Banten, LIPUTAN 9 NEWS
“Demokrasi pada kenyataannya minim melibatkan masyarakat sebagai penentu kebijakan, warga Negara, terutama masyarakat miskin yang oleh Jacques Ranciere disebut sebagai ‘bagian yang tidak dianggap sebagai bagian’, hanya dijadikan pion-pion suksesi di bilik suara semata. Setelah itu, hanya elite yang berhak menentukan kebijakan politik dan ekonomi.” (Sulaiman Djaya)
Bila tiba tahun politik dan jelang suksesi, baliho-baliho orang-orang partai dan non-partai yang punya minat mencalonkan diri atau pun men-calo-kan diri sekedar nyari uang, terpampang di setiap sudut, tempat dan jalan. Di area yang terjangkau mata masyarakat. Dijumpai di area-area dan fasilitas-fasilitas publik.
Memang kita hidup di jaman pasar, abad komoditas dan era ketika politik menjadi arena dan mekanisme meraih kekayaan dan hidup-matinya partai politik. Sosiolog kondang, Max Weber, pernah berkata, di era kapitalisme, politik telah menjadi ladang pekerjaan dan bisnis untuk mencari kekayaan.
Bersamaan dengan wajah-wajah yang terpampang di setiap tempat itu, tertera pula narasi-narasi singkat. Ada yang menawarkan pendidikan gratis dari jenjang paling dasar hingga perguruan tinggi –seakan ia adalah dewa yang bisa menyelesaikan kisruh dan minim anggaran negeri ini untuk melakukan penggratisan.
Dan memang itu semua adalah kamuflase. Dikatakan kamuflase, karena narasi-narasi menjanjikan itu lebih merupakan seduksi manipulatif yang belum teruji secara praktis, sebab hanya berjanji –akan melakukan ini atau itu. Dan mirisnya lagi, ada saja yang berani menjanjikan program-program yang tidak rasional.
Jangan pernah berharap bahwa kita akan mendapatkan pendidikan apalagi pencerahan politik dari baliho-baliho itu. Sebab memang hanya modus dagang atau jualan. Kenyataannya, politik telah menjadi laku dan prkatik korporasi. Bahkan teman saya lebih ekstrem lagi, demokrasi tidak lebih modus kuasa korporasi dan oligarkhi untuk meraih keuntungan sebesar mungkin dengan cara menjadi penentu utama kebijakan negara, celetuknya dalam suatu obrolan di kedai kopi.
Celetukan seorang teman itu mengingatkan saya pada filsuf Prancis kelahiran Aljazair, Jacques Ranciere yang mengkritik filsafat politik Barat-nya Plato dan Aristoteles. Politik kaum dominan dan korporat hanya melakukan partisi kepada yang lemah untuk tidak pernah bisa menjadi bagian penentu kebijakan. Suksesi politik, yah memang hanya mungkin dilakukan oleh para pemilik capital besar dalam sistem dan mekanisme demokrasi electoral liberal yang mahal dan membutuhkan dana kampanye yang besar.
Wajar jika beberapa waktu silam calon presiden terpilih, Prabowo Subianto, pernah menyatakan dalam suatu forum bisnis dan politik, bahwa demokrasi liberal itu mahal dan melelahkan. Yah karena memang demokrasi liberal adalah demokrasi elite kapitalis sebagaimana yang telah disinggung Max Weber, sosiolog kondang dari Eropa itu.
Demokrasi pada kenyataannya minim melibatkan masyarakat sebagai penentu kebijakan, warga Negara, terutama masyarakat miskin yang oleh Jacques Ranciere disebut sebagai ‘bagian yang tidak dianggap sebagai bagian’, hanya dijadikan pion-pion suksesi di bilik suara semata. Setelah itu, hanya elite yang berhak menentukan kebijakan politik dan ekonomi.
Janji-janji di baliho mereka hanya sekedar agar masyarakat mau datang ke tempat pemilihan. Figur-figur itu tak ubahnya ‘komoditas’ dagangan partai politik, atau figur-figur yang kebetulan banyak uang menyewa partai politik sebagai legalitas dan kendaraan. Inilah diantara yang disebut Max Weber politik sebagai ladang bisnis dan mencari kekayaan.
Secara pribadi, bagi saya sendiri, kesemrawutan baliho-baliho politik yang acapkali menggunakan bambu itu merusak keeleganan dan kenaggunan sebuah kota atau kawasan ketika tampak semrawut dan berjejer tidak teratur.
Barangkali yang memasang baliho-baliho itu adalah orang-orang upahan yang mencari rupiah untuk makan atau ngudud sekedarnya. Barangkali pula kelompok partisan partai atau pun loyalis para kandidat. Yah tinggal ditertibkan saja oleh pihak berwenang.
Lihat saja di pagar Transmart (eks Carrrefour) di perempatan Ciceri itu. Juga di tempat-tempat lain. Sementara mereka yang punya uang yah memang bisa menggunakan papan-papan reklame raksasa berbayar.
Sulaiman Djaya, Penyair di Kubah Budaya