JAKARTA | LIPUTAN9NEWS
Ini bukan semata soal urusan tambang yang bikin amburadul jalannya organisasi, tapi lebih jauh dari itu.
Pada satu sisi, Jam’iyyah Nahdlatil Ulama ini berdiri atas otoritas moral dan spiritual Kiai. Di sisi lain, tuntutan modernitas membawa jam’iyyah pada tata kelola organisasi modern, di mana otoritas Kiai direduksi oleh aturan main dalam AD/ART.
What next?
Pilihannya bukan sekadar memilih diantara islah atau menjaga supremasi Syuriyah. Pertanyaan sebenarnya jauh lebih dalam:
bisakah kaidah “المحافظة على القديم الصالح والأخذ بالجديد الأصلح” dipahami sebagai mandat untuk memodernkan jam’iyyah tanpa tercerabut dari akar otoritas keulamaan?
Dengan kata lain, NU sedang berada di persimpangan jalan.
Jika NU hanya kembali ke qadim tanpa membaca tantangan zaman, ia akan terperangkap dalam romantisme masa lalu. Tapi jika NU mengejar “jadid” tanpa jaga marwah Kiai, ia akan terjebak dalam logika organisasi modern yang kering dari ruh, berubah menjadi korporasi yang hidup dari rapat dan anggaran, bukan dari hikmah dan karamah ulama.
Karena itu, masa depan NU bergantung pada kemampuan jam’iyyah menemukan format baru. Konflik ini harus melahirkan gagasan dan format baru jam’iyyah.
Jika NU gagal menemukan titik temu ini, konflik demi konflik hanya akan menjadi siklus yang berulang: para kiai kehilangan wibawa, para pengurus kehilangan arah, dan jama’ah kehilangan kepercayaan.
Namun jika NU berhasil, maka ia justru akan menjadi model Islamic civil society paling matang di abad ini: memadukan kedalaman spiritual, kearifan tradisi, dan ketangguhan administrasi.
Dan mungkin di titik itulah kaidah tadi menemukan maknanya yang paling benar: menjaga yang lama karena ia membawa berkah, dan mengambil yang baru karena ia membawa maslahat.
Bisakah?
Tabik,
Prof. KH. Nadirsyah Hosen, Ph.D. atau yang akrab dipanggil Gus Nadir yang lahir pada 8 Desember 1973, adalah Rais Syuriah PCI (Pengurus Cabang Istimewa) Nahdlatul Ulama (NU) di Australia dan New Zealand.
Menempuh pendidikan formal dalam dua bidang yang berbeda, Ilmu Syari’ah dan Ilmu Hukum, sejak S-1, S-2, dan S-3. Pemegang dua gelar Ph.D. ini memilih berkiprah di Australia, hingga meraih posisi Associate Professor di Fakultas Hukum, University of Wollongong. Namun kemudian, dia “dibajak untuk pindah ke Monash University pada 2015, Monash Law School adalah salah satu Fakultas Hukum terbaik di dunia. Baru setahun pindah ke Monash, beliau sudah diminta mengurusi Monash Malaysia Law Program—sebuah program unggulan melibatkan mahasiswa dari Australia, Kanada, Belanda, Jerman, dan Prancis. Di Kampus Monash, beliau mengajar Hukum Tata Negara Australia, Pengantar Hukum Islam, dan Hukum Asia Tenggara.























