BOGOR | LIPUTAN9NEWS
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu.” (QS. An-Nisa: 29)
Perkembangan teknologi digital telah merevolusi cara manusia berbisnis. Era industri 5.0 dan generasi Z menghadirkan pola konsumsi baru yang serba cepat, dinamis, dan kreatif. Transaksi kini dilakukan lintas negara melalui platform e-commerce, fintech, digital marketplace, dan social commerce. Dunia bisnis virtual tidak lagi mengenal batas ruang dan waktu, tetapi tetap menuntut kejujuran, tanggung jawab, serta nilai-nilai etis.
Namun, kemajuan ini juga membawa tantangan baru seperti penipuan online (scamming), manipulasi data konsumen, eksploitasi privasi, serta praktik bisnis yang tidak etis seperti riba, gharar (ketidakjelasan), dan maysir (spekulasi berlebihan) menjadi fenomena nyata. Dalam pandangan Islam, bisnis bukan sekadar sarana mencari keuntungan, tetapi juga bagian dari ibadah (‘ibadah muamalah) yang harus dijalankan dengan niat dan cara yang benar.
Oleh karena itu, penerapan manajemen bisnis syariah dalam dunia virtual menjadi sangat relevan untuk menciptakan ekosistem bisnis yang tidak hanya menguntungkan secara ekonomi, tetapi juga berkeadilan, berkelanjutan, dan membawa keberkahan.
Konsep bisnis syariah bersumber dari Al-Qur’an, hadis, ijma’, dan qiyas. Prinsip utama syariah adalah larangan terhadap segala bentuk ketidakadilan dan transaksi yang merugikan pihak lain. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu.” (QS. An-Nisa: 29)
Ayat ini menegaskan bahwa seluruh aktivitas bisnis harus dilandasi oleh kerelaan, kejujuran, dan keadilan. Islam menolak praktik yang mengandung unsur eksploitasi, manipulasi, atau ketidakjelasan.
Beberapa prinsip dasar syariah yang menjadi fondasi manajemen bisnis digital antara lain:
- Larangan riba: tidak ada tambahan atau bunga yang bersifat eksploitatif.
- Larangan gharar: setiap transaksi harus jelas objek, harga, dan waktunya.
- Larangan maysir: tidak ada unsur spekulasi, perjudian, atau untung-untungan.
- Prinsip halal dan thayyib: produk dan layanan harus halal serta memberikan manfaat bagi masyarakat.
1. Prinsip Keadilan dalam Bisnis Virtual
Keadilan (al-‘adl) merupakan prinsip utama dalam Islam. Dalam konteks bisnis digital, keadilan tidak hanya berarti pembagian keuntungan yang merata, tetapi juga meliputi keadilan dalam informasi, harga, serta perlakuan terhadap konsumen dan karyawan.
Aplikasi keadilan dalam bisnis virtual:
- Menetapkan harga yang wajar dan tidak menipu, termasuk transparansi biaya pengiriman, pajak, atau biaya tambahan.
- Tidak memanfaatkan ketidaktahuan konsumen terhadap produk digital (seperti menjual data pribadi atau algoritma tersembunyi).
- Tidak melakukan diskriminasi harga atau layanan berdasarkan ras, gender, atau lokasi.
- Memberikan kompensasi yang adil kepada pekerja digital (freelancer, content creator, dropshipper, dsb.).
- Menjaga fairness dalam sistem rating dan review agar tidak memanipulasi persepsi publik. Keadilan menjadi dasar tumbuhnya trust (kepercayaan), yang dalam ekonomi digital merupakan “mata uang” terpenting. Tanpa kepercayaan, konsumen akan meninggalkan sebuah platform, berapa pun besar modalnya.
2. Transparansi sebagai Kunci Kepercayaan Digital
Transparansi (ash-shidq / kejujuran) adalah karakter yang sangat dijunjung tinggi dalam Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dikenal sebagai Al-Amin (yang terpercaya), sifat yang menjadi fondasi reputasi bisnis beliau. Dalam konteks digital, transparansi berarti kejelasan dalam setiap aspek bisnis: produk, harga, data, dan kebijakan.
Implementasi transparansi di era digital:
- Menyediakan informasi produk yang lengkap dan akurat, termasuk bahan, cara penggunaan, dan risiko.
- Keterbukaan sistem pembayaran, termasuk sumber dana dalam fintech syariah (misal: akad mudharabah, musyarakah).
- Menjelaskan kebijakan privasi data agar konsumen memahami bagaimana informasi mereka digunakan.
- Menghindari iklan menyesatkan (false advertising) dan clickbait yang tidak sesuai fakta.
- Memberikan laporan keuangan terbuka untuk platform crowdfunding syariah atau investasi digital.
Transparansi juga membantu mencegah gharar, yaitu ketidakjelasan dalam transaksi yang dapat menimbulkan sengketa. Semakin transparan sebuah bisnis, semakin besar pula loyalitas pelanggan yang terbentuk.
3. Amanah sebagai Fondasi Reputasi Bisnis Virtual
Amanah berarti kepercayaan, tanggung jawab, dan konsistensi terhadap janji. Dalam dunia digital yang penuh dengan anonimitas, amanah menjadi pembeda utama antara bisnis yang bertahan dan yang hanya viral sesaat.
Amanah melahirkan reputasi digital jangka panjang. Dalam dunia maya, reputasi seringkali lebih bernilai daripada modal finansial karena menjadi dasar dari kepercayaan konsumen dan mitra bisnis.
Ketiga prinsip ini tidak dapat diterapkan secara terpisah. Keadilan tanpa transparansi akan melahirkan ketidakpercayaan, transparansi tanpa amanah hanya sebatas pencitraan, sementara amanah tanpa keadilan berpotensi melahirkan penyalahgunaan kekuasaan.
Manajemen bisnis syariah di dunia virtual menuntut integrasi yang harmonis antara:
- Sistem digital yang etis dan akuntabel
- Kepemimpinan yang berkarakter (spiritual leadership)
- Budaya organisasi berbasis nilai Islam
- Inovasi teknologi yang selaras dengan maqashid syariah (tujuan syariah)
Dengan demikian, bisnis digital syariah tidak hanya menjadi solusi religius, tetapi juga strategi manajemen modern yang berorientasi pada keberlanjutan (sustainability) dan nilai manusiawi (human-centric business).
Penerapan prinsip syariah dalam bisnis digital merupakan strategi moral dan ekonomi yang sangat relevan bagi generasi Z dan milenial. Dunia virtual membuka peluang besar untuk inovasi dan ekspansi pasar, tetapi juga menuntut tanggung jawab spiritual dan sosial.
Dengan menjadikan keadilan, transparansi, dan amanah sebagai pilar utama, pelaku bisnis tidak hanya memperoleh keuntungan finansial, tetapi juga keberkahan dan kepercayaan publik. Bisnis digital dalam Islam bukan sekadar tentang viral, cuan, dan eksistensi, melainkan tentang keberlanjutan, kebermanfaatan, dan keberkahan.
“Sesungguhnya Allah mencintai orang yang apabila melakukan pekerjaan, ia melakukannya dengan itqan (profesional dan penuh tanggung jawab).” (HR. Thabrani)
Khaulah Aidilan Affah, Mahasiswa Semester 1 Jurusan Teknik Informatika, STMIK Tazkia Bogor
























