BANYUWANGI | LIPUTAN9NEWS
Ketua Umum Pejuang Nusantara Indonesia Bersatu (PNIB) AR Waluyo Wasis Nugroho (Gus Wal) menegaskan bahwa penangkapan dua pelajar terduga teroris di Purbalingga, Jawa Tengah dan Lampung merupakan bukti nyata ancaman HTI dan terorisme masih belum mati, bahkan mereka beradaptasi menggunakan gaya baru.
Menurutnya, HTI dan kelompok radikal lainnya kini tidak lagi bergerak secara terang-terangan melalui pertemuan fisik, melainkan menjadikan media sosial sebagai alat menyebarkan ideologi dan propaganda, pencucian otak, serta merekrut kader baru dengan sasaran utama generasi muda Indonesia.
Gus Wal menegaskan bahwa media sosial telah berubah menjadi alat propoganda “senjata perang” yang digunakan kelompok paham Khilafah radikal untuk melancarkan agenda “menghancurkan” dari dalam. Ia mengatakan, pola perekrutan melalui algoritma digital jauh lebih berbahaya dibanding perekrutan konvensional karena bekerja secara sistematis dan masif sehingga sulit dideteksi.
“Rekrutmen melalui algoritma digital jauh lebih berbahaya dibanding perekrutan konvensional karena bekerja secara sistematis dan masif sehingga sulit dideteksi,” ujanya dalam ketrangan tertulis, yang diterima Liputan9news, Selasa (07/10/2025).
“HTI dan jaringan terorisme melalui paham khilfah sengaja membidik pelajar dan mahasiswa karena mereka masih rapuh secara ideologi, labil dalam mencari jati diri, serta sangat aktif di ruang digital. Narasi yang mereka sebarkan sengaja dibungkus dengan jargon agama dan jihad jihad semu, padahal isinya adalah racun yang bertujuan menghancurkan NKRI dari dalam,” sambungnya.
PNIB menilai fenomena ini tidak bisa dianggap sepele. Generasi muda adalah masa depan bangsa, namun jika pikiran mereka diracuni, yang akan lahir bukanlah pemimpin masa depan melainkan mesin perusak dan penghancur bangsa.
Lebih lanjut, Gus Wal menjelaskan dunia maya kini menjadi medan pertempuran yang lebih berbahaya dari sekadar kontak fisik, karena di balik layar gawai, ribuan narasi kebencian, hoaks, dan ajakan Khilafah, radikalisme, terorisme, dan anarkisme terus diproduksi tanpa henti.
“Ini adalah bentuk kebangkitan khilafah gaya baru, yang menyusup secara halus kemudian menghancurkan kita. Kalau kita sampai lengah, maka Indonesia bisa digiring ke jurang perpecahan dan kehancuran,” urainya.
Untuk itu, PNIB menyerukan agar semua pihak bergerak bersama. Negara tidak bisa dibiarkan bekerja sendirian melalui Densus 88, BNPT, Polri dan TNI dalam mengatasi persoalan khilafah, radikalisme, anarkisme, dan terorisme. Masyarakat sipil, lembaga pendidikan, tokoh agama, orang tua, hingga organisasi kepemudaan dan kemasyarakatan wajib bersatu menutup celah propaganda ini. Kontra narasi di media sosial harus dibanjiri dengan konten Nasionalisme kebangsaan, nilai Pancasila, Moderasi Beragama semangat toleransi, dan pesan cinta Tanah Air.
“Pelajar, Pemuda dan mahasiswa jangan sampai hanya menjadi korban. Mereka harus bangkit menjadi agen perubahan dan perlawanan mengatasi Intoleransi Khilafah Anarkisme Radikalisme Terorisme yang kian tumbuh subur. Media sosial tidak boleh dikuasai oleh HTI dan kelompok radikal khilafah terorisme dan anarko. Kita harus memenuhi ruang digital dengan pesan positif, membangun eco chamber kebangsaan yang lebih kuat daripada propaganda mereka. Inilah cara kita merawat kebinekaan dan toleransi yang merupakan identitas jati diri bangsa Indonesia, mengawal Pancasila, dan memastikan Indonesia akan tetap berdiri tegak,” tegas Gus Wal.
Gus Wal menyatakan bahwa ancaman terbesar bagi Indonesia bukanlah serangan militer dari luar negeri, melainkan infiltrasi ideologi yang tumbuh diam-diam di dalam negeri sendiri.
“HTI, khilafah, anarkisme dan terorisme tidak bisa lagi hanya dianggap musuh negara, mereka adalah musuh rakyat. Maka melawan mereka bukan hanya tugas aparat, tapi kewajiban seluruh rakyat Indonesia,” Jaga Kampung desa dari Intoleransi Khilafah Anarkisme Intoleransi Radikalisme Terorisme dengan semangat membangun kampung desa berkarakter Pancasila,” pungkasnya.
























