tanpa melihat latar belakang agama dan kulturnya. Ketika Gus Mus menanyakan hal itu, Gus Dur menjawab bahwa ia sangat berpegang kepada ajaran Al-Qur’an yang menyatakan bahwa “Kami (Tuhan) telah memuliakan anak cucu Adam (Wa laqaa karramnaa banii Aadam).” Nah, menurut Gus Dur, jika Tuhan saja begitu memuliakan manusia, mengapa kita tidak mengikuti sifat Tuhan yang mulia itu? Karena pembelaannya terhadap manusia itu, Gus Mus sering sedih melihat Gus Dur “berdiri sendirian” membela manusia dan kemanusiaan, tanpa ada yang menemaninya. Menurut Gus Mus, ketika seorang manusia sendirian dalam melakukan perbuatan mulia maka Tuhan akan menemaninya. Karena itulah, kata Gus Mus, Tuhan menyayangi Gus Dur.
Masih mengenai kemanusiaan, dalam sebuah tulisan, Gus Dur menjelaskan kriteria takwa merujuk kepada QS. Al-Baqarah 2: 177. Pada bagian pertama, ayat itu berbunyi: “Bukanlah kebaikan hanya dengan menghadapkan muka kalian ke timur dan barat, namun kebaikan itu adalah beriman kepada Allah, Hari Akhir, para malaikat, kitab-kitab suci, dan para nabi.” Menurut Gus Dur, ini adalah penggalan (bagian) rukun iman. Dalam formulasi akidah Sunni, ditambahi dengan beriman kepada qadha dan qadar. Setelah itu, dilanjutkan: “…dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak yatim, orang-orang miskin, musafir, peminta-minta, dan untuk memerdekakan hamba sahaya”. Menurut Gus Dur, penggalan kedua ini lebih panjang dari penggalan pertama. Lalu, ayat selanjutnya: “..mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan orang-orang yang menepati janjinya jika mereka berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan penderitaan, dan dalam peperangam. Mereka itulah orang-orang yang benar imannya dan orang-orang yang bertakwa”. Menurut Gus Dur, penggalan ketiga ini adalah rukun Islam.
Menurut Gus Dur, mengapa penggalan kedua itu dari QS. Al-Baqarah [2]: 177 tidak menjadi rukun? Sebab, hal itu adalah etos sosial, dan etos ini bersifat universal. Jika kita mau rukunkan penggalan kedua itu, lanjut Gus Dur, boleh saja kita sebut sebagai rukun tetangga (atau rukun sosial). Harus dimengerti bahwa rukun tetangga ini justru yang paling inspiratif dalam Islam karena tidak bersifat normatif dan tidak lagi mempersoalkan batasan apa pun. Ini adalah suatu norma global, yaitu kemestian berbuat kebajikan kepada manusia lain dan berusaha meningkatkan taraf kehidupan manusia.
Dengan kata lain, rukun tetangga ini adalah rukun kemanusiaan: etos mencintai manusia tanpa melihat baju agama, keyakinan, golongan, dan suku bangsanya—suatu sikap yang ditunjukkan oleh Gus Dur sepanjang hidupnya. Karena bersifat global tanpa batas, maka rukun kemanusiaan itu seolah-olah tidak sebanding dengan rukun iman dan rukun Islam. Seseorang seolah-olah telah beriman, padahal bagi Gus Dur, ia beriman dalam rukun iman, kemudian berislam dengan rukun Islam, namun ia belum tentu menjadi manusia bertakwa jika tidak menunjukkan etos sosial dan kemanusiaan.
Terhadap agama-agama lain yang berbeda, Gus Dur memandang bahwa dengan cara melihat persamaan-persamaan esensial di antara agama-agama, maka yang muncul adalah unsur yang dapat mempersatukan ketimbang memisahkan dan sikap saling menghargai satu sama lain.
Bagi Gus Dur, secara esensial, semua agama adalah sama karena diwahyukan dari Tuhan yang sama. Pandangan Gus Dur ini sama dengan doktrin dalam filsafat perennial bahwa Satu Esensi vang sama itu memanifestasi dalam banyak atribut, bentuk, atau identitas kultural yang bermacam-macam. Perbedaan-perbedaan bentuk atau manifestasi agama yang disebabkan oleh keragaman budaya, menurut Gus Dur, sejatinya harus membuat orang saling mengenal dan menyayangi demi menegakkan moralitas, solidaritas, dan kasih sayang di antara sesama.
Pandangan esoterik keagamaan Gus Dur itu membawanya kepada penafsiran-penafsiran Islam yang pluralis dan liberal—liberal dalam arti lebih menekankan konteks ajaran agama dibanding terpaku pada yang tekstual. Tentang persoalan siapakah yang disebut orang kafir, bagi Gus Dur, non-Muslim bukanlah orang Kafir. Non-Muslim yang memiliki agama, tidak bisa disebut kafir. Dalam penafsiran Gus Dur, kelompok yang disebut kafir dalam Al-Qur’an adalah orang-orang yang menolak eksistensi Tuhan, nikmat Tuhan, dan kaum kafir Makkah yang memerangi Nabi Muhammad Saw beserta sahabat beliau. Jadi, harus dilihat konteksnya.
Dalam pembacaan Media, dengan semua argumentasi di atas, Gus Dur merupakan seorang kosmopolitan, universalis, dan humanis.
Selanjutnya dalam penelitian Media, gagasan pluralisme Gus Dur juga berakar pada pandangan politiknya, dalam arti politik kebangsaan. Sejak awal, Gus Dur meyakini bahwa Pancasila merupakan ideologi terbaik bagi bangsa Indonesia, dan bukan ideologi negara Islam. Dalam negara yang berbasiskan pada Pancasila, semua pemeluk agama memiliki hak dan kewajiban yang sama di depan hukum. Pancasila memang tidak bisa dibandingkan dengan agama. Pancasila, yang berfungsi sebagai ideologi dasar negara dan konstitusi, dapat mengakomodasi aspirasi berbagai agama dan menempatkannya secara fungsional. Dalam pengertian inilah, menurut Gus Dur, Pancasila dipahami sebagai aturan main yang mengatur semua agama dan keyakinan dalam kehidupan sosialnya.
Bagi Gus Dur, esensi Pancasila adalah menjaga pluralisme. Gus Dur merujuk kepada pidato Bung Karno bahwa kebhinekaanlah yang menjadi alasan berdirinya bangsa ini. Kebhinekaan atau pluralitas budaya bangsa ini, selain menjadi pengikat dalam membentuk sebuah bangsa, juga merupakan kekayaan yang menghimpun untuk menjadi sebuah wadah yang disebut Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan Pancasila dan kebhinekaan itu, semua pemeluk agama memiliki kemerdekaan untuk berkeyakinan dan bebas mengekspresikan keyakinannya tersebut. Karena itulah, bagi Gus Dur, mengekang kebebasan beragama dengan alasan apa pun, termasuk oleh negara, adalah tindakan kriminal yang harus dilawan. Menurut Gus Dur, kesadaran pluralisme hanya akan muncul jika negara tidak melakukan “formalisasi” ajaran agama.
Dalam pemahaman teologis Gus Dur, Al-Qur’an sendiri menjamin kebebasan beragama dan tidak ada pemaksaan dalam berkeyakinan. Maka, negara tidak boleh menentukan satu agama tertentu lebih unggul dibanding agama lain.” Namun, dalam konteks masyarakat Indonesia yang agamis, Gus Dur juga tidak setuju jika Pancasila diberi arti sebagai ideologi sekuler, dalam arti memisahkan agama dari negara, seperti pandangan Ali Abdurraziq, seorang pemikir liberal dari Mesir. Agama, dalam hal ini Islam, menurut Gus Dur, dalam negara Pancasila memiliki dua fungsi: sebagai sumber etika sosial, dan unsur-unsur Islam sesungguhnya dapat berpenetrasi menjadi hukum positif melalui konsensus, misalnya lahirnya Undang-Undang Perkawinan (1974) dan Undang-Undang Peradilan Agama (1989) sebagai produk yang sesuai dengan “semangat Islam.”
Dalam konteks Pancasila, kebhinekaan, dan kebebasan beragama inilah Gus Dur selalu tampil di depan untuk membela kelompok-kelompok minoritas keagamaan yang dihambat kebebasan beragamanya oleh kelompok mayoritas. Gus Dur membela kebebasan beragama itu sembari mengkritik pandangan dan sikap kaum Muslim, terutama tokoh-tokohnya, seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang bersikap arogan dalam fatwa-fatwanya, terutama tentang keharaman pluralisme dan kesesatan Ahmadiyah. Menurut Gus Dur, batasan dan hubungan antara kebenaran sebuah keyakinan dengan pergaulan antara sesama penganut agama dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak bisa hanya melihat dari kerangka keyakinan keagamaan saja.
Banyak kaum Muslim, misalnya, yang melihat dan memperlakukan penganut agama lain hanya dengan kerangka akidah Islam saja. Dengan ukuran ini, seorang Muslim menjadi sangat arogan dan puas ketika “mengalahkan” agama lain. Arogansi seperti inilah, yang menjadikan kaum Muslim yang sempit pandangan itu berstandar ganda dalam bernegara. Di satu pihak, mereka memerlukan negara untuk tetap hidup. Di pihak lain, mereka tidak peduli terhadap eksistensi/wujud negara ini. Padahal, salah satu cara untuk mempertahankannya adalah memahami watak kemajemukan hidup beragama di negeri ini, yaitu dengan bersikap toleransi (tenggang rasa) antar-sesama penganut agama.
Dalam pengertian inilah, Gus Dur memandang bahwa MUI yang mengeluarkan fatwa haram atas pluralisme memperlihatkan adanya sikap yang tidak mau tahu dengan toleransi yang sebenarnya menjadi inti dari kehidupan beragama yang serba majemuk di negeri ini. Itulah sebabnya, mengapa para pendiri Republik Indonesia bersikeras mengatakan bahwa negara ini bukanlah sebuah negara agama. Lalu, apakah para pemimpin Islam waktu itu, seperti Ki Bagus Hadikusumo dan Kahar Muzakir dari Muhammadiyah, Abikusno Tjokrosuyoso dari Sarekat Islam, Achmad Subarjo dari Masyumi, AR. Baswedan dari Partai Arab Indonesia, Wahid Hasjim dari NU, dan H. Agus Salim adalah tokoh-tokoh gadungan yang tidak mewakili golongan Islam?
Menurut Gus Dur, mereka adalah tokoh-tokoh Muslim pendiri Negara Indonesia yang berpandangan luas mengenai hubungan timbal-balik dengan para pengikut dan pimpinan agama-agama lain. Selama lebih dari empat dasawarsa, umat beragama hidup dalam tradisi saling menghormati. Secara retoris, Gus Dur bertanya: mengapa kita harus menerima “pandangan kaku’ seperti itu, yang dimulai oleh segelintir orang yang “menggunakan” MUI secara tidak wajar? Bukankah itu adalah sikap tergesa-gesa dari mereka yang menganggap diri sendiri sebagai pihak yang paling berhak menafsirkan “kebenaran ajaran Islam?
Ketika AA Maramis mengajukan keberatan atas Piagam Jakarta karena akan mengakibatkan munculnya dua kelas warga negara di Indonesia (Muslim sebagai kelas pertama dan non-Muslim kelas kedua) maka, kata Gus Dur, para pendiri negara ini setuju seluruhnya untuk mengeluarkan piagam tersebut dari pembukaan UUD 45. Berarti, negeri ini bukan lagi negara agama, atau tepatnya bukan negara Islam, dan dengan demikian penafsiran Mahkamah Agung atas UUD 45 menjadi satu-satunya penafsiran legal atas hukum di negeri ini.
Karena itu, menurut Gus Dur, selain mesti meresapi kembali pandangan teologis dari Al-Qur’an bahwa manusia diciptakan berbeda-beda untuk saling mengenal, kaum Muslim juga harus sadar dan bersikap realistis bahwa mereka tidak hidup sendirian di sini, melainkan ditakdirkan Tuhan untuk hidup bersama-sama dengan para penganut agama lain, bahkan dengan kaum ateis, atau mereka yang memiliki kerangka etis lain. Kaum Muslim dapat hidup bersama dengan orang-orang lain dalam satu ikatan kebangsaan. Segala perbedaan seharusnya mendorong munculnya sikap yang arif bijaksana, bukan sikap yang membuat hubungan yang ada menjadi semakin memburuk, seperti pendapat MUI yang menimbulkan reaksi yang begitu keras. Dengan berbagai kesadaran ini, Gus Dur berharap bahwa Islam akan menjadi agama yang besar bersamaan dengan kedewasaan sikap dan keluasan pandangan kaum Muslim sendiri.
Yahudi-Islam Berbagai Ide Pluralisme dan Dialog
Selanjutnya Media melakukan komparasi antara gagasan pluralisme Heschel dengan Gus Dur. Menurut Media, rekam jejak pemikiran keduanya menunjukkan bahwa mereka telah berbagi ide tentang humanisme dan pluralisme yang kelak membuka jalan lebar bagi dialog antar-iman. Seperti telah dinyatakan bahwa gagasan pluralisme Heschel yang berakar pada depth theology sesungguhnya berisi dua hal pokok. Pertama, Tuhan dan manusia saling mencari, saling membutuhkan, dan hubungan keduanya adalah hubungan yang aktif dan dinamis. Hubungan ini, terutama dari sisi manusia, didasarkan pada “iman yang mendalam” terhadap Tuhan, bukan iman yang dangkal.
Karena iman inilah maka, bagi Heschel, prasyarat utama dan terpenting dalam dialog antar-iman adalah iman itu sendiri. Interfaith harus muncul dari kedalaman iman, bukan dari iman yang absen. Ini bukan kegiatan main-ain yang dilakukan oleh orang-orang yang memiliki pemahaman setengah-setengah dengan kualitas spiritual yang belum matang Jadi, iman yang matang adalah syarat pokok sebelum seseorang berjumpa untuk berdialog dengan orang lain. Iman yang dangkal hanya akan merugikan dirinya dan partner dialognya.
Kedua, bagi Heschel, dialog antar-iman harus berbasis pada humility, mutual esteem, dan reverence. Hal itu berarti adanya penghormatan penuh atas manusia, apa pun agama mereka. Penghargaan penuh itu akan muncul jika seseorang memiliki teologi mendalam atau depth theology dalam istilah Heschel. Depth theology berbeda dengan teologi biasa yang hanya berisi dogma, konsep, dan struktur-struktur. Dalam bahasa Heschel, “teologi berbicara kepada orang-orang, tetapi teologi mendalam berbicara ‘untuk seseorang. Teologi mendalam ingin berjumpa dengan ‘seseorang’ pada suatu momen ketika keseluruhan kepribadiannya terlibat.”
Heschel berkali-kali menekankan bahwa depth theology mestinya melahirkan penghormatan terhadap orang lain, tidak hanya kepada fisiknya, namun juga kepada iman dan komitmennya. Akhirnya, Heschel menggarisbawahi bahwa dialog antar iman tetap mensyaratkan seseorang untuk setia kepada agama historisnya. Namun, juga harus diingat peringatan Heschel bahwa agama tidak identik dengan Tuhan. Loyal kepada agama berarti loyal kepada nilai-nilai ketuhanan. Bagi Heschel: “To equate religion and God is idolatry (Menyamakan agama dengan Tuhan, itulah penyembahan berhala).”
Sedangkan dalam kesadaran penuh, ide-ide Gus Dur tentang pluralisme, humanisme, dan toleransi berakar pada warisan sejarah peradaban Islam yang inklusif dan kosmopolit, serta Pancasila dan kenyataan keragaman kultur masyarakat Indonesia. Lebih dari itu, sebagaimana Heschel mengembangkan depth theology, Gus Dur menyadari bahwa ia juga sedang mengeksplorasi apa yang disebut “depth Islam” (Islam mendalam).
Menurut Media, depth Islam bukan teologi Islam yang harfiah dan dangkal. Depth Islam adalah pemahaman yang melampaui (beyond) teks-teks literal untuk dicari prinsip dan semangat Islam dalam mengapresiasi kemanusiaan, kemajemukan, dan perdamaian. Depth Islam bisa juga disebut dengan istilah Islam liberal atau Islam substansial, dalam arti melihat keseluruhan konteks teks dan melampauinya. Depth Islam terlihat secara implisit pada pandangan-pandangan teologi dan kebudayaan Gus Dur tentang humanisme, pluralisme, dan pribumisasi Islam, serta penolakannya atas formalisasi dan ideologisasi Islam yang menurut Gus Dur hanya akan memunculkan bentuk-bentuk baru diskriminasi, intoleransi, dan eksklusivisme dalam beragama. Dan, hal itu berarti bertentangan dengan semangat dan prinsip Islam yang humanis, yang ingin mengembangkan kehidupan dalam kenyataannya yang majemuk.
Heschel dan Gus Dur mungkin tidak pernah berjumpa secara fisik. Tidak ada data atau indikasi mengenai pertemuan keduanya. Apalagi, ketika Heschel meninggal pada 1972, Gus Dur belum jadi apa-apa. la baru saja pulang dari studinya di Irak dan Eropa. Tetapi, keduanya memiliki minat yang besar terhadap agama orang lain. Gus Dur begitu antusias terhadap Yudaisme dan cara pandang orang-orang Yahudi. Heschel sendiri, selain mempelajari agama-agama Semitik, termasuk Islam, dari seorang sarjana Yahudi, Eugen Mittwoch, beberapa kali terlibat dalam dialog antar-agama dengan Sayed Hossein Nasr dan berteman dengan ahli Islam lainnya, Henry Corbin.
Dalam perspektif Media, Heschel dan Gus Dur adalah tokoh yang unik, dalam pengertian berani mendobrak tembok tebal eksklusivisme dan konservatisme yang dianut sebagian besar kaum Yahudi Amerika-Eropa dan kaum Muslim Indonesia. Kenyataan bahwa mereka adalah ningrat atau kelompok yang sangat elite dalam tradisi masing-masing tidak membuat keduanya memanfaatkan status sosial yang tinggi itu untuk hidup bermewah-mewah dan mengumpulkan banyak materi. Sebaliknya, mereka menggunakan hal itu untuk memperjuangkan kesetaraan, perdamaian, dan keadilan bagi umat manusia. Keduanya mempersembahkan seluruh hidupnya untuk ketiga hal itu.
Oleh karena itu, keduanya memiliki pengaruh yang sangat besar dalam tradisi masing-masing. Heschel adalah wajah Yahudi yang telah memberi sumbangan signifikan bagi dunia Yahudi Amerika-Eropa yang lebih humanis, dan bagi dunia Kristen di Barat. Puluhan buku tentang Heshel telah ditulis dan serangkaian konferensi internasional telah digelar untuk mengenang jasa-jasanya. Beberapa sekolah di Amerika memakai nama “Heschel” seperti di Upper West Side of New York City, Northridge, California, dan Toronto, Kanada. Pada 2009, sebuah highway di Missouri juga telah diresmikan nama dengan “Dr. Abraham Joshua Heschel Highway.”
Gus Dur, sebagai representasi Islam Indonesia, tidak semata telah berjasa besar bagi wajah Islam Indonesia yang inklisif, tetapi juga wajah Islam Asia Tenggara, di mana Gus Dur dikenal dan dikenang dengan baik oleh tokoh-tokoh Islam dari Malaysia, Singapura, Brunei, Thailand, dan Filipina. Indonesia sendiri, selain ratusan buku dan artikel ditulis untuk mengenang Gus Dur, telah muncul ribuan generasi muda Muslim yang mengembangkan ide-ide keislaman Gus Dur yang universal, inklusif, dan pluralis. Mereka membentuk kelompok pemikiran, LSM dan jaringan dengan nama-nama seperti Jaringan lslam Liberal, Jaringan Muslim Moderat, kelompok Neo-Tradisionalisme, Gusdurian, dan lain-lain. Keluarga Gus Dur sendiri dengan para simpatisan Gus Dur pada 2004 mendirikan The Wahid Institute, sebuah lembaga yang berusaha mewujudkan prinsip dan cita-cita intelektual Gus Dur dalam membangun pemikiran Islam moderat yang mendorong terciptanya demokrasi, multikulturalisme, dan toleransi di kalangan kaum Muslim di Indonesia dan seluruh dunia.
Media mengakhiri tulisannya dengan sebuah sikap apresiasi terhadap teologi mendalam Heschel dan Islam mendalam Gus Dur, seraya menyayangkan wajah Indonesia hari ini ramai dihisasi oleh kelompok-kelompok agama eksklusif yang cenderung intoleran:
“Tak diragukan, “teologi mendalam” ala Yahudi-Heschel dan “Islam mendalam” ala Gus Dur dapat muncul tidak semata karena proses internalisasi keagamaan yang lama pada kedua tokoh itu, melainkan juga sebagai bentuk hibrida, yakni proses perjumpaan atau percampuran tradisi mereka sendiri dengan kebudayaan-kebudayaan dunia yang lebih luas. Sebaliknya, proses pengenalan agama yang instan dan kecenderungan melakukan ideologisasi agama membuat Indonesia hari-hari ini ramai diisi oleh kelompok-kelompok agama yang eksklusif yang cenderung intoleran. Keadaan itu bertambah ironis karena Indonesia sendiri sesungguhnya kaya dengan budaya dan paham keagamaan yang sangat majemuk, yang dengan itu “dianggap” selama berabad-abad sebagai negeri yang damai dan toleran.”
* * * * *
Menurut orang-orang arif bijaksana yang telah jauh perjalanan hidupnya, pengalaman spiritualitas, intelektualitas, moralitas dan kemanusiaan yang dialami oleh orang yang berbeda dengan kita bisa memperkaya perspektif tentang agama kita sendiri. Dalam perspektif Paul F. Knitter, hakikat kebenaran itu terlalu akbar untuk bisa ditangkap dalam satu tradisi, satu pemikiran, satu teori, satu konsep, bahkan satu keyakinan atau agama.
Knitter membuat sebuah ilustrasi analogis sederhana yang menarik untuk kita renungkan. Kata Knitter, dalam mempersepsi kebenaran, kita bisa membandingkan dengan jagat raya yang bertabur bintang di sekitar kita. Ada begitu banyak tentang jagat raya yang begitu jauh sehingga dengan mata telanjang kita tidak bisa melihat semuanya. Kita harus memakai teleskop. Teleskop memang memampukan kita melihat sesuatu di jagat raya, namun teleskop juga menghalangi kita melihat semuanya. Satu teleskop, secanggih apapun yang dipakai oleh para astronom, hanya bisa memampukan kita melihat sebagian saja.
Ini merupakan gambaran situasi kita sebagai manusia. Kita selalu melihat kebenaran melalui semacam teleskop kułtural-religius yang diwariskan orang tua, guru, dan masyarakat kita. Kabar baiknya adalah teleskop memampukan kita melihat sesuatu; namun kabar buruknya ialah teleskop itu juga menghalangi kita melihat segala sesuatu, menghalangi kita untuk bisa melihat semuanya.
Jadi, apa yang harus kita lakukan? Bagaimana kita bisa melihat kebenaran lebih daripada apa yang bisa dilihat melalui teleskop budaya dan agama kita? Jawabannya sederhana saja—dan ini membawa kita pada topik tentang satu komunitas dialogis antar-agama: dengan meminjam teleskop orang lain! Kalau kita bisa melihat melalui teleskop sesama kita–walaupun teleskop baru ini agak janggal dan sulit disesuaikan dengan mata kita—kita mampu melihat apa yang tidak bisa kita lihat dengan teleskop kita sendiri. Semakin berbeda teleskop karena merek dan sudut pandangnya, semakin banyak hal-hal baru yang bisa kita lihat. Dengan berbagai teleskop yang lain yang sangat berbeda dari yang kita miliki, kita mampu melihat tempat-tempat di jagat raya ini yang tidak bisa dilihat atau kabur kalau kita memakai teleskop kita. Semakin banyak teleskop yang dipakai, semakin banyak visi dan pemahaman terhadap kebenaran yang bisa dikembangkan.
Dengan ilustrasi analogis tersebut, Knitter ingin menunjukkan bahwa kebenaran dapat tersingkap secara luas, kaya, dalam, holistik dan komprehensif melalui dialog: saling berbagi wawasan dan pengalaman keberagamaan yang berbeda satu sama lain antar umat beragama yang berbeda. Mengapa demikian? Menurut para pakar, kebenaran yang kita lihat melalui teleskop kułtural-religius kita bukan hanya terbatas tetapi juga berbahaya. Kalau kita tidak sadar bahwa kebenaran yang kita miliki terbatas, kita akan menganggapnya sebagai satu-satunya kebenaran, atau kebenaran absolut, atau kebenaran yang paling unggul bukan hanya bagi diri kita sendiri tetapi bagi semua orang. Di sinilah, menurut para pakar ini, justru kita harus curiga terhadap berbagai anggapan kebenaran kita karena sampai titik ini kebenaran bisa berubah menjadi ideologi.
Kebenaran menjadi ideologi kalau kelompok atau masyarakat atau agama mengejar, memperkokoh, dan memberitakan sesuatu sebagai yang benar bukan hanya karena mereka yakini demikian tetapi karena—sadar atau tidak—kebenaran itu memperkokoh kekuasaan mereka atas yang lain. Jadi kebebaran ideologis akan mengantarkan pemiliknya bersikap dominatif dan hegemonik: ingin mengendalikan, menaklukkan, sekaligus menguasai pihak lain yang berbeda.
Pada titik inilah, kita melihat urgensinya dialog interaktif antara berbagai umat beragama agar dapat hidup berdampingan secara harmonis. Ini pula sebenarnya yang ditawarkan oleh Heschel dan Gus Dur. Berhubungan dengan pluralisme dan dialog antar umat beragama, Knitter menyuguhkan dialog model mutualitas dengan ilustrasi beberapa jembatan: jembatan filosofis-historis, jembatan religius-mistik, dan jemabatan etis-praktis. Ketiga jebatan pluralisme agama ini sebenarnya bisa mengcover corak pluralisme Heschel dan Gus Dur yang telah dieksplorasi oleh Media. Mari kita lihat sekelumit tiga jembatan ini:
Pertama, jembatan filosofis-historis. Jembatan ini, barangkat dari beberapa fakta filosofis berikut: (1) Kebenaran itu plural, (2) Setiap agama memiliki klaim kebenaran yang sama dengan agama lain; validalitas yang sama dengan agama lain, (3) Komunitas agama bukanlah tujuan akhir, melainkan hanya cara, alat, dan perantara menuju keselamatan, (4) Tuhan tidak menurunkan satu komunitas agama, tetapi pluralitas.
Kedua, jembatan religius-mistik yang berpijak pada sejumlah argumen berikut, (1) Titik tekannya adalah tidak terbatasnya pesan yang disampaikan Tuhan kepada umat manusia, (2) Pada tingkat/level hakikat, sejatinya semua agama menuju kepada Tuhan yang sama, (3) Ketika setiap umat bergama memasuki “the heart of religion and the religion of heart”, hakikatnya apa yang dialaminya tidak bisa dibatasi oleh agamanya sendiri, agama-agama lain merasakan juga misteri yang sama; semua agama sama, kendati tetap berbeda dalam keunikannya masing-masing. Secara filosofis, semakin dalam seseorang turun ke dalam sumur religiusnya sendiri, semakin sadar bahwa terdapat sungai bawah tanah yang menyuburkan semuanya.
Ketiga, jembatan etis-praktis yang menggemakan sebuah tanggung jawab global yang menjadi tanggung jawab semua agama terhadap puspa ragam problematika global yang dihadapi umat manusia dan umat beragama, yaki kemiskinan, kezaliman, diskriminasi, berbagai penyakit, kriminalitas, narkoba, perjudian, pornografi, minuman keras, ekologi, pemanasan global, dan lain-lain. Semua ini merupakan masalah-masalah kemanusiaan yang bersifat global, menyentuh semua umat manusia, sehingga penanggulangannya membutuhkan interreligious solidarity, suatu solidaritas antar agama.
Sampai di sini, sebenarnya baik Heschel maupun Gus Dur dapat kita masukkan dalam kategori tiga jembatan pluralisme tersebut. Walaupun Heschel mungkin lebih dominan berada pada jembatan filosofis-historis dan religius-mistik. Begitu pula dengan Gus Dur, bisa masuk dalam kategori ketiga jembatan pluralisme tersebut, meskipun barangkali lebih dominan berada pada jembatan etis-praktis.
Terlepas dari berbagai kategori tersebut, sebagaimana diilustrasikan dengan indah oleh Knitter bahwa setiap kita melihat kebenaran dari teleskop kultural religius kita masing-masing; sehingga dengan menyadari hal ini, wawasan pluralisme agama yang disuguhkan oleh Heschel bisa mempertajam pandangan teleskop kultural-religius kita sebagaimana wawasan pluralisme yang disuarakan oleh Gus Dur bisa memperluas pandangan teleskop kultural-religius penganut agama lain dalam meneropong dan menangkap kebenaran.
Wallahu a’lam bish showab…
Dr. Zaprulkhan, M.S.I: Dalam bagian ketiga nanti saya akan meresensi tentang peran intelektual Jaringan Islam Liberal (JIL).